Nasional

Penanganan Covid-19 dengan Cetak Uang Berpotensi Timbulkan Hiperinflasi

Sabtu, 13 Juni 2020 | 00:30 WIB

Jakarta, NU Online

Pandemi Covid-19 membuat dunia bergejolak, termasuk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto, mengatakan perekonomian Indonesia pada kuartal II/2020 akan lebih buruk dan negatif. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan kemungkinan skenario sangat berat, yaitu ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,4 persen pada tahun 2020.

 

Membengkaknya defisit anggaran akibat tingginya tekanan ekonomi dari pandemi, memunculkan narasi mencetak uang atau menerbitkan surat utang. Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang antara Rp400-Rp600 triliun sebagai cara cepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19. Uang tersebut bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi. 

 

Tri Kunawangsih Purnamaningrum dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti membenarkan bahaya yang ditawarkan dari cetak uang berlebihan bisa menimbulkan hiperinflasi.

 

"Hiperinflasi dapat menyebabkan turunnya nilai mata uang. Uang yang terlalu banyak dapat menyebabkan warga menjadi konsumtif sehingga menurunkan nilai uang. Hal ini patut diperhatikan mengingat nilai tukar rupiah pernah menjadi 17 ribu di awal kemunculan kasus Covid-19," ujarnya pada diskusi online yang diadakan INFID belum lama ini.

 

Sementara itu, Ella Siti Nuryamah, Anggota DPR RI Komisi XI menjelaskan posisi DPR dalam mencetak uang dan asal muasal isu ini. Menurut dia diperlukan kajian mendalam sebelum usulan mencetak uang dikeluarkan.

 

"Wacana mencetak uang ini bukan sikap resmi dari institusi DPR, cetak uang lahir dari gagasan beberapa anggota DPR saja. Gagasan ini muncul mengingat tingginya defisit fiskal 2020 yang menjadi 6,34 persen atau sebesar Rp1.039,2 triliun pada tanggal 3 Juni 2020. Banyaknya uang yang dicetak juga tidak menjamin bisa menangani defisit APBN yang saat ini banyak digunakan untuk stimulus ekonomi," kata Ella.

 

Menurut Bob Azam dari KADIN, urgensi cetak uang adalah skenario terburuk terhadap dampak COVID-19. Setidaknya skenario perlu dipersiapkan pemerintah sampai pada level terburuk demi kepastian bisnis dan usaha.

 

"Saat ini, perusahaan-perusahaan tidak memiliki income, sehingga umum terjadi unpaid leave yang akrab dengan ketidakpastian. Industri otomotif yang berkontribusi 7,5 persen bagi GDP Indonesia diperkirakan penjualannya akan menurun sampai 40 persen," jelas Bob Azam.

 

Bob Azam juga menambahkan injeksi langsung kepada dunia usaha belum ada. Dana kebanyakan mengalir ke BUMN, bukan ke UMKM dan pekerja. Di negara lain transfer bantuan sudah langsung dari pemerintah kepada pengusaha. Namun, di Indonesia masih harus melalui perbankan.

 

"Pinjaman melalui perbankan tentunya menguntungkan pengusaha ketimbang UMKM, karena nilai pinjaman kredit oleh pengusaha memiliki jaminan kredit yang lebih baik dibandingkan dengan jaminan kredit dari UMKM," kata Bob Azam.

 

Menaggapi pernyataan Bob Azam, Ella dari DPR RI menyatakan bahwa mekanisme stimulus harus tetap dilakukan melalui perbankan melalui prosedur peminjaman. Selain itu dari rapat bersama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), subsidi untuk industri dan korporasi hanya dilakukan pada tingkat PPh saja. Tidak ada subsidi upah. Karena Kementerian Keuangan beralasan bahwa keuangan kita tidak mungkin bisa menanggung biayanya.

 

Sebagai penutup, Tri Kunawangsih menyatakan bahwa UMKM menjadi pihak yang membantu perekonomian kita pada krisis moneter terakhir di Indonesia. Maka saat ini pula kita perlu memperhatikan UMKM. Ia juga menyampaikan bahwa kondisi inflasi tidak hanya dipengaruhi banyaknya peredaran uang, tetapi juga karena tingginya jumlah pengangguran.

 

Editor: Kendi Setiawan