Nasional

Perbedaan Watak Orang Beriman dan Musyrik saat Ditimpa Musibah

Selasa, 13 Juli 2021 | 00:00 WIB

Perbedaan Watak Orang Beriman dan Musyrik saat Ditimpa Musibah

Ilustrasi: Musibah bagi orang beriman adalah ladang untuk menerapkan ajaran dari kalam-kalam hikmah yang selama ini dibaca dan dipelajari.

Jakarta, NU Online

Intelektual muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla menjelaskan perbedaan watak orang beriman dan orang musyrik ketika menerima musibah.

 

Ia menyampaikan hal tersebut karena saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Ia mengajak umat Islam dapat mengambil pelajaran dari adanya Covid-19.

 

"Watak manusia, orang musyrik ketika mendapatkan musibah atau krisis maka ia berdoa. Ketika krisis itu dihilangkan maka kembali ke watak awal. Orang beriman tidak begitu," jelasnya saat kegiatan Doa Bersama untuk Bangsa, Senin (12/7).

 

Menurut Gus Ulil, watak orang musyrik ini dijelaskan oleh Allah di Al-Qur'an. Dewasa ini, lanjutnya, watak orang musyrik ini juga melekat pada manusia modern. Banyak orang yang tanpa terasa merawat watak kaum musyrikin.

 

Ketika dalam keadaan sulit, orang musyrik datang mengemis kepada Allah. Banyak doa dan shalat khusus dilakukan saat musibah datang. Setelah kesulitan itu hilang maka kembali lagi seperti semula, seakan tidak ada apa-apa. 

 

"Menurut saya, kini bukan hanya watak orang musyrik, tapi juga watak kebanyakan manusia ketika mendapatkan musibah. Saat dalam musibah, shalatnya khusyuk, doanya sangat khusyuk. Namun, ketika normal, doanya asal-asalan dan shalatnya pun begitu," imbuh Gus Ulil.

 

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta ini menambahkan, perbedaan utama orang beriman dan musyrik saat ditimpa musibah akan terlihat setelah terjadinya musibah atau cobaan itu diangkat.

 

Dikarenakan, orang berdoa saat sulit atau terdesak itu hal biasa. Bahkan banyak orang yang mendadak kembali dan ingat Allah lagi ketika dihantam cobaan.

 

Perbedaannya bedakan antara orang musyrik dan orang iman yaitu musyirikin akan kembali seperti semula, acuh tak acuh dengan Allah. Sedangkan orang beriman, sikapnya tambah dekat dengan Allah. Doa yang dilakukan saat sulit, tetap dilakukan saat senang.

 

"Jadi tindakan pasca krisis inilah yang terpenting. Cobaan tidak merubah apa-apa setelah kesulitan dihilangkan ini bisa dikatakan azab. Tidak mengambil pelajaran. Sudah diberikan cobaan, tapi tidak ada hal baru berubah," tegas Gus Ulil.

 

Gus Ulil juga menjelaskan, cobaan bagi orang beriman adalah ladang untuk menerapkan ajaran dari kalam-kalam hikmah yang selama ini dibaca dan dipelajari.

 

Sementara yang lain, mengalami situasi yang agak aneh. Hampir setiap hari baca dan buat kalimat-kalimat yang bijak di Facebook, Instagram, dan WhatsApp dengan desain yang unik. Namun, gagal menerapkan saat dapat musibah.

 

"Pandemi ini adalah saatnya menerapkan kalimat bijak pada kejadian yang kita alami sehari-hari selama pandemi Covid-19. Kata-kata mutiara tentang persahabatan, gotong royong, perdamaian itu coba diterap di sini. Kelanjutan dari ide dan tulisan adalah tindakan nyata," katanya.

 

Menurut Gus Ulil, saat ini kata bijak banyak digunakan untuk mencari sensasi. Dengan harapan, semakin terlihat bijak, bisa mendatangkan banyak like dan tambah follower. Manusia modern hidup di era aneh, karena kebijakan hanya diproduksi sebagai konten, mendatangkan pujian dan jempol serta emoticon. 

 

"Ini aneh, kalimat bijak dan hikmah itu memang indah dikutip. Sebetulnya tujuannya bukan itu. Kita sibuk pada konten dan lupa mengetes kalimat bijak tersebut sehingga tidak mengalami dalam laku sehari-hari. Ini bukan watak orang beriman," tandasnya.

 

Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Kendi Setiawan