Nasional

Pidato Lengkap Gus Yahya tentang Strategi Multifaset di Raker Satgas Nasional GKMNU

Ahad, 11 Agustus 2024 | 12:00 WIB

Pidato Lengkap Gus Yahya tentang Strategi Multifaset di Raker Satgas Nasional GKMNU

Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan pidato dalam Raker Satgas Nasional GKMNU di Hotel Bidakara Jakarta, pada Jumat (9/8/2024). (Foto: dok. PBNU)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberi pidato arahan dalam Rapat Kerja Satuan Tugas Nasional Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU) di Aula Hotel Bidakara, Jakarta pada Jumat, 9 Agustus 2024.


Berikut adalah pidato lengkap Gus Yahya dalam kesempatan tersebut:


***

Assalāmu'alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh.

Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihi wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati, Ketua Satgas Nasional GKMNU Yaqut Cholil Qoumas. Yang saya hormati, para jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Wakil Ketua Umum Pak Amin Said Husni. Ada ketua-ketua, Bu Alissa, Pak Fahmi, juga ketua panitia di sini. Ada ketua RMI dan lain-lain di sini. Para pejabat Kementerian Agama yang hadir, baik dalam konteks jabatannya di dalam Satgas maupun di dalam kementerian. Yang saya hormati juga, para ketua atau perwakilan PWNU yang hadir. Yang saya hormati, pimpinan badan-badan otonom yang hadir, dan seluruh jajaran Satuan Tugas Nasional Gerakan Keluarga Maslahat NU yang saya hormati. Alhamdulillah.


Jadi, kalau sekarang saya pidato sesudah tadi Yaqut sudah pidato, itu menunjukkan bahwa GKMNU ini bukan masalah pribadi, ini soal organisasi. Karena kalau dalam tradisi keluarga itu tidak boleh, sebetulnya. Tidak boleh kakak beradik pidato giliran begini ini sebetulnya, ini melanggar tradisi keluarga. Tapi karena bukan masalah pribadi, apa boleh buat. [Hadirin tepuk tangan]. Itu sama, ada tunggal buyut kelihatannya bentrokan. Itu kan sebetulnya kalau secara tradisional tidak pantas. Tapi karena bukan masalah pribadi, apa boleh buat.


GKMNU, agenda strategis mutifaset


Bapak Ibu saudara-saudara sekalian yang saya hormati.


GKMNU ini sebetulnya agenda strategis yang multifaset. Mungkin saya belum pernah menyampaikan secara komprehensif semua wawasan menyangkut GKMNU ini. Tapi saya kira yang sudah sering saya ulang-ulang adalah nature dari GKMNU ini sebagai strategi multifaset yang diinisiasi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


Multifaset itu artinya dia punya banyak mata, dia meng-address berbagai macam masalah organisasi. Jadi, ada berbagai macam klaster masalah yang semuanya di-address melalui GKMNU ini, sehingga nature dari GKMNU ini tentu nanti akan menjadi satu operasi yang kompleks, sebetulnya.


Sebelumnya, saya perlu menyampaikan aras wawasan yang menjadi sumber dari keseluruhan gagasan tentang GKMNU ini, yang saya ingin menyebutnya sebagai agenda paradigmatik. Ada satu paradigma yang kita bangun, dan kemudian harus kita implementasikan ke dalam kerja-kerja organisasi. Paradigma itu menyangkut keberadaan dan kehadiran Nahdlatul Ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan secara keseluruhan.


Pada titik yang paling awal kita sudah mengumumkan kredo yang kemudian kita pegangi sampai sekarang, bahkan juga mulai diadopsi oleh kalangan lain, yaitu Merawat Jagat Membangun Peradaban. Sekarang di mana-mana kita sering sekali mendengar berbagai kalangan juga menggunakan terminologi peradaban untuk berbagai inisiatif yang mereka bangun.


Merawat Jagat Membangun Peradaban ini adalah kredo yang menggambarkan wilayah concern, wilayah kepedulian NU yang memang sangat luas sekali. Apa saja yang dipikirkan oleh NU, apa saja yang hendak ditangani oleh NU, apa saja yang hendak di-address, disentuh oleh NU, itu semua tergambar dalam kredo Merawat Jagat Membangun Peradaban itu.


Karena kita punya paradigma makna kehadiran untuk Merawat Jagat Membangun Peradaban, maka kita butuh membangun suatu ekosistem Nahdlatul Ulama yang koheren.


Nahdlatul Ulama itu hanya bisa punya arti kalau kehadirannya dirasakan. Dirasakan itu artinya memberi impact, menciptakan atsar di dalam Merawat Jagat Membangun Peradaban. Dan impact itu harus impact yang well define, impact yang memang sungguh-sungguh didefinisikan dengan baik, bukan asal impact. Bukan sekadar asal dampak. Kalau asal dampak, narkoba itu juga ada dampaknya, Judol (judi online) itu ada dampaknya. Maka dampak dari kehadiran Nahdlatul Ulama ini harus didefinisikan sedemikian rupa sesuai dengan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan keberadaannya.


Supaya Nahdlatul Ulama ini sungguh-sungguh bisa punya impact, maka keberadaan NU ini harus koheren, supaya nanti ketahuan betul bahwa ini impact-nya NU, ini bukan NU. Karena kalau tidak begitu, nanti ada sekian banyak elemen semuanya ngaku NU, membuat impact masing-masing. Ini mana yang betul-betul impact NU, mana yang sebetulnya akal-akalannya orang mengatasnamakan NU. Apalagi kalau urusan calon-mencalon itu: ngaku-aku calon NU, ternyata kalah, kan malu kita. Padahal itu gara-gara tidak koheren. Maka kita butuh membangun ekosistem Nahdlatul Ulama yang koheren.


Membangun ekosistem NU yang koheren


Ekosistem ini terminologi yang juga tidak sederhana. Karena apa? Ekosistem ini menyangkut dua hal, yaitu ekosistem internal dan ekosistem eksternal. Ekosistem internal jelas elemen-elemen yang ada di dalam NU ini, baik elemen struktural-organisasional ataupun elemen kultural, kejamaahan.


Saya minta Bu Alissa mencatat apa yang saya sampaikan ini untuk nanti dijadikan dokumen. Karena sebetulnya saya ini DO (drop out) bukan karena goblok, itu karena isi kepala saya memang susah di-download, masalahnya, sehingga tidak bisa diketik. Kalau isinya ada di sini [menunjuk kepala]. Kalau orang-orang biasanya ngomong itu pakai slide, saya kalau pakai slide malah lupa. Jadi ini langsung, slide-nya di sini [menunjuk kepala]. Nanti saya minta dibuatkan bulkonah-nya.


Jadi ekosistem NU itu ada ekosistem internal dan ekosistem eksternal. Ada elemen internal ada elemen eksternal di dalam ekosistem Nahdlatul Ulama, karena yang namanya ekosistem ini keseluruhan ruang hidup. Nahdlatul Ulama hidup di dalam ruangan dengan berbagai macam isinya. Itu namanya ekosistem. Semua membentuk sistem. Maka ada elemen internal, elemen eksternal. Elemen internal itu ada struktural, ada kultural. Yang struktural ini struktur NU dari PBNU sampai ke pengurus ranting. Struktur banom-banom, ini struktural semua, banom-banom yang ada. Ini elemen struktural yang internal. Yang kultural, pesantren, madrasah-madrasah, rumah sakit-rumah sakit, klinik-klinik, majelis taklim-majelis taklim, kelompok-kelompok Yasinan, dan lain sebagainya. Ini elemen kultural dari elemen-elemen internal.


Elemen eksternalnya ini macam-macam. Semua di dalam lingkungan hidup Nahdlatul Ulama yang relevan dengan peran dan kepentingan Nahdlatul Ulama ini menjadi bagian dari ekosistem eksternalnya NU. Apa misalnya? Pemerintah. Jelas, pemerintah ini adalah elemen eksternal di dalam ekosistem NU yang relevan dengan keberadaan peran kepentingan dari Nahdlatul Ulama. Ormas-ormas lain, kalangan usaha, berbagai aktor internasional, – karena kita juga sudah masuk dalam arena peran internasional – ini semua adalah elemen eksternal di dalam ekosistem Nahdlatul Ulama.


Seperti saya katakan tadi, supaya NU ini punya impact yang definitif, maka ekosistem ini harus kita bangun menjadi koheren satu sama lain. Koheren itu artinya mutamasik. Bahasa Arabnya itu. Bahasa Jawanya malah tidak tahu saya, koheren itu bahasa Jawanya apa. Koheren itu artinya satu sama lain nyambung secara relevan, tidak centang perenang, tidak jalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan logis dengan elemen lainnya, tapi semua harus dalam kerangka yang tersambung satu sama lain secara relevan. Dinamika yang terjadi di dalam kepengurusan NU harus nyambung dengan dinamika yang ada di dalam banom-banom, harus nyambung – secara relevan – dengan dinamika yang ada di dunia pesantren, di madrasah-madrasah NU, perguruan tinggi perguruan tinggi NU, di berbagai macam layanan masyarakat yang disediakan oleh NU, di kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh jamaah NU. Semua harus nyambung.


Begitu juga hubungan NU dengan pihak-pihak eksternal, ini harus relevan, tidak boleh asal. Dengan Baznas, misalnya, ini jelas adalah aktor eksternal yang relevan. Ini harus nyambung, jangan asal bisa dapat zakat saja, jangan asal bisa dapat bagian dari sedekah infak. Tapi di situ harus ada hubungan yang relevan dan koheren dengan keseluruhan konstruksi ekosistem Nahdlatul Ulama, dengan pemerintah, dan juga dengan aktor-aktor lain. Ini ekosistem yang koheren.


Kenapa digagas GKMNU? 


Bapak Ibu, sebagai wahana untuk mengupayakan terwujudnya ekosistem Nahdlatul Ulama yang koheren itulah, maka digagas agenda yang kita sebut sebagai Gerakan Keluarga Maslahat NU. Kenapa Gerakan Keluarga Maslahat NU? Karena semua yang dilakukan oleh jam’iyah maupun jamaah ini itu muaranya adalah manusia-manusia. Muaranya adalah kemaslahatan manusia-manusia. Kita kan tidak memikirkan maslahatnya coro (kecoa) seperti apa. Kan tidak. Kita tidak memikirkan, misalnya, maslahatnya anjing-anjing. Tidak. Yang menjadi concern kita adalah kemaslahatan manusia-manusia. Kemaslahatan itu apa? Ya fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, itu kemaslahatan.


Dalam konteks nilai-nilai NU – baik tradisi maupun nilai-nilai agama dan lain sebagainya – manusia-manusia itu alamatnya ada pada keluarga. Alamatnya manusia itu ada di keluarga. Ini tentu juga berhimpit dengan, misalnya, norma administrasi pemerintahan. Memang berhimpit. Karena itu, misalnya, di pemerintahan ada kartu keluarga (KK). Itu yang menjadi alamat dari individu-individu manusia.


Manusia itu punya makna relevan yang kompleks sesuai dengan hajat dan kapasitas hidupnya. Jadi, manusia itu relevan dengan urusan ekonomi, manusia relevan dengan urusan kejiwaan, relevan dengan urusan hawa nafsu, relevan dengan urusan pertanian, relevan dengan urusan pendidikan, urusan kesehatan, semuanya relevan dengan manusia. Dan semua itu adalah kompleksitas dari keberadaan manusia. Itu yang di-address oleh nilai-nilai dasar dari Nahdlatul Ulama, nilai-nilai yang membangun keberadaan Nahdlatul Ulama, yaitu terutama adalah nilai-nilai agama. Karena kita tahu bahwa agama kita ini meng-address semua urusan menyangkut manusia ini.


Bagaimana kita menjangkau manusia-manusia? Alamatnya adalah keluarga. Maka kita menjangkau individu-individu manusia itu melalui keluarga. Itulah sebabnya kemudian gagasannya adalah membangun satu agenda besar yang komprehensif mengenai keluarga. Karena di dalam keluarga itu ada alamat individu-individu manusia.


Tadi sudah ada skema yang dibuat Bu Alissa mengenai nilai-nilai; ada komunikasi, ada kesetaraan, macam-macam, itu sebagai upaya untuk membuat kerangka teoritik tentang keluarga itu, yang sebetulnya mungkin realitasnya bisa lebih kompleks. Apalagi kalau kita bicara tradisi, dan pada titik ini sebetulnya kita juga tidak ingin membuat, katakanlah, konfrontasi dengan tradisi, sebetulnya. Kita tidak ingin membuat konfrontasi dengan tradisi. Memang abstrak sekali maslahat ini, yang fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah ini abstrak sekali, dan kasus-kasusnya bisa sangat beragam, karena kebutuhan manusia itu bisa beragam konstelasinya. Apalagi kalau dikaitkan dengan tradisi, ini bisa macam-macam.


Kalau tadi disebut bahwa masalah-masalah yang di-address dalam teorinya Bu Alissa itu adalah salah satu contoh yang paling mencolok keluarganya Nuruz Zaman, misalnya, ini sebetulnya masih bisa ditimbang dengan tradisi. Karena dalam tradisi lingkungannya Zaman itu, kalau keluarganya bermasalah kadang-kadang ada jalan keluar dengan membuat keluarga alternatif. [Hadirin tertawa]. Kadang-kadang ada tradisi begitu. Kita tidak bermaksud berkonfrontasi dengan tradisi itu. Tapi kita ingin bahwa setiap keluarga, apakah itu keluarga inisial maupun keluarga alternatif, ini semuanya maslahat. Itu sasaran tujuan kita. Memang kadang-kadang kebalik, kadang-kadang keluarga inisial jadi bermasalah karena tidak ada apa-apa bikin keluarga alternatif. Jadi bikin masalah buat keluarga inisial. Ini kadang terjadi. Kasusnya Zaman ini saya kira perlu didalami: itu di mana sebetulnya masalahnya.


Tapi, sekali lagi, lepas dari kerangka yang sudah dibuat oleh Bu Alissa tadi tentang enam, apa tadi itu namanya, sebetulnya kita melihat konstruksi keluarga sebagai konstruksi yang lebih kompleks dalam realitas.


Wahana koherensi dan model aktivisme baru


Selanjutnya, karena tujuan paradigmatik dari semua ini adalah membangun ekosistem Nahdlatul Ulama yang koheren, maka kita butuh saluran sebagai upaya menumbuhkan dan merawat koherensi itu, to foster and nurture the coherence. Bahasa Inggrisnya begini. Alissa paham. Nanti silakan cari bahasa Jawanya seperti apa. Jadi, karena kita ingin melakukan sesuatu untuk membangun koherensi ekosistem koheren ini, maka kita butuh wahana to foster and nurture the coherence, untuk menumbuhkan, mengupayakan terwujudnya dan kemudian merawat koherensi itu sendiri.


Tadi sudah saya singgung ada elemen-elemen internal, ada elemen-elemen eksternal. Bagaimana supaya ini bisa koheren semuanya? GKMNU ini adalah wahana itu. Jadi, GKMNU is a medium to foster and nurture the coherent ecosystem of Nahdlatul Ulama. Kalau pidato bahasa Inggris malah lebih enak kita, karena memang ini menyangkut terminologi-terminologi yang abstrak. Bagaimana nanti supaya jadi pekerjaan? Itu urusannya Alissa. Saya kan bagian menggagas hal-hal yang abstraknya. GKMNU ini bisa menjadi media to foster and nurture the coherence. Kenapa? Karena dengan GKMNU ini kita bisa melibatkan semua elemen yang ada itu, baik internal maupun eksternal. Sebelum itu, dengan GKMNU ini, kita bisa masukkan semua agenda menyangkut manusia dan keluarga. Mau bikin apa saja bisa masuk di dalam GKMNU, karena urusan keluarga itu semua urusan hidup manusia bisa masuk ke situ.


Jadi begini. Kalau misalnya pemerintah bikin kabinet, membagi-bagi pemerintahan ke dalam departemen-departemen, itu arahnya apa? Itu kan meng-address masalah-masalah manusia. Ada departemen agama, departemen perdagangan – departemen itu kementerian, sekarang – kementerian pendidikan, dan lain sebagainya, meng-address masalah-masalah manusia.


Kita menegaskan alamatnya di mana manusia itu? Keluarga. Maka semua urusan yang merupakan upaya untuk meng-address masalah-masalah manusia diwadahi dalam keluarga. Ini yang pertama.


Kedua, yang harus kita upayakan adalah bahwa semua elemen-elemen ini tersambungkan di dalam medium Gerakan Keluarga Maslahat NU. Itu sebabnya, kita desain elemen-elemen dari Satgas GKMNU ini adalah dari elemen-elemen struktural NU tadi. Ada NU, ada banom-banom, dan juga elemen eksternalnya yang dari pemerintah.


Jadi kalau tadi soal ekosistem yang koheren itu merupakan agenda paradigmatik, maka GKMNU ini sebetulnya adalah agenda strategis dari NU karena merupakan strategi to foster and nurture the coherence. GKMNU ini juga nanti sekaligus akan menjadi wahana untuk membentuk model aktivisme NU di masa depan.


Kalau selama ini aktivisme NU itu terbatas pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang cenderung sifatnya seremonial atau ritual, seperti pengajian-pengajian atau manakiban, wirid, dan lain-lain. Sementara, kegiatan-kegiatan yang lebih umum itu cenderung sifatnya – lagi-lagi – seremonial dan proforma. Ini sebetulnya keprihatinan yang lama saya rasakan, bahwa banyak teman-teman itu kreatif di dalam membuat inisiatif-inisiatif, tapi hasilnya performa, cuma kelihatan bagus, tapi impact-nya apa tidak kebaca. Kegiatannya kelihatan indah, kelihatan wah, menggelegar, impact-nya apa, tidak kebaca impact-nya. Itu namanya proforma.


Dengan strategi GKMNU ini kita ingin membangun satu model aktivisme yang baru, yaitu aktivisme yang menekankan direct engagement dengan warga, berhubungan langsung dengan warga, ketemu orang, manusia-manusia yang ditemui, dan urusan-urusan nyata yang dirasakan oleh manusia-manusia. Itu yang diurus. Ini adalah model engagement yang, menurut saya, harus dibangun untuk masa depan, karena berbagai macam pertimbangan.


Kita punya pertimbangan bukan hanya pertimbangan yang sifatnya sekadar pertimbangan ekonomis atau pertimbangan politis. Kita berpikir tentang ini sampai kepada pertimbangan-pertimbangan filosofisnya.


Misalnya, dewasa ini kita menghadapi tantangan besar dari gelombang dehumanisasi di berbagai aras kehidupan manusia, apalagi dengan dunia digital ini, dunia maya ini. Bahkan kita melihat kecenderungan dehumanisasi dalam cara berpikir para pembuat kebijakan. Maka kita butuh suatu model aktivisme yang bisa memupuk humanisme ini, bisa memupuk terus naluri humanisme kita dengan direct engagement, berhubungan langsung dengan warga, dengan manusia-manusia ini.


Kita berharap bahwa kader-kader NU, aktivis NU ini, dalam melakukan semua urusannya sampai kapan pun nanti mereka berpikir tentang manusia-manusia, mereka berpikir tentang darah daging - darah daging yang nyata, dengan lingkungan orang-orang kesayangan, dan lain sebagainya, supaya tetap human, tetap manusiawi, sehingga kalau pada saatnya nanti, misalnya, ada nasib menjadi bagian dari lingkaran pembuat keputusan, dia membuat kebijakan berpikir secara manusiawi, tidak cuma berpikir statistik kayak Hasan (Hasanuddin Ali), ngerti-nya angka thok. Angka itu penting sebagai summary (ringkasan) dari keseluruhan masalah, tapi tetap nalurinya harus naluri manusiawi. Ini semua yang akan di-nurture dengan GKMNU ini.


Dengan mengatakan begini, ini berarti bahwa ini bukan sesuatu yang kita bisa diwujudkan begitu Satgas dibentuk. Kan tidak begitu. Satgas ini instrumen untuk menggulirkan kegiatan GKMNU ini. Keseluruhan sistem kegiatan GKMNU ini nanti yang akan mendorong terwujudnya koherensi, dan kemudian merawat koherensi itu sendiri. Makanya ini juga nanti akan terkait dengan pemerintah. Ini saya kira perlu saya singgung lebih jauh.


Positioning NU


Jadi, ketika kita berpikiran bagaimana NU ini engage dengan pemerintah, di situ ada soal positioning NU.


NU ini sudah menjadi representasi dari konstituen yang luas sekali. Lebih dari separuh populasi Indonesia ini NU. Dan kita tahu bahwa nature atau karakter dari konstituen NU itu adalah secara kultural memang cenderung lebih mudah dikonsolidasi. Cenderung lebih mudah dikonsolidasi bukan berarti otomatis mudah. Tapi cenderung lebih mudah dikonsolidasi, cenderung lebih mudah dimobilisasi. Semua orang tahu itu, dari dulu cenderung lebih mudah dimobilisasi. Paling tidak, dari dulu tradisi kita itu pokok asal sound system dibunyikan, orang tidak pakai undangan ngumpul sendiri, kan? Itu tradisi kita, sudah. Lebih mudah dimobilisasi. Karena ukuran dan nature ini, dan karakter dari konstituen ini, maka, apa boleh buat, NU ini punya bobot politik, menjadikan NU memiliki bobot politik.


Memang hubungannya terkait dengan dengan pemilihan-pemilihan itu, memang, pada awalnya, pada tingkat yang paling pragmatis. Tetapi, lebih dari itu, di dalam segala suasana politik yang ada di dalam masyarakat, jelas NU kemudian memiliki bobot tersendiri, karena skala konstituen dan nature-nya. Maka kita berhadapan pada pertanyaan tentang positioning NU di tengah-tengah peta politik masyarakat, dan di dalam peta politik masyarakat itu, aktor yang paling utama dan paling menentukan jelas adalah pemerintah. Nah, bagaimana positioning kita?


Dulu kita sudah mencoba macam-macam, ketika menjadi parpol, kemudian menjadi oposisi, kemudian kembali ke khittah tapi tetap oposisi, nyoba ikut-ikutan nyalon, dan lain sebagainya. Itu semua sudah kita lakukan, eksperimen-eksperimen itu, dan kita sudah tahu hasilnya semua. Sekarang kita perlu melakukan kontemplasi. Jadi, apa sebetulnya peran yang paling visible untuk NU di tengah-tengah peta atau lanskap politik masyarakat itu. Nah, dalam hal ini, ini nanti kompleks.


Tapi saya sebut saja satu hal, bahwa NU ini tidak bisa menjadi oposisi dari pemerintah. Itu tidak bisa, karena itu akan membuat NU menjadi tidak adil. NU tidak adil kepada aktor-aktor politik yang lain, karena yang namanya oposisi itu kan melakukan konsolidasi kekuatan untuk melawan. Itu namanya oposisi. Makanya kemarin ketika ada Capres kalah, bilang, “Saya akan tetap oposisi.” Lalu ada yang nyeletuk, “Oposisi itu kalau berkelompok, kalau sendirian namanya pengamat,” katanya kan begitu, atau, “kritikus.” Kenapa? Karena namanya oposisi itu konsolidasi secara berkelompok untuk melakukan exercise politic, political exercise. Itu oposisi.


NU tidak bisa begitu. Kalau NU melakukan itu, ini tidak adil pada aspirasi-aspirasi politik yang beragam. Yang kedua, juga jadi tidak produktif. Kenapa? karena yang bertanggung jawab membuat agenda-agenda yang beneficial (bermanfaat), yang benefisen (mendapat manfaat) untuk masyarakat itu adalah pemerintah. Kalau oposisi, kan semua yang dilakukan pemerintah harus dilawan, sehingga agenda-agenda pemerintah yang dimaksudkan untuk maslahat rakyat itu juga ikut dilawan. Ini malah jadi tidak produktif semua. Maka, singkatnya, NU tetap harus dalam hubungan kooperatif dengan pemerintah. Itu posisinya, siapa pun pemerintahnya.


Nah, dalam soal pemilu-pemilu pemilihan-pemilihan itu, ya main-mainlah. Tapi kalau sudah jadi pemerintah, kooperatif, sudah. Lalu, di mana fungsi NU di situ, peran NU itu? Peran NU itu nanti adalah membantu memastikan delivery, penghantaran agenda-agenda pemerintah supaya sungguh-sungguh sampai kepada basis masyarakat. Di situ positioning-nya NU.


Maka ke depan kita memang membutuhkan untuk membina foster and nerture, lagi-lagi, hubungan dengan elemen-elemen pemerintah. Nanti dengan semua kementerian yang relevan kita harus punya hubungan kooperatif ini.


Memang kemarin sebagai awalan sengaja kita pilih Kementerian Agama. Ini ada campuran soal pribadi juga, memang, karena paling gampang disuruh lah, kira-kira begitu, jadi bisa lebih mudah di koordinasikan sebagai awalan, supaya lebih cepat. Tapi bukan berarti cuma Kemenag, kita hanya engage dengan Kemenag saja. Kita harus dengan semua, karena kementerian-kementerian ini semuanya urusan muaranya alamatnya ke keluarga. Termasuk nanti ini urusan internasional itu alamatnya keluarga, jangan salah. Kita bikin R-20 segala itu nanti turunnya sampai ke keluarga. Kita bikin IIDC, kita bikin ISORA, semuanya nanti turunnya ke keluarga, karena alamat akhir dari semua agenda-agenda itu adalah keluarga. Ini agenda strategisnya.


Sesudah itu kita harus berpikir tentang metode: Bagaimana metode eksekusinya?


Kemarin kita sudah bicara tentang, misalnya, komposisi dari Satgas itu. Ada yang dari PBNU, dari Ansor, dari lembaga ini, dan lain sebagainya. Itu metode. Tapi ada hal yang lain yang, saya kira, harus kita lakukan nantinya.


Kemarin memang karena kita lakukan apa yang mungkin lebih dulu. Idealnya kan semuanya dimulai secara tertib, terencana, dan sistematis sejak awal. Tapi kita tidak punya kemewahan untuk melakukan itu, (karena) macam-macam keterbatasan, peluang yang ada, dan lain sebagainya, sehingga hal-hal yang bisa kita dahulukan kita dahulukan. Walaupun ada, misalnya, komponen yang niscaya yang belum kita lakukan.


Kemarin ini kita bikin GKMNU, walaupun belum ada konsep yang sistematis tentang skema strategi nasionalnya. Belum ada. Asalnya bikin saja kan kita. Pokoknya bikin, cari di Kemenag ada program apa, itu kita yang jalankan, cari di Kementerian Kesehatan ada apa, kita jalankan. Jalan dulu. Ini inisiasi saja, kita. Padahal semestinya, dalam perspektif teori, harusnya kan ada konsep strateginya dulu. Kita belum punya.


Tak bisa buka lapak sendiri-sendiri


Terus terang saja memang ada sejumlah hal yang keteter-teter kemarin itu, apa boleh buat. Termasuk, misalnya, lembaga-lembaga ini kan banyak yang nganggur sampai sekarang karena belum ada konsep tentang kerangka strategi nasionalnya. Sementara mau buka lapak tidak bisa.


Kemarin saya juga ngomong sama Pak Amin Said, “Saat ini saya ini ngelus dada, Pak Amin, kita ini sudah mateni pangane (membunuh sumber makan) orang banyak ini,” saya bilang. “Karena kemarin-kemarin teman-teman kreatif, bikin lapak ini itu, jalan sendiri-sendiri, bisa hidup sendiri, sekarang mereka tidak bisa. Sebetulnya kasihan, kita harus tanggung jawab ini,” saya bilang.


Sekarang bagaimana, mau bikin judul saja susah, sudah keduluan judul kita dulu. Saya sudah bikin judul Merawat Jagat Membangun Peradaban, RMI mau bikin judul apa, susah dia. Saya sudah bikin judul rekontekstualisasi, dia mau bikin judul moderasi, tidak laku, sehingga repot semua ini, lapak-lapak ini. Makanya lalu jadi kayak tertidur semua karena tidak tahu apa yang dikerjakan. Sementara, belum ada konsep tentang strategi nasionalnya.


Makanya kemarin itu ada yang ngeluh, “Wah bagaimana ini, ketua lembaga ini harus diganti, tidak aktif dia ini.” Ya saya, “Sudah, biar saja, nanti kalau aktif malah aku yang repot, biar tidur dulu,” saya bilang. Kenapa? Karena kerangka konseptualnya belum ada. Kalau dibiarkan jalan kemudian bikin konstruksi sendiri-sendiri, nanti kalau jadi semua yang pening kan saya, bagaimana cara merapikan lagi dalam satu sistematika yang utuh? Sekarang saja pening mikir Ansor sama Fatayat sama Muslimat ini. Sudah kadung jadi konstruksi masing-masing begitu. Nanti yang lain-lain bagaimana? “Sudah, biar, biar tidur dulu,” saya bilang.


Rencana strategis nasional


Alhamdulillah, sekarang kita sudah punya yang dihasilkan oleh Lakpesdam itu, Renstra tiga tahun sampai 2027. Walaupun Renstra ini nanti masih harus mengalami penyesuaian dengan agenda dari pemerintahan baru. Sebetulnya sudah masuk dalam pertimbangan agenda dari pemerintah baru, sudah masuk dalam pertimbangan ketika menyusun Renstra ini. Tapi nanti dalam kenyataan pasti dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian, tidak masalah, kita sudah punya. Sekurang apa pun Renstranya, yang penting sudah punya. Kayak orang kawin, “yang penting due bojo,” kan begitu.


Sekarang ini sudah punya kita, Renstra ini. Sudahlah, sak rupa-rupanya, itu kita sudah punya Renstra, dan ini sudah dibuat dengan serius sekali, dengan sangat serius, dengan metode dan proses yang serius sekali. Sudah jadi sekarang.

 
Saya ingin supaya ini lalu jadi model, Renstra ini, mulai dari cara pembuatan sampai hasilnya. Itu jadi model. Model itu artinya, nanti akan kita lakukan hal ini secara terus-menerus, di masa datang itu, kita lakukan dengan cara seperti ini.


Setelah sekarang jadi Renstra, kita butuh model bagaimana mem-breakdwown nasional yang keseluruhan itu menjadi Renstra lembaga-lembaga, habis ini. Itu harus jadi model juga, metode untuk mem-breakdown Renstra dari Renstra nasional yang sudah ada itu, jadi Renstra Lembaga. Renstra NU jadi Renstra lembaga. Lalu di-breakdown lagi jadi Renstra banom-banom, di-breakdown lagi jadi Renstra di tingkat wilayah.


Kemarin kita sudah komunikasi dengan Jawa Timur, sehingga hasil Konferwil itu sudah jadi Renstra Jawa Timur. Nanti PW-PW yang lain, Pak Hamzah Harun, Pak Marah Halim, dan lain-lain, nanti kita proses ini. Kita bicarakan bagaimana mem-breakdown jadi Renstra Sumatra Utara, Renstra Sulawesi Selatan. Kalau sudah ketemu modelnya, bikin Raker, nanti bicarakan bagaimana mem-breakdown dari Renstra, misalnya, Sumatra Utara itu, jadi Renstra Deli Serdang, misalnya. Itu supaya jadi model.


Di sisi lain, ini juga harus kemudian termanifestasi ke dalam operasionalisasi GKMNU itu sendiri. Jadi, isi GKMNU ini harus bisa disambungkan kepada Renstra yang sudah ada. Ini metode.


Kenapa kita butuh begini? Karena kita butuh model dari satu konstruksi organisasi baru yang nanti bisa kita lihat sebagai NU governance, bahwa NU ini dijalankan laksana pemerintahan. Ada model begitu. Nanti akan ada sejumlah hal lain yang kita harus lakukan. Tapi ini modelnya.


Sementara itu, jelas nanti ada model-model yang harus dibangun oleh GKMNU sendiri, soal bagaimana merangkaikan kerja sama dengan berbagai pihak.


Jelas bahwa di masa datang kita butuh kerja sama, bukan hanya dengan pemerintah saja, tapi juga dengan pihak-pihak nonpemerintah. Itu semua saya minta ada modelnya, ada kerangkanya, sehingga kalau nanti GKMNU ini ganti orang itu kerjaannya enggak ganti, cara kerjanya itu tidak usah mikir lagi, sudah ada modelnya. Ini yang kemudian bisa kita harapkan ke depan. Ini memberikan jalur-jalur untuk pengembangan NU dalam kerangka mengupayakan ekosistem Nahdlatul Ulama yang koheren itu tadi.


Jangan takut pada ketidaksempurnaan


Bapak Ibu sekalian yang saya hormati.

Semua yang saya omongkan ini membuat beban GKMNU menjadi kelihatan berat sekali, memang. Tapi, saya sejak awal sengaja memilih orang-orang yang saya yakin mampu mem-breakdown hal-hal abstrak yang berat-berat, yang saya pikirkan ini, menjadi operasi yang nyata sampai di tingkat basis.


Saya percaya bahwa Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sebagai para penanggung jawab GKMNU ini, sebagai anggota Satgas dan lain-lain, nanti akan mampu mengerjakan semua ini.


Dan jangan berkecil hati, saya sudah ulang-ulang, jangan takut pada ketidaksempurnaan. Yang penting jalan dulu, nanti kita evaluasi. Tidak sempurna tidak masalah, nanti akan kelihatan kekurangannya. Segala sesuatu kelihatan kekurangannya kalau sudah jalan, kalau belum jalan tidak tahu kita, ini sudah bagus apa belum. Maka, sudah, rancang, desain sesuatu, rencanakan sesuatu, jalankan, nanti kita evaluasi. Tidak usah takut pada ketidaksempurnaan.


Bapak Ibu sekalian, saudara-saudara.

Dengan bicara panjang lebar begini ini saya ingin mengajak Bapak, Ibu, saudara-saudara sekalian, untuk bergabung di dalam visi besar ini, visi besar tentang NU masa depan ini, yaitu NU sebagai ekosistem yang koheren. Kenapa saya ajak untuk bergabung dalam visi ini? Karena ini adalah visi yang akan menentukan survival dari Nahdlatul Ulama di masa depan. Kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita ingin survive, maka NU harus berupaya mewujudkan ekosistem yang koheren. Kalau tidak, kita tidak akan survive. Kenapa? Karena kalau ini dibiarkan centang perenang: orang boleh bikin sendiri-sendiri, ini itu, ini itu, tanpa ada relevansi sistemik, orang NU jadi tidak punya definisi. Tidak punya definisi itu berarti tidak punya jati diri, dan ini ancaman serius mengingat tren banyaknya partisipan-partisipan baru di dalam NU.


Sampai sekarang saja, Hasan itu belum paham, bagaimana mungkin tahun 2005 27 persen, 2023 jadi 57 persen. Ini dapat dari mana, orang macam apa itu? Saya lagi pesan, entah sudah dilakukan apa belum itu surveinya sama Hasan. Ini orang macam apa ini? Semuanya merasa NU. Kalau ditanya ngaku NU semua. Dan nanti pada overtime dia bisa merasa berhak untuk membuat inisiatif atas nama NU, “Saya juga NU kok,” begitu. Maka saya bilang ini soal survival buat NU.


Saya tahu semua orang punya cita-cita, punya ambisi-ambisi, punya target-target, dan lain sebagainya. Saya ingin ajak masukkan target ambisi cita-cita itu dalam kerangka ekosistem koheren ini. Nanti kalau ini mulai jalan, mulai terasa atsar-nya, dampaknya, impact-nya, itu nanti akan kelihatan. Sekarang saja sudah mulai ada, sudah dapat untung, kayak Marah Halim ini, sudah untung, dia ini sudah menang banyak gara-gara proses ini. Apalagi kalau ini berkembang lebih kuat, itu nanti akan banyak kesempatan di situ.


Tapi kita tahu bahwa semua ini harus kita niatkan. Tidak ikhlas tidak apa-apa. Tidak usah niat ikhlas tidak apa-apa, niatkan saja ngalap barakah, itu sudah cukup, ngalap barakah kepada muasis Nahdlatul Ulama.


Mudah-mudahan kita semua mendapatkan pertolongan Allah Swt.

hawla walā quwwata illā billāhilaliyil 'adzīm.

Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.