Nasional

Ngaji Suluk Maleman Jelaskan tentang Manusia Masjid dan Manusia Pasar

Rabu, 27 Juli 2022 | 13:15 WIB

Ngaji Suluk Maleman Jelaskan tentang Manusia Masjid dan Manusia Pasar

Anis Sholeh Ba'asyin dan Abdul Jalil dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman Manusia Masjid, Manusia Pasar yang digelar Sabtu pekan lalu. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Pati, NU Online

Manusia Masjid Manusia Pasar menjadi tema menarik yang dibahas dalam Suluk Maleman yang digelar secara luring Sabtu (23/7/2022) pekan lalu.


Menjelaskan tema tersebut, Penggagas Ngaji Suluk Maleman Habib Anis Sholeh Ba’asyin mengatakan, Imam Ja’far Shodiq guru dari Abu Hanifah pernah mengatakan jika ingin menilai seseorang sebaiknya bukan saat di masjid melainkan di pasar. Karena saat di pasar, seseorang akan memperlihatkan sisi aslinya. Baik dalam berkata atau tidak, atau pun suka menipu atau tidak.


"Kalau di masjid sudah pasti seseorang ingin menunjukkan sisi terbaiknya. Bahkan lewat tata cara berpakaiannya," ujar Habib Anis.


Padahal menurutnya, shalat seharusnya berdampak pada kehidupan sehari-hari. Tak sebatas pada persoalan individu dengan Tuhan, namun juga bagaimana bersosialisasi dan tingkah lakunya.


"Jangan sampai shalat ini seolah-olah absen di kantor saja. Shalat tapi tidak memberi dampak baik pada tingkah laku dan adab bersosialisasi," ujar dia.


Habib Anis juga menganalogikan, jika seseorang setiap hari bertemu kiai atau pun orang ‘alim, tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi sikapnya. Baik orientasi, pola hidup, maupun sudut pandangnya.


"Seharusnya shalat pun begitu. Karena shalat merupakan penghubung antara diri dengan Allah. Harusnya punya rasa malu, atau pun takut untuk melakukan kesalahan," urainya.


Dengan konsep itulah yang dimaksud manusia masjid harus membawa nilai-nilai masjidnya ke pasar. "Jangan terbalik, membawa konsep transaksional ke masjid. Pergi ke masjid biar dianggap baik," ungkap Habib Anis.


Abdul Jalil, salah satu narasumber lain memiliki sudut pandang yang menarik dalam memahami tema tersebut. Dia mengatakan, antara dakwah dan perdagangan justru memiliki kesatuan. Hal itu terlihat dari sejarah perkembangan Islam di Nusantara. 


"Suka atau tidak, ada dua pintu yang mesti diakui sebagai jalan masuk Islam. Yakni, lewat pintu perdagangan dan kekuasaan," ucap Abdul Jalil.


Dia juga mengatakan, saat membaca Ihya 'Ulumuddin karya Imam Ghazali, ada hadits yang menyebut jika ibadah yang disimbolisasi masjid dinilai 100 persen. Maka 90 persennya ada di persoalan ekonomi. Oleh karenanya jika berhasil menata kehidupan ekonomi, yakni memperoleh rezeki dengan cara yang benar, maka hasilnya adalah surga.


"Dalam hadits lain disebutkan gelutilah perdagangan, karena 90 persen pintu rezeki di perdagangan. Jika membaca dua hadits ini, kita harus berterimakasih pada Walisongo yang secara langsung telah mengajari kita cara mendakwahkan Islam dengan baik," ucapnya.


Baginya, sifat asli manusia bisa jelas terlihat ketika berhadapan dengan dua hal, yakni uang dan kekuasaan. Dua hal tersebut pada dasarnya berjalin berkelindan sedemikian rupa sehingga acap sulit dipisahkan. Tidak ada kekuasaan tanpa uang. Begitu pula tidak ada uang tanpa kekuasaan. 


"Uang dan kekuasaan harus dijaga supaya bisa dikendalikan dengan baik. Dalam hal ini Walisongo sebenarnya sudah mengajari kita dengan baik; tapi entah kenapa sekarang justru kembali melemah," jelas Jalil.


Dia pun kemudian mengingatkan bahwa kehadiran pasar atau penataan ekonomi yang baik bisa menjadi instrumen untuk menuju ke masjid atau ibadah. "Jangan sampai diajari ibadah tapi lupa dididik persoalan ekonomi," tandas dia.


Pembahasan tema Ngaji NgAllah Suluk Maleman yang juga disiarkan secara langsung lewat kanal media sosial ini, menjadi lebih menarik lagi karena banyaknya contoh aktual yang diangkat dan dibedah. Ini membuat ratusan jamaah yang hadir larut dalam diskusi hingga tengah malam. Apalagi di tengah-tengah pembahasan juga diselipi penampilan musik yang menarik dari Sampak GusUran.


Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan