Persepsi Negatif terhadap Terorisme Alami Kenaikan
NU Online · Selasa, 23 Maret 2021 | 16:00 WIB

Terorisme dianggap sebagai kelompok yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu untuk berperang melakukan kekacauan dan kekerasan.
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Salah satu hasil temuan survei yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Jaringan Gusdurian pada September-Desember 2020 adalah persepsi negatif terhadap terorisme yang mengalami kenaikan sejak 2016.
“Empat temuan teratas mengalami kenaikan. Terorisme memiliki makna yang negatif bagi sebagian besar responden (dari 1.200 responden),” ungkap Koordinator Peneliti Ahmad Zainul Hamdi dalam peluncuran survei berjudul Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan, pada Selasa (23/3).
“Terorisme dianggap sebagai kelompok yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu untuk berperang melakukan kekacauan dan kekerasan. Jika dibandingkan dengan persepsi negatif terhadap teroris pada survei 2016, temuan ini (2020) menunjukkan kenaikan signifikan yaitu dari 79,7 persen ke 94,4 persen (kenaikan sejumlah 14,5 persen),” imbuhnya terkait hasil survei yang dilakukan di 30 kecamatan pada enam kota besar yakni Bandung, Makassar, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Pontianak ini.
Pertanyaan penting dalam survei ini adalah definisi teroris. Sebanyak 37,4 persen menyatakan bahwa teroris adalah kelompok bersenjata yang senang berperang. Lalu 23,6 persen menganggap, teroris merupakan kelompok orang yang ingin melakukan kekacauan.
Disusul dengan anggapan bahwa teroris adalah kelompok yang menggunakan simbol agama atau aliran tertentu sebanyak 16,8 persen. Kemudian, anggapan kelompok yang senang melakukan kekerasan (16,6 persen) dan kelompok orang yang memperjuangkan berdirinya negara Islam (3 persen).
Kasus-kasus
Untuk mengetahui lebih lanjut persepsi mengenai radikalisme berbasis agama, responden disodorkan beberapa kasus. Pertama, kasus bom gereja di Surabaya pada 2018. Angka tidak setuju terhadap tindakan tersebut sebanyak 78 persen. Sementara responden yang tidak tahu kasus itu sebesar 76 persen.
“Jadi sekalipun mereka tidak tahu tapi terhadap peristiwa itu sendiri mereka tidak setuju,” terang Inung, sapaan akrab Ahmad Zainul Hamdi.
Kasus kedua yang disodorkan kepada responden adalah bom bunuh diri yang terjadi di depan Markas Polres Kota Medan pada 2019. Namun, berita ini tidak semasif bom di Surabaya, sehingga lebih banyak yang tidak tahu (52 persen). Sedangkan angka tidak setuju mencapai 60 persen.
“Jika tidak tahu atau tidak menjawab (37 persen) itu kita tambahkan, maka kita memiliki angka sampai 97 persen, dengan asumsi jika yang tidak tahu itu juga tidak setuju,” tutur Inung.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
6
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
Terkini
Lihat Semua