Nasional

Masyarakat Sipil Tuntut Kemenkes Hentikan Pembahasan RPMK 2024 terkait Produk Tembakau dan Rokok Elektronik

Rabu, 18 September 2024 | 17:30 WIB

Masyarakat Sipil Tuntut Kemenkes Hentikan Pembahasan RPMK 2024 terkait Produk Tembakau dan Rokok Elektronik

Peserta Halaqah Nasional untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Hotel Ashley, pada Selasa (17/9/2024). (Foto: dok. P3M)

Jakarta, NU Online

Aliansi masyarakat sipil menuntut pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 dihentikan karena terlalu memasung ruang gerak produk tembakau, rokok elektronik dan tata niaga pertembakauan di Indonesia.


Petisi ini disampaikan perwakilan masyarakat sipil dalam acara Halaqah Nasional untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Hotel Ashley, pada Selasa (17/9/2024)


Halaqah diikuti oleh 50 peserta dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan pemerintah, asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau, aliansi masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, dan media.


Acara Halaqah Nasional dengan tema Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menghadirkan beberapa narasumber.


Di antaranya perwakilan Kemenkes Benget Saragih, Ketua PBNU KH Miftah Faqih, Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Syahrizal Syarif, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Ali Rido, Ketua Ketua FSP-RTMM-SPSI Sudarto, Kusnasi Muhdi sebagai perwakilan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), dan Anggota DPR RI Komisi XI Misbakhun.


Direktur P3M Sarmidi Husna menyampaikan, halaqah ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran berbagai pihak terhadap dampak RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang mengusulkan ketentuan kemasan polos tanpa merek untuk diberlakukan.


RPMK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tersebut.


Sarmidi menyoroti proses penyerapan dan pengayaan pasal-pasal dalam RPMK 2024 yang sangat minim pelibatan publik dan stakeholder yang kredibel, sehingga tidak partisipatif.


"Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, asosiasi dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kelompok,” tutur Sarmidi, melalui rilis yang diterima NU Online, Rabu (18/9/2024).


Mewakili pemerintah, Benget Saragih menuturkan bahwa RPMK 2024 tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok, tetapi menyasar anak-anak agar tidak merokok.


Ia juga menggarisbawahi terkait partisipasi yang dinilai minus.


“Soal kealpaan beberapa Kementerian terkait, sebab menilai posisi mereka sudah menolak, sehingga Kemenkes jalan terus,” jelasnya.

 

Merespons pembelaan Benget Saragih, Ketua PBNU KH Miftah Faqih menegaskan bahwa dalam proses perumusan regulasi apapun wajib melibatkan masyarakat secara berimbang dan berorientasi pada kemaslahatan bersama (al-maslahah al-ammah), bukan sepihak. Jika tidak, RPMK 2024 batal dan tidak adil. Rancangan peraturan tidak sembarangan bisa disahkan tanpa adanya musyawarah dengan stakeholder terkait.


“Pada prinsipnya, peraturan RPMK 2024 harus mampu mengakomodasi semua golongan, berkeadilan dan sesuai dengan misi agama dan berwawasan ke depan,” tandas Kiai Miftah Faqih.

 
Sementara itu, perwakilan Kementerian Perindustrian Nugraha Prasetya Yogi mengungkapkan bahwa dalam proses PP 28/2024 yang sudah disahkan, pihaknya tidak dilibatkan dalam draf akhir.


“Apalagi perumusan pasal-pasal dalam RPMK 2024 yang baru ini, kami sama sekali belum terlibat di dalamnya, padahal RPMK ini berpotensi sangat merugikan dunia perdagangan dan industri,” ujar Yogi.


Lebih lanjut, Yogi juga menandaskan bahwa kebijakan standardisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal ini sangat berpotensi menurunkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.


Menurutnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal justru bisa menggerus pasar rokok legal sehingga dampaknya akan terjadi penurunan penjualan, penurunan produksi dan efisiensi tenaga kerja, bahkan sampai pemutusan tenaga kerja.


“Kondisi ini akan mengancam 537.452 orang tenaga kerja industri hasil tembakau dan mengancam keberlangsungan petani tembakau dan cengkeh yang mencapai 1,5 juta KK,” tegasnya.


Sudarto sebagai perwakilan Federasi Serikat Pekerja SPSI-RTMM (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia-Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman) juga menyuarakan penolakan atas RPMK 2024 versi Kemenkes ini.


Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang berdaulat. Pertanian tembakau dan tata niaga rokok sudah lama ada sebelum kita merdeka. Dari aspek ketenagakerjaan, industri rokok tidak sedikit menyerap tenaga kerja.


Sejak terbitnya UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2003 dilanjutkan PP 28 Tahun 2004, regulasi tembakau dipaksakan dengan strategi yang senyap dan sistematis, khususnya setelah
Framework Convention on Tobacco Control (FTCT) atau perjanjian internasional yang bertujuan untuk membatasi penggunaan tembakau demi kesehatan masyarakat 2003 diadopsi dan diimplementasikan pada 2005, regulasi nasional diteken dan sarat kepentingan bisnis.


Meski demikian, Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir yang diserap di industri hasil tembakau.


“Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan melalui kebijakan cukai, industri ditekan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin mahal, dan tidak aneh jika muncul rokok ilegal. Kami mewakili para pekerja, yang memiliki kesetaraan hak di muka hukum dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar,” jelas Sudarto.


Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyampaikan perlunya sinkronisasi PP dengan UU dan Peraturan Pemerintah yang ada.


Ia mengatakan, tembakau merupakan komoditas strategis nasional, dan termasuk produk unggulan lokal sehingga perlu dilindungi karena melibatkan nasib petani.


Selain sinkronisasi, setiap regulasi perlu melindungi hak-hak petani dan partisipasi publik secara lebih bermakna.


“Membuat peraturan tembakau tanpa partisipasi yang bermakna bisa dianggap inkonstitusional,” tegas Gunawan.


Sementara itu, Ali Rido menilai RPMK ini sangat hegemonik karena melampaui kewenangannya mengatur hal yang semestinya tidak diatur dalam peraturan menteri.


"Dalam pembahasan RPMK, Kemenkes tidak mengakomodir seluruh kepentingan stakeholder pertembakauan," katanya.


Anggota DPR RI Muhammad Misbakhun menyebut, kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat, hilangnya lapangan kerja dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) nasional.


“Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan,” ungkapnya.


Misbakhun juga menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT.


“Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang,” tuturnya.


Senada, Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh.


Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek. Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan.


Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi juga mengatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karena dampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau. Menurutnya, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.


Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan masyarakat sipil dalam Halaqah Nasional menilai RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebut bermasalah dalam aspek perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintdigr.