Nasional

Perjuangan Rakyat Palestina Merupakan Perjuangan Nasionalisme

Senin, 31 Mei 2021 | 14:00 WIB

Perjuangan Rakyat Palestina Merupakan Perjuangan Nasionalisme

KH Mohammad Dian Nafi Wakil Syuriyah PWNU Jawa Tengah

Jakarta, NU Online


Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Mohammad Dian Nafi  mengatakan perjuangan Palestina hendaknya tidak dilihat hanya perjuangan satu negara saja, namun ia adalah perjuangan dibaca sebagai gerakan kemanusiaan dan nasionalisme untuk menjadi negara yang berdaulat.


“Bangsa Palestina sedang berjuang untuk memulihkan kedaulatan politiknya sebagai bangsa yang merdeka. Untuk perjuangan itu penumbuhan kerukunan kebangsaan Palestina tentu menjadi keniscayaan,” ujar Mohammad Dian Nafi di Sukoharjo, akhir pekan lalu.


Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo ini mengatakan, sebagaimana bangsa-bangsa lain, Bangsa Palestina memiliki hak untuk meraih kemerdekaannya dan lepas dari penjajah. Lebih-lebih hal itu sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

 

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”.


Namun demikian, ia mengingatkan adanya narasi bahwa perjuangan warga Palestina merupakan perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah atau negara Islam. Menurutnya, klaim tersebut tidak benar. Justru perjuangan yang dilakukan warga Palestina tidak tersekat oleh satu agama saja. Ia meminta masyarakat agar waspada pada narasi yang dapat mengaburkan perjuangan Palestina tersebut. “Dengan demikian, gagasan khilafah yang sejak awal menolak nasionalisme malah mengaburkan pokok perjuangan bangsa Palestina itu sendiri,” ujarnya.


Politik Internal Liga Arab


Kendati begitu, Kiai Dian juga mengakui perjuangan Palestina untuk mendapat kemerdekaannya juga tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari semua negara Arab. Sebab sebagian negara-negara di kawasan tersebut memiliki keterkaitan politik terhadap Israel. Sehingga, alih-alih mendukung kemerdekaan Palestina, kelompok ini malah kerap mendukung kelompok Israel.


“Karena adanya hal tersebut, bangsa Palestina mengalami kesulitan yang sangat berat untuk menyelenggarakan urusan keamanan dan kesejahteraan bagi penduduknya sendiri,” ujarnya.


Paparan ini sejalan dengan statemen Pengamat Hubungan Internasional & Founder of Synergy Policies, Dinna Prapto Rahardjo. Menurutnya Persekutuan antarnegara Arab dan negara-negara mayoritas Islam yang cenderung tidak bertahan lama. “Faktornya adalah ekonomi, takhta, dan sistem pemerintahan. Ini dipahami betul oleh Israel, sehingga melemahkan solidaritas terhadap Palestina,” ujar Dinna Prapto.


Dalam kondisi ketidaksolidan kelompok Arab ini, Israel justru memperkuat jejaring ekonominya hingga ke luar komunitas Arab yang membuatnya memiliki banyak relasi dalam mendukung kepentingannya. Inilah menurut dia yang bisa menjelaskan mengapa Amerika Serikat selalu mengikuti apapun suara dari Israel dalam kasus Palestina.


“Ekspansi perdagangan Israel dilakukan ke berbagai negara mulai dari negara-negara kecil sampai ke negara besar, mulai pertanian, industri, teknologi dan yang lain. Banyak negara mengadopsi dari Israel, dan Israel memanfaatkan ketergantungan negara-negara itu. Sedangkan lingkaran dalam yakni negara-negara mayoritas Muslim sibuk dengan kesibukan internal, termasuk konflik antar negara muslim,” kata Dia.


Dengan dukungan banyak negara yang terbangun atas kepentingan ekonomi, Israel berani menentang dan melanggar upaya resolusi yang dibuat oleh PBB. Keberanian ini dilandaskan dukungan negara-negara besar yang memiliki hak veto seperti Amerika. “Israel tidak pernah mengikuti resolusi PBB, apapun itu. Selalu dilanggar, dan itu didukung Amerika,” ujarnya.


Maka dari itu, sangat penting untuk melakukan konsolidasi di tengah komunitas Arab dalam membangun dukungan terhadap Palestina. Hal ini menurut Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab dapat diperankan oleh Indonesia yang sebenarnya telah dilakukan sejak dulu, sejak era tahun 80-an.


“Kita lihat pada 16 November 1988 Indonesia akui kemerdekaan Palestina. Kemudian pada 26 November 2012 Indonesia Co-sponsor resolusi MU PBB yang memberikan status Palestina sebagai non-member observer state di PBB. Indonesia juga mendorong keanggotaan penuh di PBB dengan aktif di dalam Komite Palestina, termasuk menjadi Ketua atau Wakil Ketua Biro, serta rutin berikan bantuan kemanusiaan,” ujar Muhsin Syihab.


Ia juga mengungkapkan peran Indonesia di PBB yang disampaikan Menlu Retno Marsudi dalam Pertemuan MU PBB mengenai Palestina, pada 20 Mei 2021. Indonesia mendorong tiga hal prinsipil: 1) Penghentian kekerasan segera, 2) Memastikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan rakyat, dan 3) Lanjutkan proses negosiasi yang kredibel.

 

Editor: Ahmad Rozali