Nasional

Pentas Ketoprak Sunan Gunung Jati Perkuat Moderasi Beragama dan Pelestarian Budaya

Sabtu, 24 Agustus 2024 | 08:00 WIB

Pentas Ketoprak Sunan Gunung Jati Perkuat Moderasi Beragama dan Pelestarian Budaya

Pentas ketoprak bertajuk Wo Ai Ni di Gunung Jati sukses digelar oleh Kementerian Agama di Bidakara, Jakarta, Jumat (23/08/2024) malam. (Foto: dok. Direktorat Penais Kemenag)

Jakarta, NU Online

Pentas ketoprak bertajuk "Wo Ai Ni di Gunung Jati" sukses digelar oleh Kementerian Agama di Bidakara, Jakarta, Jumat (23/08/2024) malam. Acara ini menampilkan kisah Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo, yang mengisahkan perjuangannya dalam membangun harmoni antara budaya dan agama.


Dikisahkan, sebagai raja, Sunan Gunung Jati dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan adil. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan berupaya menjaga kerukunan serta stabilitas di wilayahnya. Pada saat itu, Cirebon menjadi kota yang plural, mengingat penduduknya bukan hanya dari Jawa dan Sunda saja, tetapi juga dari China dan Arab.


Sebagai tokoh wali dengan nama asli Syarif Hidayatullah, ia menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Ini termasuk seni, adat istiadat, dan bahasa setempat sehingga ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat.


Salah satu sikap moderat yang menunjukkan hal itu adalah, ia mengizinkan pendirian tempat ibadah klenteng, di wilayah kekuasaannya. Tidak hanya memberikan izin, Sunan Gunung Jati juga menyumbangkan kayu sebagai tiang penyangga bangunan klenteng tersebut.


Sejumlah pejabat tinggi turut hadir dalam acara tersebut, antara lain Wakil Menteri Agama, Ketua Komisioner KPI, perwakilan Komisi VIII, dan beberapa Duta Besar.


Dalam kesempatan ini, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin, memberikan sambutan tentang pentingnya seni ketoprak dalam perjalanan sejarah bangsa.


“Ketoprak adalah cermin budaya yang memantulkan kearifan lokal serta nilai-nilai luhur yang harus terus diwariskan. Ketoprak juga mengajarkan kita tentang kebijaksanaan, cinta, pengorbanan, kebenaran, dan keadilan yang tak lekang oleh zaman," ungkap Kamaruddin.


Ia menjelaskan, Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarif Hidayatullah menggunakan budaya sebagai medium dakwah. Seni ketoprak, katanya, mengemban peran serupa dalam menyemai nilai-nilai moderasi beragama, yang mengajarkan harmoni, penghargaan terhadap perbedaan, dan kebinekaan sebagai kekuatan bangsa.


"Ketoprak menjadi sarana untuk menyatukan hati, menanamkan kesadaran bahwa dalam perbedaan ada persamaan yang menyatukan kita sebagai umat manusia," jelasnya di hadapan ratusan hadirin.


Pada pentas tersebut, para tamu undangan tidak hanya menyaksikan sebuah pertunjukan, tetapi juga peradaban yang hidup dan bernapas melalui seni ketoprak. Hal ini membuktikan, lanjut Kamaruddin, budaya dan agama dapat berjalan beriringan, saling memperkaya, dan saling menguatkan, membentuk peradaban yang beradab dan berbudaya.


“Inilah pentingnya melestarikan seni tradisional seperti ketoprak agar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang,” tegas Kamaruddin.


Sementara itu, Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, menyoroti tema ‘Wo Ai Ni di Gunung Jati’ menggambarkan eratnya hubungan antara kebudayaan dan ajaran agama.


“Pentas ketoprak ini adalah wujud nyata dari pelestarian budaya nusantara yang kaya akan nilai-nilai luhur dan menjadi sarana edukasi dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual,” ujarnya.


Dia juga menyampaikan bahwa persiapan pentas ini melibatkan penggalian data mendalam mengenai sejarah dakwah Sunan Gunung Jati, dengan konsultasi dari ahli sejarah, filolog, dan budayawan.


“Latihan intensif selama dua bulan oleh para pemain ketoprak menunjukkan komitmen tinggi mereka untuk memberikan penampilan terbaik. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pencerahan tentang pentingnya merawat kebudayaan dan mengedepankan moderasi dalam beragama,” papar Zayadi.


Acara ini disaksikan oleh 400 tamu undangan yang hadir langsung di tempat, dan ribuan penonton lainnya melalui live streaming di Bimas Islam TV. Hal ini menunjukkan bahwa seni tradisional seperti ketoprak masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat, dan dukungan teknologi sangat penting dalam memperluas jangkauan seni budaya.


Zayadi mengucapkan terima kasih kepada Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas, yang memberikan dukungan penuh. Termasuk ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para sutradara, Agus Marsudi dan Laksitowati Sita, serta seluruh pihak yang berkontribusi dalam acara ini.


Ia berharap pentas ketoprak ini dapat menjadi bagian dari upaya bersama untuk melestarikan kebudayaan dan memperkuat moderasi beragama di tengah-tengah masyarakat. “Semoga usaha ini mendapat ridha dari Allah SWT, dan seni tradisional seperti ketoprak terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi,” harapnya.