Nasional

PBNU: Memperkuat Politik dan Ekonomi Pancasila Bukan dengan RUU HIP

Jumat, 19 Juni 2020 | 02:00 WIB

PBNU: Memperkuat Politik dan Ekonomi Pancasila Bukan dengan RUU HIP

Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat. (Foto: NU Online/Muchlishon)

Jakarta, NU Online

Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menjadi usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) resmi ditunda pembahasannya pada Selasa (16/6). Pemerintah tidak menyetujui pembahasan RUU HIP tersebut berlanjut.


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum dan Perundang-undangan H Robikin Emhas menyampaikan bahwa dalam upaya untuk memperkuat politik dan ekonomi Pancasila sebagaimana dituangkan dalam RUU HIP bukanlah melalui UU tentang Pancasila, melainkan harus memperkuat UU ekonomi dan UU politik.


“Penyelesainnya bukan membbuat RUU yang di dalamnya mengatur demokrasi ideologi Pancasila, yang tepat adalah mengubah atau mereformasi paket UU di bidang politik, pemilu,partai politik, dan seterusnya,” katanya saat menjadi narasumber pada diskusi virtual Membedah RUU Haluan Ideologi Pancasila yang digelar oleh Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama (PP IPNU) pada Kamis (18/6).


Sementara jika melihat keadilan sosial masih jauh panggang dari api misalnya, tentu tidak dengan cara membuat RUU HIP yang mengatur demokrasi perekonomian Pancasila, melainkan dengan memperkuat UUD 1945 pasal 33.


Di dalamnya, termuat ayat 5 setelah amandemen keempat yang memerintahkan dibuat UU induk atau payung tentang sistem perekonomian nasional supaya tidak kapitalis, tidak sosialis, tetapi sistem perekonomian Pancasila.


Robikin menegaskan bahwa harus dibedakan antara Pancasila sebagai ideologi prinsip dan ideologi kerja. Sebagai prinsip, katanya, Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum, maka jangan diturunkan level pengaturannya menjadi UU, melainkan harus tetap ditempatkan di atas konstitusi.


“Begitu pula Pancasila sebagai falsafah dasar negara yang menjadi pedoman dalam mewujudkan upaya untuk tujuan lahirnya Indonesia. jangan diturunkan derajatnya diatur-atur dalam UU,” ujar advokat yang juga Staf Khusus Wakil Presiden itu.


PBNU, menurutnya, sepakat dalam hal BPIP perlu diperkuat. Hal tersebut mengingat ancaman ideologi yang merongrong begitu rupa dapat merapuhkan keutuhan bangsa. Namun, jangan eksepsif seperti tertuang dalam RUU HIP.


“Kalau addressnya memperkuat BPIP maka meletakkan pengaturan sistem demokrasi Pancasila tidak tepat, apalagi menempatkan itu pada sila sesuai pandangan 1 Juni,” ujarnya.


Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) H Jazilul Fawaid menyampaikan bahwa ketika rancangan atau naskah akademik UU HIP mengemuka pada awalnya bukan RUU HIP, tetapi judulnya Pembinaan Ideologi Pancasila. Hal itu, menurutnya, semacam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).


“Ketika rumusannya berubah seperti yang sekarang beredar, itu selain menyimpang dari tujuan awal memberikan kekuatan kepada BPIP, itu juga filosofinya berubah semua,” katanya.


Karenanya, Wajar pada akhirnya ada yang menyebut ini RUU yang sekular karena tidak memuat kata ketuhanan, sebab ada pasal di situ negara bersendikan keadilan. Ada juga yang mensinyalir UU ateis, antituhan.


Karena beban polemik dan menyimpang dari tujuan, pemerintah mengambil keputusan untuk tidak memberikan Surat Persetujuan Presiden. “Ini tidak keluar dan diputuskan ditunda. Di pimpinan MPR berkepentingan mengambil keputusan menyetujui langkah pemerintah untuk menunda memberhentikan pembahasan RUU ini,” ujarnya.


Oleh sebab itu, nanti polanya menunda atau memberhentikan sementara kalau sosialisasinya meleset seperti membuka kotak pandora. Ini mengurai ikatan yang sudah kuat karena negara ini disebut dengan darul mitsaq atau negara kesepakatan, yakni berupa Pancasila sebagai sebuah kesepakatan yang agung.

 

“Karena nilai-nilai dasar tidak bisa lagi diturunkan jadi UU,” pungkasnya.


Adapun Direktur Pengajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Muhammad Sabri menegaskan dengan mengutip Michel Foucault, bahwa snagat penting generasi memahami sejarah ide.


“Bahwa Pancasila ini konsensus bersama dari tokoh pendiri bangsa. Ini anugerah besar, lagacy besar. Karena itu, dalam pandangan kami 1 Juni, 22 Juni, maupun 18 Agustus, harus menjadi pertimbangan,” katanya.


Sementara itu, Ketua Umum PP IPNU Aswandi Jailani mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia sudah menyepakati Pancasila sebagai ideologi final yang tidak bisa lagi dikristalisasi menjadi trisila apalagi ekasila sebagaimana menjadi polemik dalam RUU tersebut.


Menurutnya, bukan saja ditunda, RUU HIP juga bila perlu dibatalkan sekaligus. Pasalnya, RUU ataupun naskah akademik tidak memuat Tap MPRS 1966 yang melarang komunisme, leninisme, dan marxisme, juga tidak memuat Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.


Aswandi khawatir justru RUU tersebut akan menjadi landasan bagi organisasi-organisasi tersebut untuk kembali menyebarkan ideologinya yang justru sangat membahayakan bagi keutuhan negara.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad