Nasional

Pidato Lengkap Gus Yahya tentang Pengasuh Jiwa dalam Pendidikan Instruktur PMKNU

Selasa, 20 Agustus 2024 | 16:00 WIB

Pidato Lengkap Gus Yahya tentang Pengasuh Jiwa dalam Pendidikan Instruktur PMKNU

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat berpidato di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan pidato arahan sekaligus membuka secara resmi Pendidikan Instruktur Nasional (PIN) Pendidikan Menengah Kepemimpinan Nahdlatul Ulama (PMKNU) Angkatan II, di Swiss-Belinn, Kemayoran, Jakarta, Ahad, 18 Agustus 2024.

***

Assalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh. 

Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillāh Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihi wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati, jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang hadir, Wakil Ketua Umum Pak Amin Said Husni, para ketua, Kiai Masyhuri Malik, Pak Miftah Faqih, Pak Muhammad Faisal. Ada Wakil Sekjen, Saudara Syarif Munawi. Yang saya hormati, para peserta Pelatihan Instruktur Nasional PMKNU dari seluruh Indonesia.


Kalau dilihat dari muka-mukanya ini, saya enggak tahu, apa sudah pantas jadi instruktur NU apa belum.


Saya ingin tahu ini ada berapa yang sempat mengenyam pendidikan pesantren, tinggal di pesantren, ada berapa, angkat tangan, coba? Yang sempat tinggal di pesantren, angkat tangan. Yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, tinggal di pesantren, angkat tangan. Oke. Ada yang tidak? Yang tidak mana, yang tidak di pesantren? Oke.


Desain NU desain pesantren

Saya penting menanyakan ini, karena desain Nahdlatul Ulama itu pada dasarnya adalah desain pesantren. Untuk teman-teman yang sudah mengenyam pendidikan pesantren, tinggal di pesantren, mungkin tinggal mengingatkan kembali. Tapi untuk teman-teman, warga, yang belum pernah atau tidak sempat mengenyam pendidikan di pesantren, keikutsertaan di dalam Nahdlatul Ulama ini berarti memasukkan diri ke dalam dunia pesantren, karena dunia NU ini adalah dunia pesantren.


Dulu ada ungkapan “pesantren itu NU kecil dan NU itu pesantren besar,” karena keseluruhan desainnya adalah desain pesantren. Ini penting sekali dipahami, lebih-lebih kepada para instruktur. Kenapa? Karena konsep tentang instruktur untuk NU itu berbeda sekali dengan pelatihan-pelatihan lain.


Menjadi instruktur di dalam pendidikan kader NU itu berarti menjalankan fungsi laksana kiai kepada santri-santrinya. Sekali lagi, menjadi instruktur di lingkungan pendidikan kader NU itu berarti menjalankan fungsi laksana kiai terhadap santri-santrinya. Ini bukan fungsi yang sederhana, dan bukan tanggung jawab yang ringan. Teman-teman yang sempat mengenyam pendidikan pesantren saya kira bisa lebih mudah mungkin memahami tentang hal ini. Untuk teman-teman yang beberapa tadi, yang tidak sempat mengenyam pendidikan di pesantren, ini harus dilihat dulu, apakah walaupun tidak tinggal di pesantren pernah dididik agama di bawah bimbingan kiai? Kalau itu pun belum pernah, maka harus segera cari kiai untuk minta dibimbing segera – sesudah ini. Karena menjadi instruktur itu menjalankan fungsi kiai, dan fungsi kiai, yang pertama-tama, itu adalah fungsi estafet agama.


Rasulullah Muhammad saw bersabda, Inna hadzal ‘ilma dienun fandhurū ‘amman ta'khudzūna dienakum. Ilmu yang ditularkan secara estafet ini agama, maka waspada, hati-hati, perhatikan, dari mana kalian mengambil agama kalian. 


Filosofi fungsi kiai 

Jadi fungsi kiai itu adalah fungsi mentransfer agama, fungsi menularkan agama, fungsi membangun rantai keagamaan dengan santri-santrinya, dan ini masyaallah. Ini masyaallah, ketika dibawa ke dalam lingkungan NU, dalam konteks NU, ini jadi luar biasa. Karena dalam konteks NU, prinsip ke-kiai-an, prinsip fungsi seorang kiai kepada santri, ini sebagaimana yang digambarkan dalam akhir Surah al-Fath:


…dzâlika matsaluhum fit-taurāti wa matsaluhum fil-injīl, kazar‘in akhraja syath'ahū fa āzarahū fastaghladha fastawā ‘alā sūqihī yu‘jibuz-zurrā‘a liyaghīdha bihimul-kuffār... (QS. Al-Fath: 29).


Perumpamaan Muhammad Rasulillah saw dan para pengikutnya, sebagaimana diumpamakan di dalam (Taurat dan) Injil, itu adalah laksana padi-padian – kazar‘in itu padi-padian, zar’ – yang mengeluarkan tunas-tunas, akhraja syath'ahū fa āzarahū, maka padi-padian itu mengasuh, membina, menghidupi tunas-tunasnya, fastaghladha, sehingga tunas itu menjadi kuat, fastawā, kemudian menjadi rampak, menjadi sejajar dengan induknya, ‘alā sūqihī, di atas batang-batangnya, sehingga semua itu menjadikan takjub para petani dan menjadikan iri mereka yang ingkar.


Ini yang sebetulnya dilakukan oleh kiai-kiai. Kiai-kiai itu bukan mengajari ilmu satu persatu. Kiai-kiai itu fungsinya sebetulnya memang laksana instruktur, karena kiai-kiai itu hanya memberikan bekal-bekal yang paling dasar dalam soal pengetahuan kognitif, dan kemudian mendorong santri-santrinya untuk memperkaya pengetahuan kognitifnya ini dari berbagai sumber. Itu yang dilakukan oleh kiai-kiai dari dulu. Tetapi, kiai-kiai ini mencurahkan segala kapasitas yang dia miliki untuk membina santrinya itu, semuanya. Semua yang diupayakan oleh kiai-kiai itu untuk santrinya semua, bukan untuk dirinya sendiri.


Itulah sebabnya, santri-santri itu, kemudian tumbuh menjadi kuat, dan ketika dia tumbuh pada puncaknya, dia jadi seolah-olah setara dengan kiainya. Ini makna yang diajarkan oleh Kiai Maimoen Zubair kepada saya mengenai fastawā ‘alā sūqihī. Mbah Maimoen memaknai istawā itu dalam bahasa Jawa: rampak. Rampak itu kira-kira setara. Maka padi itu tidak ada yang kemudian induknya lebih tinggi dari tunasnya. Tidak. Semua seolah-olah setara. Jarak antara induk dengan tunasnya ketika tunas itu dewasa tidak begitu ketara.


Sehingga kalau kita lihat, misalnya, dari Kiai Kholil bin Abdul Latif ke Kiai Hasyim As'yari kira-kira setara, dari Kiai Hasyim Asy’ari ke Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan lain, kira-kira setara, dari Kiai Wahab, generasi Kiai Wahab ke generasi Kiai Ali Maksum, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Bisri Mustofa, kira-kira setara, rampak. Ini yang membuat peradaban Nahdlatul Ulama itu tumbuh dengan vitalitas yang konsisten dari zaman ke zaman, sehingga berkembang dengan cepat karena kapasitasnya tidak mengalami kemerosotan, karena fastawā ‘alā sūqihī, dan itu hanya bisa dilakukan kalau induk-induk ini, atau zar' ini, setelah akhraja syath'ahū lalu fa āzarahū. Āzarahū itu artinya memelihara, membina mencurahkan semua yang dia miliki demi perkembangan tunasnya.

 

Ada (peserta) yang petani? Kayaknya tidak ada.


Padi itu, setiap batang padi, itu biasanya punya 12 tunas. Jadi padi itu setelah disemai kemudian ditanam dia akan tumbuh, dan setelah tumbuh sampai batas tertentu, keluar tunasnya. Setiap satu batang padi keluar 12 tunas, rata-rata, dan yang menyedot, yang mencarikan makan tunas-tunas ini ya induknya. Induk ini menyedot makanan dari tanah untuk tunasnya. Semua tunas ini dihidupi dengan makanan yang yang diambil oleh induknya dari tanah, fa āzarahū, sehingga ketika istaghladha, tunas-tunas itu lalu jadi fastawā ‘alā sūqihī, tidak ada yang jadi kuntet, tidak ada yang jadi bonsai, semuanya nyaris sejajar dengan induknya, karena si induk ini membina tunas-tunasnya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk si tunas.


Ini filosofi dari fungsi ke-kiai-an, yang menurut saya, yang ini harus diingat dan harus menjadi pondasi dari keseluruhan keterlibatan kita dalam pelatihan kader.


Tanggung jawab dunia akhirat

Jadi, teman-teman, sampean mendaftar ini dengan maksa-maksa minta diterima ini, kayak Sumatra Utara ini, sampean ini mendaftar untuk bisa menjalan fungsi sebagai kiai, bukan fungsi yang main-main. Ini bukan soal pekerjaan sampean ke sana ke mari dapat lansam dan sebagainya. Bukan soal itu aja. Dan hubungan sampean, hubungan Anda semua dengan kader-kader yang nanti mengikuti pelatihan di bawah instruksi Anda semua, itu adalah hubungan kiai santri, bukan sekadar sampean mengajar beberapa hari, tanda tangan kelulusan, mereka dapat sertifikat, lalu lepas. Karena, hubungan kiai santri itu adalah hubungan seumur hidup. Dan dedikasi seorang instruktur kepada kader itu harus seperti dedikasi seorang kiai kepada santrinya. Kader-kader yang nanti mengikuti pelatihan di bawah instruksi Anda nanti semua, kalau Anda lulus pelatihan ini, itu tanggung jawab Anda seumur hidup, dunia akhirat, bukan cuma tanggung jawab beberapa hari pelatihan.


Maka ini tolong dipikirkan lagi, kalau tidak berani, pulang saja, karena ini tanggungannya, tanggungannya seperti ini, dan ini tidak seperti perguruan silat. Kalau perguruan silat itu tidak ada suhu yang mau mengajarkan semua ilmunya kepada murid. Tidak ada. Soalnya takut nanti kalah sama muridnya. Ini tidak. Kiai itu justru berharap santri-santrinya bisa berkembang lebih unggul dari dirinya.


Maka kita mengenal, dari berbagai generasi, ada santri-santri yang mengungguli guru, seperti Ibnu Malik terhadap Ibnu Mu'ti. Fāiqatan alfiyyata (i)bni Mu'thiy. Beliau Ibnu Malik menulis kitab sama-sama Alfiyyah, tapi beliau mengklaim ini lebih baik daripada Alfiyyah yang ditulis oleh gurunya sendiri, yaitu Ibnu Mu’thiy. Wahuwa bisabqin hāizun tafdhīla, tapi karena guru ini adalah pendahulu, maka beliau Ibnu Mu’thiy berhak diutamakan, dan berhak atas pujian dari kami. Ini fungsi kekiaian, seperti ini, dan di dunia pesantren NU dari generasi ke generasi, ini yang terjadi. Itu sebabnya, berkembangnya NU ini yu‘jibuz-zurrā‘a liyaghīdha bihimul-kuffār, nyaris tidak ada bandingannya bagaimana NU ini tumbuh, karena kazar’in tadi. 


Fungsi ke-kiai-an. Ingat kembali bahwa fungsi ke-kiai-an itu adalah transfer agama. Ini soal transfer agama, soal memberikan estafet agama ini kepada santri.


Jadi, walaupun ukuran dari kelulusan Anda semua di dalam pelatihan instruktur ini kurang lebih sifatnya formal, tapi sampean harus tahu bahwa kalau sampean lulus atau diluluskan, itu berarti sampean diberi tanggung jawab sebagai sumber mengambil agama, sampean punya tanggung jawab atas keselamatan agama dari kader itu, karena soal agama. Apalagi Anda ini akan menjadi instruktur pendidikan kepemimpinan. Kepemimpinan. Anda ini akan jadi jaminan pemimpin-pemimpin NU itu nanti kayak apa potongannya, itu jaminannya sampean. Ini bukan masalah kecil. Kalau sampai ada apa-apa dengan organisasi ini karena pemimpin-pemimpinnya mutunya kurang, sampean kena hisab, sampean kena hisab di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Ingat itu.


Maka saya minta diteliti lagi hatinya masing-masing ini, mau apa ikut pelatihan instruktur, mencari apa sampean? Ini bukan soal karir organisasi. Ini soal tanggung jawab dunia akhirat.


NU kultural dan NU struktural

Di balik ini semua, ada wawasan yang memang tidak sederhana terkait dengan NU, karena NU itu punya matra yang tidak tunggal, punya dimensi-dimensi yang kompleks. Di antara yang sering disebut adalah bahwa NU itu punya dimensi jamaah dan dimensi jam’iyah, dimensi komunitas dan dimensi organisasi. Ini yang paling sering disebut-sebut orang. Dimensi kultural dan dimensi struktural.


Ada banyak wacana dibangun terkait dengan ini, dari dulu sampai sekarang. Tapi yang pertama-tama harus kita pahami terlebih dahulu adalah, apa makna dari setiap dimensi ini? Ketika kita bicara tentang dimensi kultural dari NU, itu maknanya apa sebetulnya? Dimensi jamaah, komunitas NU itu maknanya apa? Kita harus pahami. Jamaah NU itu isinya apa, thabiah (karakter)-nya itu apa, jemaah ini? Kita harus mengerti. Jamaah NU itu isinya adalah ukhuwah, persaudaraan dan persatuan. Karena ketika orang merasa dirinya NU seharusnya dia merasa bersaudara dengan sesama warga NU, punya kebutuhan untuk bersatu bersama-sama dengan warga NU yang lain, sama-sama NU-nya.


Jadi makna dasar dari dimensi jamaah itu adalah ukhuwah dan wihdah, persatuan. Al ukhuwah wal wihdah (persaudaraan dan persatuan). Ini jamaah. Apa gunanya, dia merasa NU itu merasa NU lalu menghayati ke-NU-annya itu sebagai apa, kalau bukan sebagai bagian dari persaudaraan sesama orang NU, persatuan sesama orang NU. Jadi ukhuwah dan wihdah. Ini jamaah.


Jam'iyah itu apa? Jam'iyah ini apa? Jam'iyah itu, karena ini organisasi, jelas, bahwa isinya adalah tertib dan gerak, karena organisasi ini harus merupakan satu struktur ketertiban tertentu dan menjalankan gerakan. Jadi organisasi itu, dimensi jam'iyah itu isinya adalah nidzam dan kifah. Nidzam itu keteraturan dari struktur organisasi itu sendiri, dan kifah, gerakan yang bergulat mengatasi masalah-masalah berupaya mewujudkan visi yang jelas. Kifah. Jam’iyah itu isinya adalah nidzam dan kifah.


NU sebagai thariqah, jalan menuju Allah 

Tapi – sebagaimana dulu pernah saya singgung ketika kita baru mau mulai meluncurkan program sistem kaderisasi, sistem pelatihan kader – ini ada satu dimensi yang jauh lebih mendasar lagi dari keberadaan NU ini, selain dimensi jamaah dan jam’iyah itu, yaitu bahwa NU ini adalah thariqah. NU ini thariqah. Thariqah itu cara beragama, metode beragama. Thariqah. NU itu thariqah, jalan menuju Allah. 

Orang ber-NU itu, ini kan bukan cuma untuk senang-senang berbagi berkat saja. Ini soal orang ingin mendekat kepada Allah dengan cara NU. Ini dimensi thariqah. Cara NU itu bagaimana? Kalau Subuh qunut. Habis shalat wiridan. Itu cara NU. Wiridannya berjamaah. Kalau tarawih 23 rakaat. Ini thariqahnya NU. Thariqah, yang kalau di-breakdown ke dalam komponen-komponennya – kita tahu, sebagaimana telah kita pahami semua – bahwa dalam hal akidah mengikuti mazhab Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi, di dalam syariat mengikuti salah satu dari mazhab 4, apakah itu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i, atau Imam Ahmad bin Hanbal, dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali. Ini thariqahnya NU, cara beragamanya NU.


Jadi, thariqah. Kalau thariqah itu berarti, pertama, ber-NU itu soal beragama. NU ini agama. Kok mengurus ekonomi? Ekonomi itu bagian dari agama. Kok mengurus kesehatan? Kesehatan bagian dari agama. Mengurus kesehatan li-ajlid dien, li-ajlit tadayyun (untuk tujuan beragama). Jadi mengurus agama itu. Kenapa? Karena mengurus kesehatan tujuannya apa? Tujuannya itu bukan supaya orang tubuhnya kuat-kuat, lalu kalau berkelahi menangan, misalnya. Bukan itu. Bukan supaya kelihatan gagah-gagah, cantik-cantik, supaya bisa lekas laku kawin. Bukan itu. Ketika kita bicara ekonomi, kita juga bicara soal bekal untuk beragama. Bicara yang lain, bicara politik, ini sebetulnya juga demi kepentingan agama, yaitu li-ajli tadayyun, karena thariqah ini soal tadayyun, pertama-tama, soal bagaimana kita beragama. Ini fundamental sekali.


Tetapi karena kita beragama ini ‘ala tharīqati Nahdlatil Ulama’, maka dalam beragama ini kita memelihara hubungan rohani di antara sesama kita. Jadi, kita beragama dengan cara NU ini, di samping kita mengembangkan kapasitas keberagamaan individu-individu, kita juga membangun ikatan roh, ikatan jiwa di antara sesama kita. Jadi soal tadayyun dan soal ribat rohani, soal ikatan antar jiwa.


Syair Hadratussyekh untuk warga NU

Itu sebabnya Hadratussyekh Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari mengatakan dalam salah satu syair gubahan beliau, yang beliau persembahkan untuk seluruh warga Nahdlatul Ulama, dalam salah satu risalah yang merupakan ucapan selamat Idul Fitri, tahniah Idul Fitri, risalah itu, dan di situ ada syair yang masyaallah, gubahan Hadratussyekh: 


Bayniy wa baynakum fil mahabbati nisbatun mastūratun fi sirri hadzal ‘ālam, nahnul ladzūna tahābabat arwāhuna min qabli khalqillāhi thinata ādam. 


Beliau menunjuk dirinya, Muhammad Hasyim bin Asy'ari: Antara aku dan kalian semua – warga Nahdlatul Ulama, ilā yaumil qiyāmah – ada ikatan cinta, tapi ikatan cinta itu tersembunyi dalam rahasia alam. Kita adalah orang-orang yang jiwa-jiwa kita sudah saling mencinta, sebelum Allah mencipta lempungnya Adam. 


Lempungnya saja belum dibikin, apalagi Adamnya. Karena ini adalah ikatan arwah, ikatan di dalam alam yang terbentuk sejak alam arwah, seperti Sabda Rasulullah Muhammad saw: 


Al-arwāh junudun mujannadah fama ta’ārafa minha (i)’talaf wamā tanākaro minha (i)khtalaf (HR. Muslim).


Roh-roh itu beregu-regu seperti pasukan perang, dibariskan dalam pasukan-pasukan, junudun mujannadah fama taarafa minha’talaf. Maka kalau roh-roh itu sudah saling kenal di alam arwah sana, di dunianya mereka akan rukun, i’talaf, akan cocok satu sama lain. Wamā tanākaro minha (i)khtalaf. Kalau di alam arwah sudah saling mengingkari, di dunia ini jadi berselisih satu sama lain. Jadi, selain soal beragama, ini juga soal ikatan rohani. 


Pengasuh jiwa

Maka sampean semua nanti, sebagai instruktur, sampean harus membangun ikatan rohani dengan kader-kader, dan ikatan rohani bukan masalah sepele, bukan masalah yang bisa dibangun hanya dengan upaya-upaya lahiriah saja.


Maka, teman-teman sekalian, sebelum semuanya dimulai, sampean harus tanyakan kepada diri sendiri: Apakah sampean siap dan sanggup mengembangkan kapasitas rohani sampean sendiri? Apakah sampean bersedia dan sanggup berupaya mengembangkan kapasitas rohani sampean sendiri? Harus ditanyakan. Kalau sampean tidak sanggup, buat apa jadi instruktur? Pulang saja sekarang. Karena sampean nanti bertanggung jawab terhadap roh-rohnya para kader yang ada di bawah instruksi Anda sekalian.


Maka kita menyebut kiai-kiai kita dengan murabbir rūh, pengasuh jiwa. Itu fungsi Anda semua nanti terhadap kader, karena ini masalah agama, NU ini.


Memang ada masanya ketika banyak orang tidak ingat tentang dimensi-dimensi mendasar, tentang hal-hal mendasar ini, dan akibatnya sudah kita lihat ke sana sini. Mereka yang sebetulnya, saya menyebutnya belum kader, warga NU, berada di berbagai tempat dan kemudian ketahuan melakukan hal-hal yang sebetulnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar NU itu sendiri. Kita dapati sampai sekarang, karena lupa pada ini. 


Sejak awal ini harus kita tumbuhkan lagi, kita bangkitkan lagi kesadaran mengenai hal-hal mendasar ini di seluruh jajaran organisasi NU ini, lebih-lebih jajaran yang relevan dengan kaderisasi, seperti Banom-banom, apakah itu Muslimat, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU, ini harus diingatkan kembali, soal ini, hal-hal mendasar ini. PMII itu NU enggak? NU. NU, ya. Harus diingatkan ini, hal-hal mendasar ini. Ini soal rohani.


Hal-hal yang lain soal gampang. Kalau masalah-masalah kognitif, seperti teknik mengelola kelas, itu soal gampang. Pelatihan ini paling-paling untuk memberikan pengetahuan dasar tentang bagaimana mengembangkan keterampilan dalam mengelola kelas itu, dan mungkin juga melakukan pendalaman terhadap materi-materi kognitif dari pelatihan menengah kepemimpinan NU itu, yang sebetulnya semuanya tidak akan terlalu sulit. Kalau ada kurang-kurangnya tidak terlalu masalah. Wong nanti yang ikut PMKNU itu saya dengar katanya banyak dosen-dosen perguruan tinggi, profesor-profesor, ikut PMKNU, mau diajari apa lagi? Soal gampang begitu-begitu. Tapi yang paling penting ini, dimensi ke-NU-an yang mendasar, terutama soal NU sebagai thariqah, maka sampean harus. 


Ijazah Gus Yahya

Terkait dengan itu semua, saya minta, saya sebagai ketua umum, saya bebankan kepada sampean semua, satu amalan yang saya terima ijazahnya dari guru-guru saya, yang semuanya adalah pemimpin-pemimpin NU. Saya minta sampaian ber-muwādhabah, beristiqamah setiap hari, sekurang-kurangnya sekali. Setiap hari, sekurang-kurangnya sekali, terserah waktunya kapan, sampean hadiahkan Fatihah kepada para masyaikh, khususnya para muasis Nahdlatul Ulama. Lebih afdol sampean sebut satu persatu: Syaikhina Kiai Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan, Syaikhina Muhammad Hasyim bin Asy'ari Tebuireng, Syaikhina Kiai Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Syaikhina Kiai Bisri Syansuri Denanyar, minimal sehari sekali, terserah, dan kemudian juga minimal sehari sekali sampean hadiahkan Fatihah kepada kader-kader yang di bawah asuhan sampean. Minimal sehari sekali, kader-kader di bawah asuhan sampaian, yang mengikuti pelatihan dengan sampean sebagai instrukturnya, hadiakan Fatihah minimal sekali sehari. Itu yang dilakukan, yang diijazahkan oleh guru-guru saya, dan sekarang saya ijazahkan dan saya bebankan kepada Anda semua.


Amal yang lebih baik

Teman-teman yang saya hormati.

Ini semua adalah bagian dari ikhtiar kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dengan cara yang lebih baik di dalam berkhidmah kepada jam'iyah Nahdlatul Ulama ini, sebagaimana pesan Kiai Ahmad Mustofa Bisri, bahwa Allah itu menciptakan hidup dan mati, alladzī khalaqal-mauta wal-ḫayāta liyabluwakum ayyukum aḫsanu ‘amalā… (QS. Al-Mulk: 2), untuk menguji siapa yang lebih baik amalnya. Kata Kiai Mustofa, bukan akbaru ‘amalā (yang lebih besar amalnya), bukan aksaru ‘amalā (yang lebih banyak amalnya), tapi ahsanu ‘amalā (yang paling baik amalnya), yang diharapkan dari kita ini bukan amal yang banyak-banyak, yang gede-gede, tapi yang lebih baik, yang ahsan.


Pelatihan kader ini mungkin tidak besar, tidak banyak, kalau dibanding dengan yang lain. Masyaallah. Siapa yang tahu di kalangan Katolik sejak tahun 70-an itu ada namanya Kasebul, kaderisasi sebulan, dengan materi yang kompleks sekali, termasuk dengan treatment psikomotorik yang sangat sophisticated, sehingga mereka yang lulus dari Kasebul ini menjadi kader-kader luar biasa dari kalangan Katolik. Jadi kalau sampean lihat tokoh-tokoh Katolik di semua lapangan ini, apakah politisi, apakah bisnis, apakah Ormas-ormas dan sebagainya, itu lulusan Kasebul.


Sampean bikin pelatihan yang berapa hari ini? Lima hari. Tidak besar. Tapi mari kita lakukan dengan cara yang lebih baik. Mari kita jadikan ini sumbangan yang ahsan dari kita kepada jam'iyah Nahdlatul Ulama. Kita jadikan khidmah yang lebih baik.


Niat mengharap rida Allah swt

Mari – sebelum terlanjur ikut berhari-hari dalam pelatihan instruktur ini supaya tidak percuma – kita semua menata niat kita masing-masing, apa niat kita di sini, supaya tidak percuma. Karena kalau salah niat bukan hanya sampean rugi karena percuma, tapi NU-nya, wal’iyadzubillāh, bisa ikut menanggung konsekuensinya, kalau sampean salah niat. Mari kita tata niat betul bahwa kita mengikuti ini semua tidak ada tujuan apa pun selain libtighai mardlatillāh (memperoleh rida Allah), selain berharap bahwa dengan mengikuti ini kita akan mendapatkan rida Allah swt. Kalau sampean punya niat selain itu, haram sampean ada di sini, pulang aja. Haram, berdosa sampean di sini. Sampean berdosa, kalau sampai sampean berada di sini punya niat selain libtighai mardtillāh, sampean di sini itu dosa, haram, sampean harus pulang cepat-cepat supaya dosanya enggak terlalu banyak. Dan para fasilitator ini, kalau tahu ada di antara mereka ini yang punya niat selain libtighai mardlatillāh kok nekat masih mengajar, sampean ikut dosa, Pak Huri, usir saja, suruh pulang orang itu, supaya sampean tidak ikut dosa, kalau sampai ada yang di sini punya tujuan selain libtighai mardlatillāh. Ini serius ini. Serius. Ini adalah nilai mendasar yang diajarkan oleh kiai-kiai kita.


Saya menitipkan anak di Mathaliul Falah, di Kajen sana. Sudah mendaftar administrasi, disuruh baca pernyataan: "Demi Allah, saya mengikuti pendidikan di Mathali'ul Falah ini tidak punya niat selain mengharapkan rida Allah subhanahu wa ta’ala." Padahal baru mau masuk diniyah wustha, sudah disuruh sumpah begitu. “Wallahi, demi Allah, saya mengikuti pendidikan di Madrasah ini tidak punya niat selain mencari rida Allah.” Saya tanya kepada Kiai Muadz Thahir, salah seorang kiai di sana, “Kok harus baca sumpah begini, gimana?” Kata beliau: "Itu yang meminta, yang membuat aturan adalah Kiai Sahal Mahfudh, dan dia dibuat begitu supaya gurunya tidak tanggungan, karena santrinya sudah disumpah “demi Allah belajar di sini untuk mencari rida Allah,” sehingga gurunya tidak tanggungan. Kalau ada yang punya niat selain libtighai mardlatillāh, bukan tanggung jawab gurunya dia sudah sumpah libtighai mardlatillāh. Jadi, kalau perlu, nanti disumpah dulu, supaya fasilitatornya tidak tanggungan. Ini penting.


Dan mari bersama-sama kita buka, kita mulai proses Pelatihan Instruktur Nasional ini dengan membukanya dengan membaca Ummul Kitab. ‘Ala niyyatil wushūl wal qabūl li ijabati kulli sūl wa li ijadi kulli ma’mūl, wa ilā hadrāti Nabiyyil Mustofā Sayyidina Maulana Muhammadin shallallahu ‘alaihi wasallam, ilā hadrāti arwāhi muassisi Nahdlatil Ulama’, syai'un lillāh Al-Fātihah.


Terima kasih.
Selamat mengikuti pelatihan.

Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.


*Ditranskrip oleh Ahmad Naufa, wartawan NU Online.