Nasional

Kisah Pilu Penderita TB, Wajib Suntik dan Minum Obat Tiap Hari

Senin, 24 Agustus 2020 | 23:00 WIB

Kisah Pilu Penderita TB, Wajib Suntik dan Minum Obat Tiap Hari

Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Indonesia Budi Hermawan (kiri) saat berbincang usai kegiatan Gelar Wicara ‘Menyuarakan Kendala Pasien TB dalam Menjalani Pengobatan melalui Aplikasi OneImpact Sehat' di Jakarta, Senin (24/8). (Foto: NU Online/AR Ahdori)

Jakarta, NU Online
Kisah pilu kerap dirasakan pasien Tuberkulosis (TB) di Indonesia. Selain proses penyembuhannya yang butuh waktu lama, biayanya juga mahal. Ini menjadi masalah utama yang dikeluhkan pasien. Belum lagi, banyaknya obat yang harus dikonsumsi pada jam-jam tertentu setiap harinya. 


Tuberkulosis atau yang biasa dikenal TBC atau TB adalah penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis. Gejala TBC biasanya ditandai dengan batuk terus-menerus. Tidak seperti batuk orang biasa, penderita TBC mengalami batuk berdahak. Bahkan, berdarah. 


Kisah pilu itu pernah dirasakan Budi Hermawan, mantan pasien TB yang kini menjabat Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB. Dia menceritakan bagaimana susahnya pengidap TB menjalani proses pengobatan di Rumah Sakit. 

Baca juga: LK PBNU Perjuangkan Hak Pasien TBC melalui Pemberdayaan Komunitas


Usai menghadiri kegiatan Gelar Wicara ‘Menyuarakan Kendala Pasien TB dalam Menjalani Pengobatan melalui Aplikasi OneImpact Sehat’ di Jakarta, Senin (24/8), Budi Hermawan menceritakan, setiap hari pasien TB harus menerima suntikan dengan efek yang lumayan menyakitkan. Proses pengobatannya pun membutuhkan waktu yang lama. 


“Mungkin prosesnya nggak lama, paling 15 menit. Tapi, kalau setiap hari minum obat pengorbanan dan perjuangannya bagi saya luar biasa. Karena harus menghabiskan belasan butir dan satu kali suntikan secara spesial. Itu saja sudah sangat tertekan,” kata Budi.


Belum lagi, lanjut dia, pelayanan di Rumah Sakit yang tidak maksimal. Pelayanan yang tidak maksimal. Hal itu memperparah keadaan untuk pasien TB. Pelayanan yang tidak maksinal, ucapnya telah menyiksa dan membuat pasien tidak nyaman. Hal lain yang membuat dia down saat menjadi pasien TB adalah stigma dan diskriminasi yang dilakukan orang-orang di sekeliling pasien. 


Setelah patuh mengikuti protokol penyembuhan TB dan dinyatakan bebas dari TB, Hermawan berinisiatif membantu pasien TB dengan banyak bergerak Bersama LK PBNU untuk melibatkan diri mengembangkan Aplikasi OneImpact Sehat. 


Optimis
Budi Hermawan optimis melalui program itu. Sebab, para pasien bisa lebih leluasa menyampaikan keluhan yang mereka terima saat menjalani proses penyembuhan.


“Tapi kalau kita melihat OneImpact secara utuh sebenarnya sama seperti kita memperbaiki system layanan. Sebab, kadang penonton lebih pintar daripada pemain. Pengelola Fasilitas Kesehatan sebagai pemain tidak tahu kesalahan dia apa, kekurangan dia apa, si penonton yang lebih tahu,” ucapnya kepada para wartawan. 


Dia berharap hadirnya aplikasi berbasis android itu bisa mengurai masalah yang kerap diterima pasien TB. Ia menjelaskan, hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain soal layanan fasilitas kesehatan, waktu tunggu yang terlalu lama, dan keharusan ke RS setiap hari. 

Baca juga: Bantu Pasien TB, LK PBNU Segera Luncurkan Aplikasi OneImpact Sehat


Untuk diketahui, TBC merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru. Tetapi juga menyerang tulang, usus atau kelenjar. Penyakit ini ditularkan dari percikan ludah yang keluar penderita TBC ketika berbicara, batuk, atau bersin. TBC lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan tubuhnya rendah, misalnya penderita HIV.


Tidak hanya itu, selain menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama, penderita TBC juga akan merasakan beberapa gejala lain seperti demam, lemas, berat badan turun, tidak nafsu makan, nyeri dada dan berkeringat di malam hari


TBC dapat disembuhkan jika penderitanya patuh mengonsumsi obat sesuai resep dokter. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita perlu minum beberapa jenis obat untuk waktu yang cukup lama, minimal 6 bulan. Obat itu umumnya berupa isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol. 


Berdasarkan laporan WHO TB Global 2018, di Indonesia terdapat 842.000 orang sakit karena TB dan 116.000 orang meninggal karena TB. Persoalan ini menjadi mendesak karena hanya 53% atau 446.732 dari 842.000 yang dilaporkan. Artinya, sisanya hilang tidak terlaporkan atau lebih tepatnya tidak tersuarakan.


Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Musthofa Asrori