Nasional

Pidato Lengkap Ketum PBNU Gus Yahya saat Peluncuran Aplikasi Digdaya Persuratan NU

Selasa, 6 Agustus 2024 | 21:00 WIB

Pidato Lengkap Ketum PBNU Gus Yahya saat Peluncuran Aplikasi Digdaya Persuratan NU

Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan arahan dalam peluncuran aplikasi Digdaya Persuratan NU di Lobi Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/8/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) meluncurkan aplikasi Digdaya Persuratan NU (Digitalisasi Data dan Layanan NU) di Lobi Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2024) lalu.


Berikut adalah pidato lengkap Gus Yahya dalam kesempatan tersebut.


***


Assalāmu'alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh.


Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihi wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati, salah seorang tokoh sepuh Nahdlatul Ulama, Wakil Ketua Umum KH Amin Said Husni [hadirin tertawa]. Yang saya hormati, jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ada sejumlah ketua, Gus Aizuddin Abdurrahman, Pak Ahmad Suaedy, Pak Muhamad Faisal, Pak Abdullah Latupada.  Sejumlah Wakil Sekjen, Pak Nurhidayat, Pak Sulaeman Tanjung, Pak Syarif Munawi, Pak Lukman. Para penanggung jawab pembangunan platform digital, saudara Faqih dan teman-teman. Para pengampu lembaga di lingkungan PBNU yang hadir. Alhamdulillah.


Istilah bahasa Arab untuk makan sehari-hari – makanan sehari-hari yang kita makan, sehari tiga kali kalau mampu, kalau tidak dua kali atau sekali – itu istilahnya wajibah, wajib. Kenapa? Karena wajib, karena harus, karena sifatnya dharuri, niscaya. Kalau tidak, ya tidak bisa terus hidup.


Itu sebabnya kemarin saya sebut di dalam kesempatan Rapat Pleno (PBNU), bahwa kebutuhan kita untuk melakukan berbagai macam konsolidasi ini adalah wajibah, dharuri. Itu bukan soal kita mau bergaya supaya kelihatan modern, seperti ketika kita merombak lobi gedung PBNU. Kalau ini memang mau bergaya kita mengubah begini, sehingga kelihatan bagus.


Tapi konsolidasi-konsolidasi yang kita lakukan ini wajibah, karena ke depan tidak mungkin kita ini – Nahdlatul Ulama sebagai organisasi ini – bisa berfungsi dengan baik tanpa melakukan konsolidasi-konsolidasi yang wajib itu, yang sifatnya dharuri semua itu. Konsolidasi yang dharuri yang kita butuhkan itu meliputi tiga arena.


Tapi sebelumnya, saya kira penting saya singgung kembali bagaimana kita memposisikan jam'iyah Nahdlatul Ulama ini di tengah-tengah masyarakat.


Memposisikan NU di hadapan jamaah

Semua orang tahu dan memang ini adalah kenyataan, bahwa di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama itu ada domain yang merupakan domain organisasi, ada domain komunitas, sehingga orang menyebut NU struktural dan NU kultural. Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU ini ada jam'iyah yaitu organisasi dengan keseluruhan strukturnya, dan jamaah yaitu komunitas yang tersebar begitu luas di dalam masyarakat. Bagaimana kita harus memposisikan jam'iyah ini di hadapan jamaah?


Dulu ada pemikiran bahwa “jamaah ini harus dijam'iyahkan semua.” Ada pemikiran begitu, dulu, dan pemikiran ini cukup kuat sebagai wacana di lingkungan para aktivis Nahdlatul Ulama. Artinya, jamaah ini diorganisir supaya semuanya menjadi struktural, begitu maksudnya. Jadi, menjam'iyahkan jamaah itu, dengan kata lain, yang kultural itu dikelola sedemikian rupa sehingga semua menjadi struktural. Dulu pemikirannya begitu, dan ini pemikiran yang sudah sudah sejak sangat lama, sejak zaman Gus Dur.


Saudara-saudara ingat, pada waktu pembukaan Konferensi Besar di Jogja – Konbes dan Munas di Jogja – ada mauidzah hasanah dari Mustasyar PBNU Kiai Ahmad Mustofa Bisri, dan beliau menceritakan bahwa pada zaman Gus Dur itu NU dihadapkan pada dua tantangan. Yang pertama, apakah akan melakukan transformasi pemikiran lebih dahulu. Jadi, membuka wawasan NU terlebih dahulu, atau (yang kedua) menata organisasi dahulu. Dulu begitu saat zaman Gus Dur itu. Kemudian Kiai Ahmad Mustofa Bisri mengatakan, ternyata yang dominan adalah mendahulukan agenda membuka wawasan NU.


Nah, yang dimaksud dengan menata organisasi yang diceritakan oleh Kiai Ahmad Mustofa Bisri itu gagasan menjam'iyahkan jamaah itu. Sampai sekarang masih kita dengar artikulasi itu: “Menjam'iyahkan jamaah.” Karena dianggap jamaah NU ini terlalu tidak teratur, sehingga supaya lebih rapi lalu dijam'iyahkan semuanya. Itu artinya, sekali lagi, yang kultural distrukturalkan semua. Pemikiran ini sebetulnya secara logika bisa diterima, bahwa logisnya suatu organisasi memang mestinya seperti itu.


Nah, pertanyaan berikutnya adalah: Apakah ini realistis?


Kita melihat sekarang bahwa perkembangan NU ini sedemikian rupa, sehingga komunitasnya tumbuh secara cepat sekali. Saya sudah terlalu sering menyebut-nyebut tentang bagaimana secara statistik, dari hasil survei dari waktu ke waktu, jumlah komunitas yang mengaku berafiliasi kepada NU ini berkembang pesat sekali, dan ini sesuatu yang memang sekarang kita masih perlu studi lebih lanjut untuk memahami: kenapa bisa begini? Tetapi, satu hal yang saya kira cukup pasti, adalah bahwa dari waktu ke waktu itu ada tambahan partisipan NU atau komunitas atau cacah jiwa yang berafiliasi kepada NU, yang berbeda dari mereka yang sudah bergabung sebelumnya.


Kalau kita lihat, misalnya, tahun hasil surveinya LSI Denny JA, beliau pernah umumkan tahun 2004. Beliau pernah melakukan survei, dan hasilnya adalah 27 persen penduduk Indonesia mengaku berafiliasi kepada NU. Kemudian tahun 2023 survei lagi, hasilnya 56,9 persen mengaku berafiliasi kepada NU. Jadi, dari survei ini, dari hasil yang disebutkan oleh LSI ini, kita tahu ada penambahan lebih dua kali lipat orang yang bergabung dengan NU, mulai 2004 sampai 2023 itu. 2004 itu saja juga tambahan signifikan sekali, karena kalau kita pakai hasil Pemilu tahun 1955 NU itu cuma dapat 18 persen. 2004 sudah 27 persen. 2023, dalam waktu 19 tahun, bertambah lebih dari dua kali lipat, 56,9 persen.


Nah, yang terpikir ke saya ini kan lalu: orang yang bergabung dengan NU sejak 2004 sampai 2023, itu orang NU potongan kayak apa? Sudah pasti potongan (penampilan)-nya beda, wong yang sudah bergabung sejak lama Saja potongan-nya berubah. Kayak Hamzah (Sahal) ini, sudah mondok sejak tahun 90-an, sekarang potongan-nya beda dengan waktu di pondok dulu. Orang sudah lama NU-nya itu potongan-nya berubah, apalagi yang baru bergabung, ini pasti tidak bisa kita pakai stereotip yang sama. Itu tidak bisa. Jadi, misalnya, kalau dulu dibilang NU kaum sarungan, sekarang enggak lagi, ketua umumnya saja katok-an (bercelana) terus, kok. Ini adalah tren yang harus kita perhatikan.


Maka kembali kepada pertanyaan: Apakah realistis menjam'iyahkan jamaah?


Melihat tren seperti ini kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa itu tidak realistis. Apalagi kalau kita lihat jumlahnya. Bagaimana kita membangun strategi menstrukturalkan komunitas kultural yang sekarang jumlahnya sudah mencapai tidak kurang dari 160 juta orang dengan 56,9 persen populasi Indonesia ini.


Pemerintahan NU

Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan arahan dalam peluncuran aplikasi Digdaya Persuratan NU di Lobi Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/8/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Maka kita harus bangun satu pemikiran tentang skema yang masuk akal sekaligus realistis. Maka sejak awal saya sudah sampaikan, saya menawarkan skema untuk menjadikan jam'iyah ini – jam’iyah yang struktur ini – sebagai semacam pemerintahan, sehingga hubungan antara struktur dengan kultur, dengan komunitas, antara jam'iyah dengan jamaah ini, adalah hubungan seperti – seperti itu seolah-olah, seolah-olah itu artinya tasyabbuh, tasyabbuh itu ya bukan. Jadi jam'iyah ini bukan pemerintah, tapi seperti – pemerintah di depan rakyatnya, yaitu jamaah tadi.


Maka, pertama, apa tanggung jawab dari jam'iyah – yang laksana pemerintah tadi – kepada jamaah? Nah, ini yang harus kita pahami tanggung jawabnya. Apa tanggung jawabnya?
 

Saya kira juga tasyabbuh dengan tanggung jawab pemerintah suatu negara kepada rakyat, yaitu tanggung jawab melayani, sebagaimana kaidah tasharruful imam manutun bi maslahatir ra’iyah, tanggung jawab melayani. Karena itu, Saudara-saudara sekalian, yang menjadi tanggungan kita sebagai para pengampu struktur jam’iyah ini – karena kita ini pengurus-pengurus semua – adalah membangun kinerja organisasi sedemikian rupa, sehingga organisasi ini nanti mampu menjalankan tanggung jawabnya kepada jamaah dengan sebaik-baiknya.


Tiga matra konsolidasi NU

Nah, dari pikiran inilah kemudian kita sampai pada keniscayaan tentang kebutuhan akan konsolidasi-konsolidasi jam'iyah, konsolidasi-konsolidasi organisasi. Konsolidasi ini menyangkut tiga matra. Yang pertama adalah konsolidasi tata kelola. Organisasi ini harus dikelola dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga kinerjanya baik. Kalau tata kelolanya tidak baik, pasti kinerjanya juga akan tidak baik, akan buruk. Jadi kita harus konsolidasikan tata kelola ini supaya kinerjanya baik.


Yang kedua adalah konsolidasi agenda, supaya jelas kita melakukan layanan kepada jamaah itu dengan perspektif yang aktual, yaitu dengan melihat realitas dari jamaah, sehingga kita bisa mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan jamaah, dan kemudian membangun agenda-agenda yang sistematik untuk sebesar-besarnya memenuhi hajat dari jamaah itu sendiri.


Kemudian yang ketiga adalah konsolidasi sumber daya. Sumber daya itu menyangkut sumber daya manusia dan sumber daya waktu, dalam pengertian waktu adalah uang. Jadi, ada sumber daya manusia dan sumber daya pembiayaan organisasi, karena organisasi butuh biaya. Ini harus dikonsolidasikan.


Konsolidasi sumber daya ini kita tempuh dengan, pertama, pembangunan sistem pelatihan kader untuk meningkatkan kapasitas dari para pengampu organisasi. Untuk sumber daya pembiayaan, kita melakukan langkah-langkah menuju tersedianya sumber-sumber pembiayaan yang independen dan lumintu.


Jadi kita butuh sumber pembiayaan yang independen. Maksudnya independen itu uang yang kita bikin sendiri dan kita pakai sendiri, semau-mau kita. Itu namanya independen. Kita harus punya itu, dan lumintu. Kalau kita ini cuma mengharapkan donasi atau sumbangan sebagaimana yang selama ini kita lakukan, sekian lama kita bergantung kepada donasi, jelas banyak yang akan mau memberikan donasi, membantu NU. Tapi orang memberi donasi itu kan lihat-lihat: “Ini mau dipakai apa?” Kalau cocok dengan kepentingan atau katakanlah apa yang disukai oleh calon donor, dia akan memberi donasi. Kalau tidak, ya tidak. Itu berarti setiap kali kita mengharapkan donasi dari pihak lain, kita harus berpikir untuk membuat agenda yang kira-kira disukai oleh calon donor. Jadi tidak sepenuhnya independen. “Kita butuh ini, kita lakukan ini,” enggak bisa. Karena kalau kita semau-mau kita, nanti banyak donor yang enggak mau, enggak bisa dapat donasi. Ini maksudnya independen.


Alhamdulillah, sejak selesai Muktamar saya bertemu dengan Presiden Joko Widodo, beliau berpikir yang sama. Beliau ingin supaya NU ini punya sumber pembiayaan yang independen, sehingga tidak harus nyari sumbangan ke sana ke mari. Itu yang beliau sampaikan. Maka, ini momentum, beliau lakukan dalam konteks kebijakan dengan membuka kesempatan kepada ormas-ormas untuk mendapatkan konsesi tambang. Ya, kita sambut, seperti saya bilang, kita mau karena kita butuh. Soal bagaimana dampaknya dan lain-lain, nanti kita kelola. Tapi jelas kita butuh sumber pembiayaan yang independen.


Apalagi, kita punya tanggungan untuk memberikan layanan kepada jamaah yang begitu besar jumlahnya dan begitu luas sebarannya di seluruh Indonesia. Ini enggak mungkin kita melakukan kegiatan kecil-kecilan untuk memberikan pelayanan bagi jamaah yang begitu luas. Semua program kita nanti, ukurannya, skalanya, pasti akan luas sekali, dan akan membutuhkan dukungan pembiayaan yang yang besar, dan pembiaayaan dukungan itu harus sustainable, makanya tidak sekadar ngasih uang.


Mungkin sebetulnya Pak Jokowi sebagai presiden dalam posisi untuk manggil orang-orang kaya, “Sudah, sekarang iuran, kasihkan ke NU,” misalnya. Mungkin beliau dalam posisi itu. Tapi kalau cuma diberi uang begitu saja itu namanya tidak lumintu, tidak sustainable. Nah, ini alhamdulillah. Walaupun tentu tidak boleh kita hanya berpikir tentang fasilitas kebijakan presiden ini sebagai satu-satunya sumber yang independen dan sustainable itu. Kita harus mengembangkan macam-macam kreativitas untuk membangun sumber-sumber pembiayaan yang lain, yang sekali lagi, harus independen dan sustainable.


Kemudian konsolidasi agenda. Itu berarti bahwa kita harus bergerak sebagai satu kesatuan organisasi bersama-sama melakukan upaya untuk memberi layanan umum kepada jamaah yang sekian banyak itu. Ini berarti agenda-agenda, program-program dilakukan oleh seluruh jajaran pengurus harus merupakan satu agenda yang koheren, yang semuanya mengarah kepada cita-cita yang sama, tujuan-tujuan yang sama, dan target-target yang dirancang secara sistematis. Yang dilakukan oleh pengurus NU di satu desa dengan pengurus NU di desa lain ini harus nyambung, harus sama. Yang dilakukan oleh pengurus Ranting NU Sumobito, Jombang, dengan Ranting NU di satu desa, misalnya, di Sumatra Utara sana – saya enggak hafal nama-nama desa di sana – itu harus nyambung, tidak boleh terlepas sama sekali. Ini berarti kita butuh konsolidasi agenda secara nasional.


Rencana strategis Nahdlatul Ulama

Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan arahan dalam peluncuran aplikasi Digdaya Persuratan NU di Lobi Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/8/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Untuk melakukan itulah, maka lalu kita transformasikan salah satu lembaga yang kita punyai, yaitu Lakpesdam ini, untuk berfungsi – kalau namanya tidak bisa kita ubah, karena masih dicantumkan di AD/ART sebagai Lakpesdam, dan fungsi-fungsinya yang sebagaimana diatur dalam AD/ART itu juga masih harus dijalankan, tapi kita kembangkan fungsi baru bagi Lakpesdam ini, yaitu fungsi – sebagai Bappenu. Bappenu itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional NU.


Alhamdulillah, kemarin kita sudah menyelesaikan Renstra NU, rencana strategis nasional NU, seperti yang dibuat oleh Bappenas untuk pemerintah negara, dan Renstra yang dihasilkan oleh Lakpesdam ini nanti akan menjadi dasar dari agenda nasional NU secara menyeluruh di semua tingkatan. Nanti akan kita breakdown menjadi agenda-agenda kelembagaan, antara lembaga satu dengan lembaga yang lain. Kemudian kita breakdown lagi menjadi agenda di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Ini adalah konsolidasi agenda.


Yang ketiga, konsolidasi tata kelola. Ini kita lakukan, pertama, dengan merapikan regulasi-regulasi tentang mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur. Maka kita lakukan berkali-kali Konferensi Besar untuk mengesahkan peraturan-peraturan perkumpulan yang diperlukan bagi konsolidasi tata kelola itu, supaya semua hal menyangkut kegiatan organisasi ini ada aturannya, tidak semau-maunya sendiri.


Dilarang mengutip iuran untuk organisasi

Sekarang kita sudah punya aturan sampai kepada soal pembiayaan tugas luar kota, itu sudah sampai ke situ. Kita punya standar, berapa biaya transport, berapa lump sum untuk setiap petugas, sehingga kita umumkan kepada seluruh jajaran NU di daerah: dilarang, sekali lagi, dilarang, dilarang itu artinya haram, dilarang memberikan apa pun. Selama ini tradisinya kan NU ini memberi bisyarah. Bisyarah itu bebunga untuk menggembirakan, sehingga kalau ada pengurus datang ke daerah itu diberi sesuatu yang menggembirakan. Itu biasanya bentuknya uang, terus terang saja, amplop berisi uang. Sekarang kita nyatakan: dilarang pengurus di daerah ini untuk memberikan uang kepada petugas PBNU yang dikirim untuk melakukan tugas-tugas organisasi. [Hadirin tepuk tangan]. Jadi tidak boleh lagi, tidak boleh lagi. Kemarin-kemarin kita sudah sampaikan, tapi belum resmi, sekarang resmi dilarang, sudah resmi. Kemarin enggak resmi, sehingga kadang-kadang saya harus bertengkar dengan panitia karena mereka ngotot mau ngasih, dan harus ditolak. Jadi sekarang dilarang.


Kita juga melarang bagi pengurus NU di semua jajaran untuk mengutip dana dari jamaah yang dipergunakan untuk membiayai organisasi. Tidak boleh. Nanti itu NU Online juga harus ditertibkan, tidak boleh untuk membiayai organisasi. Tidak boleh. Kutipan dari warga harus kembali kepada warga melalui LAZISNU.


Nah, terus dari mana kita membiayai organisasinya? Tadi, konsolidasi sumber daya, cari akal. Apa gunanya jadi pengurus kalau enggak bisa cari akal? Karena, warga itu hanya dengan merasa bagian dari NU, itu sebetulnya sudah menyediakan sumber daya luar biasa yang harusnya bisa menjadi dasar yang akan lebih kaya daripada sekadar tambang batu bara. Ini tambang manusia, 160 juta ini, jangan ditariki lagi. Pengurus yang mikir: bagaimana caranya, tanpa menarik iuran dari warga. Tidak usah mengeluh, salah sendiri mau jadi pengurus. Ini konsolidasi regulasi-regulasi. Satu.


Mengapa perlu transformasi digital? 

Penanggung jawab transformasi digital PBNU sekaligus Waketum PBNU H Amin Said Husni menyerahkan potongan tumpeng kepada Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat peluncuran aplikasi Digdaya Persuratan NU di Lobi Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/8/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Yang kedua, dalam kerangka tata kelola ini, yang kita lakukan adalah transformasi digital. Transformasi digital yaitu menyelenggarakan urusan-urusan organisasi ini melalui platform digital. Sekali lagi, semua konsolidasi tadi itu adalah wajibat, itu dharuri semua. Kita bukannya mau sekadar supaya kelihatan modern, enggak, butuh kita ini, sudah. Ini kayak orang lapar butuh makan. Ini bukan aksesori. Kalau ini kita tidak lakukan, kita bisa mengalami disfungsi, organisasi ini bisa rusak fungsinya kalau wajibat ini tidak kita lakukan. Maka transformasi digital ini termasuk wajibat, ini harus dilakukan, kalau enggak kita akan mengalami disfungsi.


Kalau sekarang PBNU tidak tahu urusan organisasi yang beredar di tingkat kecamatan, itu namanya disfungsi. Tidak tahu, tidak punya catatan, tidak bisa mengevaluasi sama sekali, itu namanya disfungsi, tidak boleh begitu.


Sementara, sekarang kita berhadapan dengan realitas bahwa ukuran dari struktur yang harus kita kelola ini pun sudah begitu besar. Kita ini punya 38 PW, setiap provinsi. PC itu 548, kalau tidak salah, PCNU. MWC, mestinya, ada yang bolong-bolong, kalau sesuai dengan jumlah kecamatan – jumlah kecamatan seluruh Indonesia itu lebih dari 7.000 kecamatan – 7.000  sekian ratus. Ranting, karena kita harus punya ranting di desa seluruh Indonesia ini, itu lebih dari 81.000 desa di seluruh Indonesia. Ini skala yang besar sekali.


Nah, menghadapi skala urusan yang begini besar ini tidak mungkin – sekali lagi, tidak mungkin – kita bisa mengelola dengan baik kecuali melalui platform digital, ini satu-satunya cara. Ini dharuri, sudah. Kalau kita gagal melakukan ini, risikonya adalah disfungsi organisasi. Kalau organisasi disfungsi, tanggung jawabnya juga disfungsi. Itu berarti organisasi tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya. Kalau organisasi tidak bisa menjalan tanggung jawab, berarti pengurusnya – yang jadi pengurus itu – juga tidak becus.


Tanggung jawab pengurus NU

Masalahnya, persoalannya buat kita semua ini, yang jadi pengurus semua ini, ini semua itu nanti ditanyakan di yaumil hisab. Itu masalah kita, dan kita sudah terlanjur baiat, baya’tu, sudah sudah baya’tu, sudah baiat semua. Kalau tidak ada pertanyaan di yaumil hisab, kita bisa lebih santai. Kalau perkumpulan-perkumpulan yang cuma hahahehe mungkin enggak ada hisabnya, mungkin. Tapi NU ini jelas, semuanya didasarkan, kita melakukan semua ini karena iman, kita berbaiat karena iman, dan kita menjalankan tugas dalam kerangka iman, memenuhi apa yang wajib. Wajib itu kalau dalam syariat: kalau dilakukan dapat pahala, kalau ditinggalkan dosa. Karena kita sudah terlanjur mau jadi pengurus, mau dibaiat, maka semua ini menjadi wajib.


Jadi pengurus (NU) itu tidak wajib. Kalau teman-teman kemarin-kemarin menolak, “Enggak mau saya,” itu enggak dosa, sebetulnya, karena enggak wajib jadi pengurus NU itu. Tapi kalau sudah mau, ini jadi kewajiban pekerjaan, tanggung jawab ini semua jadi kewajiban. Ini beban kita semua. Karena ini merupakan yang bukan hanya tanggungan dunia, tapi juga tanggungan akhirat, kita tidak punya pilihan.


Makanya saya juga begitu kemarin, saya bilang: “Saya sudah pamitan dablek 5 tahun,” misalnya itu. Itu maksud saya, karena saya harus mendahulukan pertimbangan tentang tanggung jawab yaumil hisab itu. Kalau tanggung jawab persepsi masyarakat, misalnya, itu sudahlah, biar saja. Kalau tanggung jawab tentang citra di tengah masyarakat itu, itu bukan hisab yang terlalu penting. Yang bahaya itu hisab yang nanti itu, yaumul hisab, bahaya. Maka saya ajak kepada teman-teman semuanya untuk secara sungguh-sungguh.


Semua aplikasi terintegrasi NU Online

Visinya itu nanti – saya sudah sampaikan tadi kepada Pak Amin Said Husni dan tim digitalnya – bahwa semua ini harus dikonsolidasikan menjadi satu platform raksasa. Ini bukan hanya super app, nantinya, tapi menjadi giant app. Sekarang ini masih terpisah jadi satu aplikasi tersendiri, Digdaya Persuratan ini, tapi saya sudah minta kepada tim digital, ini harus segera diproses untuk diintegrasikan ke platform NU Online. Jadi pengurus nanti enggak harus download aplikasi Digdaya Persuratan, download NU Online sudah ada di situ. Cuma siapa boleh ngakses siapa enggak, itu kan bisa diatur, otorisasinya seperti apa, supaya bisa ngakses.


Jadi di NU Online itu nanti ada fitur-fitur yang tidak bisa diakses secara umum, tapi hanya authorized persons yang bisa mengakses. Tapi semuanya harus di situ, supaya enggak menuh-menuhin HP. Karena nanti ini akan ada banyak, macam-macam. Sekarang persuratan, besok nanti ada platform tentang kegiatan-kegiatan, pelaporan program, macam-macam. Itu semua harus integrated dalam satu platform raksasa.


Saya minta ini segera diproses dengan NU Online. Termasuk TVNU itu nanti harus ada, supaya orang bisa akses dari NU Online. Semuanya pokoknya harus masuk jadi satu platform di NU Online ini, supaya NU Online ini jadi universal, pokoknya segala yang online tentang NU ada di NU Online, begitu maksudnya. Kalau enggak ada di situ berarti enggak online. Nanti silakan diatur, dibicarakan teknisnya bagaimana, dan saya minta ini dilakukan dalam waktu yang relatif cepat.


Ini tadi kita sudah resmikan dengan, itu tadi namanya tumpeng juga? Tadi sempat kita rasan: tumpeng kok enggak lancip (runcing)? Mungkin penjelasannya karena supervisor digitalnya sudah tokoh sepuh, jadi sudah tidak lancip lagi, jadi makanya tumpengnya juga tidak lancip.


Kita sudah resmikan, dan tadi sudah tanya: ini sampai ke cabang kapan deadline-nya, dan tim digital mengatakan Desember sudah bisa sampai ke cabang, semuanya. Jadi kalau sampai Desember belum nyampai ke cabang, awas nanti! Pokoknya harus dengan segera sampai ke cabang, soal platform persuratan ini.


Tapi pada saat yang sama, secara simultan, kebutuhan-kebutuhan platform lain juga harus segera dikerjakan. Platform program, platform untuk konsolidasi data-data, bukan hanya soal data kepengurusan, tapi juga data tentang layanan-layanan yang sudah ada di lingkungan NU, seperti layanan pendidikan, pesantren, sekolah madrasah, perguruan tinggi, layanan kesehatan, rumah sakit-rumah sakit, layanan apa pun di dalam NU ini, semua harus ada platform digital untuk basis konsolidasinya, dan ini harus dikerjakan dengan waktu yang tidak terlalu lama. Saya minta semuanya selesai di tahun 2025 ini. Tim digital, sanggup? (“sanggup”). Ya sudah, sanggup ini, dicatat Raqib - Atit ini, 2025 semua platform digital selesai.


Saya tahu ini membutuhkan investasi yang cukup besar. Tapi saya sudah tanting-tantingan (membicarakan) juga, sudah bicara dengan Bendahara Umum, "Siap enggak investasi sebesar ini? " Dia nyatakan siap. Alhamdulillah.


Mari kita kerjakan semua ini bukan demi apa-apa, (tapi) supaya kita nanti enggak dikeplaki malaikat waktu dihisab itu, supaya kita ini selamat, karena sudah terlanjur mau jadi pengurus. Kalau enggak mau, silakan mundur sekarang, supaya enggak dihisab nanti. Silakan mundur saja, kita cari yang lain yang mau. Ini bukan soal apa-apa, ini soal kewajiban.


Demikian, Bapak Ibu, Saudara-saudara sekalian.

Tidak ada yang kita harap selain pertolongan, bimbingan, perlindungan, kekuatan dari Allah subhanahu wa ta'ala, semoga kita bisa menjalankan kewajiban-kewajiban kita dengan sebaik-baiknya.


hawla walā quwwata illā billāhilaliyil  'adzīm.

Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum wa rahmatullāh wa barakātuh.