Nasional

Perjuangan Fatmawati Jahit Bendera Merah Putih

Rabu, 17 Agustus 2022 | 11:30 WIB

Perjuangan Fatmawati Jahit Bendera Merah Putih

Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Merah Putih merupakan bendera Indonesia yang menjadi identitas negara Indonesia. Lebih dari itu, bendera yang bermakna semiotik-filosofis berani dan suci itu menjadi sebuah lambang kebanggaan warga negara Indonesia. 


Sejarah kemerdekaan Indonesia pun terukir di balik warna merah dan putih tersebut. Sejarah kemerdekaan Indonesia tecermin pula pada penjahitan bendera pusaka tersebut.


Adalah Fatmawati, seorang perempuan Indonesia yang menjahit bendera tersebut sehingga pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dimeriahkan dengan pengibaran bendera. Meskipun bendera tersebut tidak sesuai dengan standar ukuran bendera yang seharusnya, kain dua warna yang terjahit menjadi satu itu kemudian menjadi bendera yang sangat disakralkan oleh bangsa Indonesia. Nama Fatmawati pun tercatat dalam sejarah sebagai wanita penjahit bendera pusaka.


Perjuangan mencari kain bendera

Jelang kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan istrinya Fatmawati ikutan merundingkan perihal bendera yang mampu merepresentasikan Indonesia. Keduanya ingin supaya Indonesia memiliki bendera dengan ukuran dan bahan yang bagus. Soekarno pun mengusulkan wanita yang akrab disapa Ibu Fat untuk segera mencari bantuan.


Ibu Fat tak kehilangan akal. Ia meminta tolong kepada pemuda yang bernama Chairul Bahri untuk mencarikan bahan bendera kepada pesohor Jepang yang pro kemerdekaan Indonesia, Shimizu.


Semua itu dilakukan karena mencari bahan bendera tak mudah pada masa itu. Apalagi Jepang terlibat dalam Perang Dunia II. Bahan-bahan kain sedang krisis. Kalaupun ada, maka Jepang yang menguasainya. Langkah Ibu Fatmawati sangat tepat untuk menemukan bantuan.


Shimizu dengan lihai membujuk militer yang menjaga gudang milik Jepang. Fatmawati senang bukan main. Berkat kuasa Shimizu itu, Ibu Fatmawati berhasil membuat beberapa lembar kain untuk dijahit jadi Bendera Merah Putih. Ia langsung menjahit bendera itu di Rumah pegangsaan sesuai permintaan Shimizu.


“Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu.”


“Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku. Nampak olehku di antara mereka adalah Mas Diro (Sudiro ex Walikota DKI), Suhud, Kolonel Latief Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” terang Fatmawati dalam buku Catatan Kecil bersama Bung Karno (2016).


Kondisi Hamil tua

Walau hanya ‘Merah dan Putih’ tentu saja bukan perkara mudah bagi Fatmawati yang saat itu dengan kondisi fisik rentan karena sedang hamil besar. 


Dalam Buku berjudul Berkibarlah Benderaku (2003), yang ditulis oleh Bondan Winarno, diketahui Fatmawati sambil menitikkan air mata ketika menjahit bendera ini. Bukan tanpa alasan, sebab saat itu Fatmawati tengah menanti kelahiran putra pertamanya Guntur Soekarnoputra, yang memang sudah bulannya untuk dilahirkan. 


Di buku tersebut juga dijelaskan bahwa Fatmawati menjahit menggunakan mesin jahit Singer yang hanya bisa digerakan menggunakan tangan saja. Karena mesin jahit yang menggunakan kaki, tidak diperkenankan mengingat usia kehamilan Fatmawati yang tinggal menunggu waktunya saja untuk melahirkan. Fatmawati baru menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua hari. 


Dengan menggunakan alat jahit tangan, bendera Merah Putih berukuran 2x3 meter itu untuk pertama kalinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.


Bertahun-tahun bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati ini dikibarkan dalam upacara kenegaraan. Sampai akhirnya bendera tersebut digantikan oleh duplikatnya mengingat usianya yang sudah tua. Untuk menjaga keutuhannya, Sang Dwiwarna itu selanjutnya difungsikan sebagai Bendera Pusaka dan disimpan di tempat terhormat di Monumen Nasional. 


Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syakir NF