Nasional

NU Tetapkan Hukum Islam dengan Dasar Pemahaman Nas dan Realitas

Ahad, 11 Agustus 2024 | 15:00 WIB

NU Tetapkan Hukum Islam dengan Dasar Pemahaman Nas dan Realitas

Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa saat menyampaikan pidato kunci pada Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hoten Grand Nanggroe, Jalan T Imum, Cot Mesjid, Banda Aceh, Aceh, Ahad (11/8/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Banda Aceh, NU Online

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa membuka secara resmi Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hotel Grand Nanggroe, Jalan T Imum, Cot Mesjid, Banda Aceh, Aceh, Ahad (11/8/2024).


Dalam pidato kuncinya, Kiai Zulfa menyampaikan bahwa penetapan hukum di dalam Nahdlatul Ulama didasarkan pada dua hal, yakni nas dan realitas.


"Dalil syar'i itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ni sifatnya naqli dan kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," katanya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.


Oleh karena itu, Kiai Zulfa menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Qur'an dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. Karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.


"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," katanya.


Ia mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. Menurutnya, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari. Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram.


"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujar kiai asal Banten itu.


Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU 2010-2015 itu menegaskan bahwa kondisi sosial selalu berubah seiring perkembangan zaman. Sebab, menurutnya mengutip ulama, 90 persen dalam penetapan fiqih adalah didasarkan pada realitasnya.


Kiai Zulfa mencontohkan sejumlah tokoh yang menerapkan nas dan realitas dalam memutuskan suatu persoalan. Rasulullah, misalnya, yang pada akhirnya memberikan kurma untuk orang yang batal puasa karena melakukan hubungan badan dengan istrinya. Sebab, Nabi melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin. Bahkan, ketika Nabi memberikan kurma itu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin, ia menjawab bahwa dia orang paling miskin.


"Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas)," kata penulis Kitab Al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi li al-Mutafaqqih Jahluhu itu.


Selain Nabi Muhammad, Kiai Zulfa juga menyebut Siti Aisyah sebagai sosok yang menerapkan nas dan realitas dalam memutuskan sebuah hukum. Hal itu tampak saat mengundang Abu Hurairah untuk mengonfirmasi perkataannya yang menyebut seorang perempuan masuk neraka karena tidak memberikan makan kucing. Setelah mendapat konfirmasi, Siti Aisyah menanyakan perihal apakah tahu atau tidak terkait perempuan tersebut Muslim atau kafir. Ternyata, Abu Hurairah pun tidak mengetahuinya.


"Kau harus tahu, Nabi mengatakan itu karena perempuan itu adalah kafirah," terang Kiai Zulfa mengutip pernyataan Siti Aisyah kepada Abu Hurairah.


Kiai Zulfa juga menyebut Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Utsman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengombinasi realitas dan nas dalam menetapkan hukum. Pun para ulama mujtahid mutlak.


Sayyidina Umar bin Khattab tidak menghukumi potong tangan pada seorang pencuri. Hal ini didasarkan pada realitas saat itu yang tengah dilanda kelaparan, sedangkan orang kaya tidak berbagi. Pun Sayyidina Utsman bin Affan yang melaksanakan shalat secara sempurna saat haji karena dikhawatirkan orang beranggapan wajib qashar.


Oleh karena itu, Kiai Zulfa kembali menegaskan bahwa ulama NU selalu memerhatikan realitas dalam menetapkan hukum karena harus memahami aturannya. Pertama, perlu memahami masalah yang harus difatwakan antara furuiyah khilafiyah atau qathiyah. Jika khilafiyah, tidak perlu diributkan. Misalnya, perihal hukum qunut atau maulid, dibiarkan saja. "Kita tahu ini masalah khilafiyah," katanya.


Pun dalam menetapkan hukum juga harus mengikuti manhaj istinbath empat mazhab. "Kita harus memahami maqashid syariah. Harus memperhatikan risiko fatwa," ujarnya.


Sementara itu, Rektor UIN Ar-Raniry Mujiburrahman menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi umat melalui sinergi kiai, ulama, ilmuwan, dan cendekiawan yang diwujudkan dalam bentuk pemikiran, gagasan hasil kajian dan diskusi.


Pertemuan ini, menurutnya, dapat memperkaya khazanah keilmuan kontemporer untuk menjawab masalah umat di era kekinian dan masa depan.


Adapun Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh H Azhari berharap, kehadiran para ulama dapat menghasilkan putusan atau kesimpulan untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.


"Sehingga arahan petunjuk dan kesimpulan dari seminar ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan kepada umat seluruhnya," katanya.


Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, PWNU Sumatra Utara, PWNU Sumatra Barat, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Aceh, PCNU se-Sumatra Utara, dan PCNU se-Sumatra Barat. Seminar ini terselenggara atas kerja sama PBNU, Kementerian Agama, dan UIN Ar-Raniry.