Nasional

Kiai Said Tegaskan di Indonesia Tak Akan Terjadi Benturan Peradaban

Sabtu, 11 Januari 2020 | 11:00 WIB

Kiai Said Tegaskan di Indonesia Tak Akan Terjadi Benturan Peradaban

KH Said Aqil Siroj saat memberikan sambutan setelah dikukuhkan menjadi Ketua Umum dan Pengurus Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) periode 2020-2023 di Gedung PGI, Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (11/1) siang. (Foto: NU Online/Rahman Ahdori)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj mengkritik teori Samuel Huntington, seorang guru besar ilmu politik dunia yang menyebut pasca-bubarnya Soviet tahun 1991, akan terjadi perang agama dan perang suku di beberapa negara timur termasuk Indonesia, yang Hantington sebut benturan peradaban.

Menurut Kiai Said, Indonesia tidak akan pernah terjadi karena sebelum tahun 1991 tersebut, bangsa Indonesia sudah memiliki peradaban. Di dalamnya menyelesaikan masalah-masalah perbedaan suku dan agama. Meskipun, puncaknya terjadi saat 7 kata dibuang di Piagam Jakarta tahun 1945. 

“Guru Besar Ilmu Politik Pidato tahun 1997 yang kemudian pidatonya berubah menjadi nama buku, judulnya Benturan Peradaban. Menurut dia setelah bubarnya Soviet, setelah berantakan komunis, maka yang akan terjadi perang peradaaban yaitu perang yang dimotivasi, didorong, disebabkan perbedaan agama dan suku,” kata Kiai Said saat sambutan sebagai Ketua Umum Lembaga Persahabatan Organisasi Keagamaan (LPOK) pada Pengukuhan LPOK di Gedung PGI, Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (11/1).

Dan itu menurut Kiai Said, sengaja dihembuskan berbarengan dengan krisis moneter yang nanti puncaknya terjadi Arab Spring dimulai dari Tunis, Mesir, Libya, Irak, Suriah dan seterusnya Itu semua telah berhasil membuktikan teorinya bahwa setelah bubarnya komunis yang terjadi perang peradaban antaragama dan suku.

“Mari kita tunjukan barangkali di Timur Tengah ramalan dia berhasil, tapi di Indonesia jangan harap berhasil,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini.

Ia menjamin teori Samuel Huntington tidak akan terjadi karena bangsa Indonesia sudah memegang teguh prinsip ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama bangsa). Terutama Nahdlatul Ulama, yang sejak 1936 sudah menerapkan prinsip tersebut. 

“Ketika Muktamar di Banjarmasin tahun 1936 di Kaliamntan Selatan. NU memutuskan Indonesia negara darus salam, negara yang damai yang berdiri dengan semangat persaudaraan sesama warga, sesama bangsa,” ucapnya. 

Bahkan, lanjutnya, sampai saat ini para kiai-kiai NU masih menggunakan prinsip ukhuwah wathoniyah sebagai prinsip perjuangan, prinspi tujuan, dan prinsip latar belakang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka, imbuh Kiai Said, sangat diwajarkan jika tidak ada santri NU yang melakukan aksi bom bunuh diri atau kegiatan radikalisme lain yang merugikan bangsa Indonesia. 

Dia mengisahkan, ukuwah wathoniyah 1936 itu diperkuat ketika Rapat BPUPKI 16 Agustus 1945 ketika para pejuang Indonesia Timur menolak 7 kata di Piagam Jakarta, maka Kiai Wahid Hasyim, Ketua NU saat itu, Bapaknya Gus Dur pulang dulu ke Jombang, waktu itu belum ada WA, SMS menghadap ayahnya KH Hasyim Asy’ari, cerita- begini-begini.

Kiai Hasyim menjawab, nanti malam saya shalat dulu minta petunjuk. Pagi-pagi Wahid, kata Kiai Hasyim. Saya setuju 7 kata dibuang. Yang penting Indonesia kuat dulu, bersama dulu. Soal dakwah Islam nanti kita perjuangkan di atas negara yang kuat. Di atas negara ini kita bangun pesantren, majelis taklim, pengajian, di atas negara yang kuat persatuannya. 

Menurut Kiai Said, jangan sampai seperti Afghanistan dan Somali, negaranya ingin dibentuk negara Islam tetapi memunculkan pro dan kontra. Akhirnya yang terjadi syariat Islam tidak berjalan, kondisi negara hancur lebur dan peristiwa itu sudah berjalan selama 40 tahun, kata Kiai Said.

“Begitu juga Somali, negara 100 persen muslim mereka hanya miliki 7 suku di Somali itu bahkan 1 madzhabnya, madzhabnya semua Syafi’i. Tapi negara gagal karena ukhuwah wathoniyah keropos, tidak dibangun dengan semangat kekuatan yang tulus,” tuturnya. 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad