Nasional

Ngaji Suluk Maleman Tekankan Kedaulatan Pangan dan Kesadaran Budaya sebagai Kekuatan Bangsa

Selasa, 20 September 2022 | 19:30 WIB

Ngaji Suluk Maleman Tekankan Kedaulatan Pangan dan Kesadaran Budaya sebagai Kekuatan Bangsa

Ngaji Suluk Maleman Anis Sholeh Baasyin. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Pati, NU Online

Masalah kebangsaan kembali dibahas dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman pada Sabtu lalu. Dalam forum ngaji budaya tersebut dibahas tentang pentingnya posisi kedaulatan pangan serta kesadaran budaya sebagai sumber utama kekuatan bangsa.


Bambang Sadono, tokoh yang malam itu menjadi narasumber dalam Suluk Maleman menyebutkan, negara-negara besar bukanlah yang berbasis pada industri melainkan yang menitikberatkan pada sektor agraria. Kenyataannya, negara-negara yang telah mampu berdaulat dalam sektor pangan sajalah yang akan menjadi negara yang kuat.


“Kita sering terkecoh dengan sebutan yang disematkan pada mereka sebagai negara industri. Amerika misalnya, mereka justru memiliki lahan yang sangat luas untuk pertanian. Dulu saat kain berasal dari kapas mereka punya lahan kapas yang luas. Mereka juga punya kebun apel, gandum dan lain sebagainya. Bahkan, saat ini pasokan kedelai terbesar juga datang dari Amerika,” terang Bambang Sadono.


Ironisnya, kata dia, sebagai bangsa pengonsumsi tempe, Indonesia justru harus mengimpor kedelai sebagai bahan pokoknya. Begitu pula untuk tepung. Indonesia adalah bangsa pengonsumsi mie terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Namun hampir tidak ada tanaman gandum di sini sehingga harus impor.


“Ketika terjadi konflik Ukraina dan Rusia malah kita yang cukup kelimpungan. Banyak lagi contohnya. Gula misalnya,saat ini kita masih mengandalkan impor. Atau, yang terasa ironis, meski punya lahan sawit begitu besar tetap saja kita mengalami krisis minyak goreng,” sesalnya.


Selain kedaulatan pangan, Bambang Sadono juga menegaskan tentang pentingnya kebudayaan sebagai landasan sebuah peradaban. Bambang menyebut Jepang sebagai contoh masyarakat yang berbasis kebudayaan kuat. Meski rata-rata orang Jepang cukup kaya, namun hampir tidak ada yang membeli mobil produk dari luar, baik Amerika mau pun Eropa,


“Padahal tidak ada larangan untuk membelinya. Itu terjadi karena mereka punya ikatan yang kuat pada produk dalam negerinya sendiri,” ucap Bambang.


Bambang pun mengingatkan betapa dulu para pejuang kemerdekaan kita memiliki nilai-nilai mulia yang diperjuangkan. Bahkan meski nilai itu berbeda-beda, baik agama, pendidikan, mau pun ideologi, namun kesemuanya menyatu demi Indonesia.


“Kini kita banyak kehilangan nilai-nilai tersebut. Kita sekarang tampaknya malah sudah membalik urutan bangunan kemasyarakatan kita, dimana posisi paling atas adalah kekuatan ekonomi, baru setelah itu politik, sosial dan budaya. Jadi saat ini kekuatan ekonomilah yang menentukan segalanya, sementara kekuatan budaya yang seharusnya menentukan justru menjadi yang paling tidak berdaya," ungkapnya.


Sementara itu menurut penggagas Suluk Maleman Anis Sholeh Ba’asyin, Indonesia sebenarnya memiliki basis kebudayaan yang kuat. Indonesia memiliki muru'ah, harga diri yang kuat. Hanya saja seiring jalannya waktu, banyak nilai-nilai luhur yang terkikis.


“Pertanyaannya, bagaimana nilai-nilai mulia ini akhirnya terkikis dan hilang? Hari ini bangsa kita justru menunjukkan perilaku yang buruk terkait hal-hal tersebut?” ujar Anis mengungkapkan keluh kesahnya.


Editor: Fathoni Ahmad