Nasional

Lembaga Falakiyah PBNU Ungkap Penyebab Awal Muharram Beda dengan Pemerintah

Jumat, 2 Agustus 2024 | 07:00 WIB

Lembaga Falakiyah PBNU Ungkap Penyebab Awal Muharram Beda dengan Pemerintah

Wakil Sekretaris LF PBNU Ma'rufin Sudibyo dalam Seminar "Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail" di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (1/8/2024). (Foto: NU Online/Aji)

Yogyakarta, NU Online

Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ma'rufin Sudibyo mengungkapkan penyebab penentuan 1 Muharram 1446 H bisa berbeda dengan pemerintah.  


Pertama, terkait dengan status kriteria imkanur rukyah ketika digunakan pada bulan-bulan selain Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.


Di bulan-bulan selain Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, kriteria imkanur rukyah digunakan sebagai dasar untuk menilai rukyahnya valid, sahih atau tidak. Kalau sudah imkan, maka rukyahnya sahih.


Namun di luar dari bulan-bulan itu, kebijakan pemerintah menggunakan kriteria tersebut sebagai dasar untuk menetapkan secara langsung tanpa melihat rukyahnya.


"Sementara kalau di PBNU, khususnya melalui Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama, sejak 2006 sudah ada konsensus ilmiah bahwa setiap bulan perlu melaksanakan rukyatul hilal," ujar Ma'rufin kepada NU Online, di sela mengisi Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (1/8/2024).


Rukyatul hilal setiap bulan itu, sambung Ma'rufin, digunakan untuk setidaknya tiga hal. Pertama, untuk verifikasi apakah kriterianya bisa dipedomani atau tidak. Kedua, digunakan untuk menetapkan waktu-waktu ibadah.


"Karena kalau waktu yang disepakati di Semarang itu ada banyak waktu ibadah yang terkait dengan penentuan awal hari atau awal syuhur (bulan)," katanya.


Ia mencontohkan, terkait dengan waktu puasa ayyamul bidh dan masalah-masalah talak.


"Itu kan perlu dijelaskan dan cari cantolannya. Itu yang diusahakan di situ," imbuhnya.


Lebih lanjut, Ma'rufin menjelaskan, pada penentuan awal Muharram lalu di seluruh Indonesia terjadi mendung, kecuali di Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Kemudian dari 36 titik rukyat yang ada di Indonesia, tidak ada satu pun yang bisa menyaksikan terlihatnya hilal.


"Ada satu titik dari Kudus yang bisa menyaksikan lengkungan sabit bulan, tetapi jadi sebelum ghurub," ungkapnya.


Kemudian ada juga laporan dari tempat lain, seperti di Malaysia ada yang berhasil melihat hilal.


"Tapi itu berasal dari negara lain, sehingga kalau kita terima nanti akan melanggar ketentuan Muktamar Lirboyo 1999," ucap dia.


Ia menjelaskan, hasil Muktamar NU di Lirboyo memutuskan banwa umat Islam dan pemerintah Indonesia tidak boleh menggunakan hasil rukyah internasional, karena tidak berada dalam satu kesatuan hukum atau tidak berada dalam satu kesatuan al-balad al-wahid.


Kemudian dari posisi tersebut, berdasarkan pada tabulasi dan grafis, pihaknya mendapati posisi bulan atau hilal pada saat itu berada di zona imkanur rukyah, bukan di zona qath'iy, bukan juga di zona istihalah ar-rukyah.


"Maka pilihannya hanya dua: kalau terlihat itu besok sudah tanggal satu, kalau tidak terlihat maka kemudian istikmal (menggenapkan 30 hari) dan kemudian tanggal satunya lusa, dimulai pada besok malam. Itu yang terjadi seperti itu," jelas Ma'ruf.


Ma'rufin menjelaskan, pemerintah tidak melihat bulan pada sembilan bulan itu, serta tidak ada semacam isbat tersendiri untuk menetapkan awal bulan.


"Karena yang ditetapkan untuk awal bulan itu hanya tiga: awal Ramadhan, awal Syawal dan Dzulhijjah. Kalau terkait dengan sembilan bulan yang lain itu tidak," urainya.


Ia mengatakan, memang secara empirik, pemerintah melaksanakan rukyatul hilal melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap bulan, tetapi hasilnya digunakan untuk verifikasi ilmiah dan tabulasi data.


"Ini sedikit berbeda dengan di NU. Kalau di NU, kita melakukan rukyatul hilal setiap bulan untuk verifikasi data juga, untuk tabulasi ilmiah juga. Digunakan, tetapi kemudian ada tambahan, yaitu untuk dijadikan sebagai penetapan awal bulan," pungkasnya.

 

Sebagai informasi, seminar ini terselenggara atas kerja sama antara PBNU, Kementerian Agama RI dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang digelar dari Kamis - Jumat, 1-2 Agustus 2024.