Nasional

Pilkada 2024, Pakar Sebut Gerakan Golput adalah Ekspresi Politik yang Tak Boleh Dikriminalisasi

Selasa, 17 September 2024 | 22:00 WIB

Pilkada 2024, Pakar Sebut Gerakan Golput adalah Ekspresi Politik yang Tak Boleh Dikriminalisasi

Ilustrasi Golput. (Foto: dok. NU Online Jatim)

Jakarta, NU Online

Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni mengungkapkan hukum gerakan golongan putih (golput) atau orang memilih untuk tidak memilih calon saat pencoblosan dalam Pemilu, termasuk Pilkada 2024.


Ia menjelaskan bahwa selama Pasal 182 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait perbuatan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih tidak dilakukan, maka golput diperbolehkan.


"Gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi. Memilih atau tidak memilih adalah kehendak bebas dari setiap warga negara sepanjang dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman yang otentik atas setiap konsekuensinya," kata Titi, berdasarkan keterangan yang diterima NU Online, Selasa (17/9/2024).


Dalam pasal itu, Titi menjelaskan bahwa jika seseorang bertindak untuk menghalangi hak pemilih lain dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan.


"Denda paling sedikit Rp24.000.000,00  dan paling banyak Rp72.000.000,00," jelasnya.


Dalam pasal yang sama, Titi mengungkapkan bahwa pemidanaan terhadap gerakan golput dapat terjadi jika gerakan tersebut didasari dengan politik uang dengan menjanjikan barang sebagai imbalan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih.


"Sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Ayat (2) pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)," katanya.


Secara tegas, Titi mengatakan bahwa Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebut, baik gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.


"Maka menurut Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (dinyatakan) pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali," jelasnya.


Lebih lanjut, Titi menilai bahwa gerakan golput sudah pasti menjadi tantangan bagi partai politik, paslon, dan penyelenggara pemilihan dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sehingga perlu untuk direspon secara substantif melalui diskursus gagasan dan program yang kritis.


"Serta memastikan hadirnya pemilihan yang bukan hanya periodik tapi juga murni dan diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil," terangnya.