Nasional

Pidato di Depan Jokowi, Puan Maharani: Pemilu 2024 Harus Jadi Kritik dan Otokritik

Jumat, 16 Agustus 2024 | 14:00 WIB

Pidato di Depan Jokowi, Puan Maharani: Pemilu 2024 Harus Jadi Kritik dan Otokritik

Ketua DPR RI Puan Maharani saat menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR Jelang HUT Ke-79 RI di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, NU Online

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi menyoroti pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ia menyebut, berbagai cara dilakukan para kontestan untuk merebut hati rakyat.


“Semua cara dilakukan untuk mendapatkan suara rakyat,” ungkapnya, dalam sidang tahunan MPR RI yang digelar di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).


Bagi yang berhasil dalam Pemilu, lanjut Puan, semua hal menjadi indah untuk dikenang. Sementara bagi yang belum berhasil, merasa serba sulit; sulit makan, sulit tidur, bahkan sulit untuk bangkit kembali.


“Itulah potret Pemilu tahun 2024, haruslah menjadi kritik dan otokritik bagi kita semua,” tandasnya.


Putri Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu melanjutkan, Pemilu yang berkualitas tidak dapat hanya dilihat dari partisipasi rakyat dalam memilih, akan tetapi juga harus dilihat dan dinilai dari kebebasan rakyat untuk memilih.


"Apakah rakyat dapat memilih dengan bebas, adil, tanpa paksaan, tanpa dikendalikan, dan tanpa rasa takut?” tanyanya, lalu berhenti sejenak untuk menatap hadirin.


Puan mengatakan bahwa semua pihak di negeri ini memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga dan menciptakan demokrasi yang berkualitas, semakin maju, beradab, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


“Menang-kalah selalu ada dalam Pemilu, karenanya kita dituntut untuk memiliki etika politik: siap kalah dan siap menang, siap bertanding dan siap juga untuk bersanding,” ujarnya.


Puan melanjutkan dengan menyitir suatu prinsip yang dikatakan Presiden Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.


“Demokrasi kita adalah permusyawaratan yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat negara Indonesia. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan. Akan tetapi, kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu, all for one, one for all,” urainya.


Dalam kesempatan ini, perempuan kelahiran Jakarta, 6 September 1973 itu juga mengungkapkan salah satu perbedaan antara negarawan dengan politisi.


“Seorang negarawan akan memikirkan masa depan negara yang harus lebih baik, sedangkan politisi akan memikirkan masa depan hasil pemilu yang harus lebih baik,” ucapnya.


Puan menyebut, Indonesia membutuhkan negarawan yang politisi dan politisi yang negarawan, sehingga kekuasaan negara dijalankan untuk kebaikan yang lebih besar.


“Bukannya untuk membesarkan diri sendiri, kelompok, maupun kepentingan tertentu,” tegasnya.


Cucu Presiden Soekarno ini menambahkan, demokrasi memberikan ruang kepada rakyat melakukan kontrol sosial, baik melalui media massa, media elektronik, media sosial, kerja-kerja pemikiran-pemikiran akademisi, kerja-kerja ormas dan lain sebagainya, yang bertujuan agar kekuasaan yang berasal dari rakyat tidak disalahgunakan.


Puan menambahkan, berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat saat ini semakin membutuhkan kehadiran negara, khususnya persoalan hukum.


"Jika negara terlambat atau tidak responsif, rakyat mengambil jalan sendiri dengan memviralkan di media sosial: no viral no justice (jika tidak viral maka tidak ada keadilan)," tegas Puan.


Ia juga mengingatkan bahwa sudah menjadi tanggung jawab lembaga kekuasaan negara, DPR-RI, DPD-RI, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, MA, MK, TNI, dan Polri, untuk menjalankan kekuasaan negara secara efektif, responsif, cepat, memperhatikan rasa keadilan, rasa kepatutan dalam menangani setiap urusan rakyat, sehingga rakyat merasakan kehadiran negara.


“Kehadiran negara jangan menunggu no viral no justice. Kehadiran negara adalah hadirnya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat,” ucap Puan.


Sementara itu, Presiden Jokowi yang kemudian menyampaikan pidato kenegaraan terakhirnya mengungkapkan capaian-capaiannya selama menjadi presiden. Selain itu, ia meminta maaf atas segala kekurangannya dalam menjalankan roda pemerintahan.


"Mohon maaf untuk setiap hati yang mungkin kecewa, untuk setiap harapan yang mungkin belum bisa terwujud, untuk setiap cita-cita yang mungkin belum bisa tergapai," ucap Jokowi.


"Ini adalah yang terbaik, yang bisa kami upayakan bagi rakyat Indonesia, bagi bangsa dan negara Indonesia,” imbuhnya.