Nasional

Pengamat Migas: Kalau Subsidi Tepat Sasaran, APBN Tidak akan Jebol

Rabu, 7 September 2022 | 19:00 WIB

Pengamat Migas: Kalau Subsidi Tepat Sasaran, APBN Tidak akan Jebol

Pengamat Migas dan Minerba M Kholid Syeirazi (tengah) dalam sebuah diskusi di Jakarta. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Pengamat Migas dan Minerba M Kholid Syeirazi menilai kebijakan pemerintah Indonesia menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alasan karena sekitar 80 persen subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu adalah solusi yang salah dan tidak tepat.


“Kalau argumennya adalah ketidaktepatan sasaran, solusinya bukan menaikkan harga BBM. Tapi memberikan subsidi tepat sasaran,” kata Kholid kepada NU Online, Rabu (7/9/2022).


Alih-alih menaikkan harga BBM, menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan pembatasan dan pengawasan ketat dalam penyaluran BBM.


“Jadi, narasi argumen pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah subsidi tidak tepat sasaran. Argumen ini, sebenarnya—mohon maaf—ibarat ‘Joko Sembung makan tomat, tidak nyambung bodo amat!’,” ujarnya.


Subsidi BBM, ia bilang, tidak sekadar dilihat dari nilai transaksi jual beli di SPBU, tapi pengaruhnya ke perekonomian yang melindungi masyarakat miskin.


“Betul, menaikkan harga BBM akan mengurangi subsidi. Tapi, subsidi tetap tidak tepat sasaran, meskipun jumlahnya turun,” jelas Direktur Eksekutif Center for Energy Policy ini.


Maka dari itu, Kholid mengatakan bahwa menaikkan harga BBM bukan satu-satunya opsi. Harga BBM subsidi bisa tetap alias tidak naik, tetapi hanya dialokasikan untuk yang berhak.


“Solusinya, benahi administrasi kependudukan. Bagaimana APBN tidak jebol wong pemerintah saja tidak tahu subsidi larinya ke mana. Contohnya, orang mati masih tercantum dalam kelompok penerima manfaat (KPM). Sementara yang hidup dan berhak malah tidak dapat,” katanya menegaskan.


Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) ini kemudian merinci data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa orang miskin di Indonesia ada 26 juta. Tetapi, kelompok penerima manfaat (KPM) BLT BBM jumlahnya 20.65 juta jiwa.


“Jika dibuat simulasi sederhana sederhana, kuota BBM subsidi (Pertalite) 23 juta kiloliter, solar 15 juta kiloliter. Ini adalah kuota subsidi terbuka. Artinya, semua orang —kaya miskin— bisa beli BBM subsidi. Kalau tepat sasaran, kuota subsidi tidak akan sebesar itu,” terang Kholid.


Menurut dia, kuota ditentukan berdasarkan mustahiq (yang berhak) dan konsumsi rata-rata per liter dikali setahun. Menurut data Badan Kebijakan Fiskal (BKF), 40 persen masyarakat terbawah mengonsumsi BBM rata-rata 17,1 liter per rumah tangga per bulan.


“Artinya, konsumsi mereka rata-rata 0,57 liter per hari. Dikali setahun jadi 208 liter. Tidak banyak!,” terang pria kelahiran Pekalongan Jawa Tengah ini.


Sebelumnya, Menteri Keuangan mengatakan bahwa risiko beban subsidi tanpa kenaikan harga menjadi Rp698 triliun, dari alokasi saat ini sekitar Rp 502 triliun.


Kini setelah harga BBM subsidi dinaikkan, anggaran untuk BBM diprediksi tetap membengkak menjadi Rp 650 triliun-meningkat lebih dari empat kali lipat dibanding anggaran APBN 2022 sebesar Rp 152,5 triliun.


Artinya, selisih anggaran BBM dinaikkan dan tidak berada di bawah Rp50 triliun.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori