Jakarta, NU Online
Kehadiran teknologi di kehidupan dapat membantu dan mempermudah pekerjaan manusia. Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berkembang pesat belakangan ini. Beberapa jenis pekerjan seperti menulis, melukis bahkan meniru penyanyi kelas dunia bisa dilakukan AI. Meski demikian, kehadiran AI dalam beberapa industri menggantikan peran manusia dinilai dapat mengancam masa depan.
Di ranah jurnalistik, misalnya, AI telah mendorong kerja-kerja jurnalisme. Dalam pengumpulan data, AI dapat membantu jurnalis menyaring dan menganalisis informasi dari berbagai sumber secara cepat. Menariknya lagi, penggunaan AI dalam jurnalisme juga mampu menghasilkan konten secara otomatis. AI mampu menghasilkan artikel berita dalam waktu yang singkat.
Mendapati hal demikian, lantas bagaimana nasib jurnalisme di tengah era AI?
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana menilai perkembangan teknologi AI tidak serta merta menggantikan manusia dalam kerja-kerja jurnalistik.
“Jurnalisme tidak pernah hilang karena, jurnalisme adalah sebuah karya yang harus berpedoman dengan kode etik,” kata dia kepada NU Online, Jumat (21/7/2023).
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dipenogoro (Undip), Semarang itu mengatakan bahwa kerja jurnalistik mengandung tanggung jawab besar baik moral maupun etika. Ini hanya dapat dilakukan manusia, sebuah hal yang tidak mampu dilakukan oleh mesin.
“Di dalam jurnalisme, yang tidak bisa dilakukan AI itu dia tidak bisa melakukan verifikasi, konfirmasi, dan klarifikasi serta dia tidak bisa mencari fakta-fakta di lapangan. Jadi, jurnalisme tidak pernah hilang,” papar Yadi.
Meski begitu, Yadi tidak menampikkan fakta bahwa teknologi kecerdasan buatan dapat membantu kerja-kerja jurnalistik. Ai memberikan kemudahan untuk mendapatkan data dalam waktu singkat. Namun, peran teknologi AI dalam media massa tetap perlu dikendalikan.
“Bagaimana AI itu sangat baik untuk membantu kemudahan dalam produk jurnalistik, tapi tetap wartawan harus mengklarifikasi. Bedanya di situ ada tanggung jawab etik, human touch,” terang Yadi.
“Kebenaran itu tidak bisa dimonopoli oleh AI, karena kebenaran itu dicari dan fakta dicari oleh manusia. Masyarakat juga harus tetap mencari second option atau fakta dengan betul. AI hanya untuk memudahkan, tidak digunakan sebagai referensi utama,” tutupnya.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
5
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua