Nasional

Pertempuran 10 November Takkan Pernah Ada Tanpa Resolusi Jihad

Sabtu, 9 November 2013 | 13:06 WIB

Pertempuran 10 November Takkan Pernah Ada Tanpa Resolusi Jihad

Ilustrasi foto mbah Hasyim.

Surabaya, NU Online
Bagi bangsa Indonesia, pertempuran 10 November 1945 adalah peristiwa heroik yang menentukan "nasib" eksis-tidaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Artinya, jika perlawanan Arek-Arek Suroboyo yang "menentang" penjajahan kembali dari Pasukan NICA melalui Pertempuran 10 November 1945 itu tidak ada, maka kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bisa jadi tidak akan pernah ada.

"Tapi, pertempuran 10 November 1945 itu juga tidak akan pernah ada tanpa ada Resolusi Jihad di kampung Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945," ucap pemerhati sejarah Resolusi Jihad, Drs H Choirul Anam.

Mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Timur yang akrab disapa Cak Anam itu membuktikan realitas sejarah tak tertulis tentang Resolusi Jihad di Surabaya itu melalui penelusuran sejarah untuk menguak peran ulama NU dalam menegakkan NKRI.

"Saya beruntung masih bisa bertemu KH Wahab Turchan (pendiri Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU 'Khadijah' Wonokromo, Surabaya) pada tahun 1990-an," tuturnya di sela sarasehan 'Revitalisasi Resolusi Jihad NU' di Surabaya (22/10).

Bahkan, KH Wahab Turchan yang saat itu menjadi peserta pertemuan dari unsur pemuda itu memberikan sejumlah dokumen tentang peserta pertemuan di Jalan Bubutan, Surabaya, yang letaknya tidak jauh dari Tugu Pahlawan Surabaya itu.

"Ada KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah dari Markas Besar PBNU, KH Masykur dari Sabilillah, Zainal Arifin selalu Panglima Hizbullah, dan sekitar 200-an ulama dari Jawa dan Madura yang melakukan pertemuan di Bubutan pada 21-22 Oktober 1945," ungkapnya.

Mengutip KH Wahab Turchan, ia menyebut KH Wahab Chasbullah merupakan pendiri Sekolah Kebangsaan 'Nahdlatul Wathon' di Surabaya dan Zainal Arifin merupakan anggota DPR GR yang tertembak saat Shalat Idul Adha bersama Bung Karno yang merupakan sasaran sebenarnya dari pelaku penembakan itu.

"Pertemuan ratusan ulama dari Jawa dan Madura itulah yang melahirkan Resolusi Jihad yang menghasilkan keputusan penting bahwa hukum melawan penjajah NICA adalah fardlu ain (kewajiban individu) dan mati dalam perlawanan adalah syahid," tandasnya.

Cak Anam mengaku keputusan ratusan ulama itulah yang ditulis oleh sebuah surat kabar pada zaman itu telah mendorong 60 juta Muslim siap berjihad yang akhirnya dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Selain itu, ia juga menemukan bukti sejarah bahwa Resolusi Jihad itu juga didasari oleh Fatwa Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asy'ari pada beberapa hari sebelumnya yakni hukum melawan NICA itu fardlu ain, mati dalam pertemuan melawan NICA adalah syahid, dan mereka yang memecah belah persatuan itu wajib dibunuh.

"Nah, peristiwa sepenting itu tak tertulis dalam sejarah, mungkin saja hal itu karena keikhlasan para ulama, tapi mungkin juga ada yang sengaja melakukan distorsi sejarah untuk menonjolkan kepentingan pribadi," kilahnya.

Apalagi, sejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 itu mengajarkan NKRI yang bukan negara kapitalis, bukan negara komunis, dan bukan negara sosialis, melainkan negara yang melindungi agama, suku, dan golongan melalui Pancasila dan UUD 1945.

"Rasanya, Resolusi Jihad itu mengajarkan pentingnya keragaman dalam menegakkan NKRI dan pentingnya musyawarah untuk membangun bangsa, karena keragaman dan musyawarah yang tertuang dalam Pancasila itu khas Indonesia, bukan demokrasi ala kapitalis," tegasnya.

Oleh karena itu, ia mendukung pandangan Wakil Ketua Umum PBNU KH As'ad Said Ali bahwa PBNU akan menyusun atau merumuskan "Resolusi Jihad II" untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi yang membawahi lembaga tinggi, seperti presiden dan DPR. Juga, mendukung rencana Hari Pahlawan dipusatkan di Surabaya. (antarajatim/mukafi niam)