Nasional

Pertama Kalinya, 15.200 Santri PPS Ulya Ikuti Ujian Pendidikan Kesetaraan Berbasis CBT 

Rabu, 6 Maret 2024 | 08:00 WIB

Pertama Kalinya, 15.200 Santri PPS Ulya Ikuti Ujian Pendidikan Kesetaraan Berbasis CBT 

Para santri Pondok Pesantren Salafiyah sedang mengikuti Ujian Pendidikan Kesetaraan yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag yang berlangsung 4-7 Maret melalui Computer Based Test (CBT). (Foto: Kemenag)

Jakarta, NU Online
Sebanyak 15.200 santri jenjang ulya dari 750 Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) di seluruh Indonesia mengikuti Ujian Pendidikan Kesetaraan yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag pada 4-7 Maret. 


Plt. Direktur PD Pontren Waryono Abdul Ghafur mengatakan, ujian untuk para santri PPS ​​​​​​​tersebut merupakan pertama kalinya menggunakan Computer Based Test (CBT).


Menurut dia, PD Pontren Kemenag menggunakan CBT untuk ujian para santri sebagai upaya untuk meningkatkan literasi digital pesantren.


“Salah satu upaya menjaga kualitas yang perlu dilakukan adalah melalui pengembangan literasi digital dan mewujudkan inovasi pembelajaran berbasis digital. Faktanya dunia pesantren mampu,” jelasnya di Jakarta, Senin (5/3/2024)..


Kepala Subdit Pendidikan Kesetaraan Anis Masykhur, mengatakan seluruh proses pendidikan, pembelajaran, dan sistem evaluasi di PPS penyelenggara Pendidikan Kesetaraan akan didekatkan dengan teknologi, dan tentunya termasuk pelaksanaan ujian kesetaraan nasional ini.


“Ini tentu akan menjadi bagian dari laporan keberhasilan Ditjen Pendidikan Islam dalam mendukung salah satu program prioritas Kementerian Agama, yakni peningkatan literasi digital pendidikan,” tuturnya.


Sementara Masitoh Hasbi, selaku Koordinator Lapangan Ujian Kesetaraan, mengaku kaget dengan partisipasi santri yang mengikuti CBT begitu tinggi. Pasalnya pada laporan awal tidak lebih dari 30% Penyelenggara Pendidikan Kesetaraan pada pondok pesantren salafiyah yang menyatakan siap mengikutinya.


“Fakta ini akan menjadi harapan besar bahwa pesantren dapat mengimbangi perkembangan teknologi informasi, meskipun selama ini terlihat pesantren yang paling getol membatasi penggunaan teknologi informasi. Tentunya, ini akan lebih baik lagi jika ditindaklanjuti dengan program-program pendukung lainnya,” ujarnya.