Nasional

Rentetan Putusan NU terhadap Koruptor: dari Tidak Dishalati, Pengembalian Harta hingga Hukuman Mati

Selasa, 23 Agustus 2022 | 18:00 WIB

Rentetan Putusan NU terhadap Koruptor: dari Tidak Dishalati, Pengembalian Harta hingga Hukuman Mati

Ilustrasi koruptor dan korupsi. (Foto: Antara)

Jakarta, NU Online

Tindak pidana korupsi di Indonesia tak pernah berhenti dari perbincangan publik. Setiap tahun atau bahkan saban pekan, selalu saja ada terdakwa baru kasus korupsi. Tak jarang, perbuatan para koruptor itu membuat negara mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. 


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai perkumpulan keagamaan dan kemasyarakatan memiliki fokus khusus pada tindak pidana korupsi ini. Pada forum-forum permusyawaratan nasional, baik Muktamar maupun Munas, para kiai NU tak pernah luput dari pembahasan mengenai korupsi. Respons NU terhadap korupsi pun dirumuskan menjadi sebuah keputusan resmi organisasi. 


Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi (2017: 111) disebutkan bahwa respons NU terhadap korupsi pertama kali dinyatakan pada Muktamar Ke-30 di Lirboyo, Jawa Timur, pada 1999. 


Sejak itu, pada setiap forum permusyawaratan, keputusan NU tak pernah luput dari pandangan mengenai korupsi. Berikut catatan perjalanan NU mengenai respons terhadap korupsi dari masa ke masa, sejak Muktamar di Lirboyo hingga Lampung. 


Muktamar ke-30 NU di Lirboyo 1999

Ketika itu, terdapat beberapa isu yang dibahas. Di antaranya soal status uang negara, acuan moral untuk menegakkan keadilan dan mencegah penyalahgunaan wewenang atau korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).  


Pada forum ini, diputuskan bahwa uang negara pada hakikatnya adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pemerintah atau negara, bukan untuk penguasa, melainkan untuk di-tasharruf-kan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apa pun. 


Selain itu, diputuskan juga bahwa setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di dunia). 


Munas NU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 2002

Di forum ini, para kiai NU membahas isu tentang utang negara, hukuman bagi koruptor, serta politik uang dan hibah kepada pejabat. Dari pembahasan ini, dihasilkan setidaknya lima putusan penting. 


Pertama, utang negara yang dikorup oleh para pejabat dan kroninya, negara harus membayarnya dengan dana yang ditarik dari koruptor. Kedua, jika koruptor dari pejabat negara meninggal dunia maka para ulama sebagai pewaris Nabi hendaknya meneladani Rasulullah untuk tidak menyalati mayit koruptor tersebut. 


Ketiga, politik uang dihukumi suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah, baik yang memberi (rasyi) atau pun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raisy). Keempat, hibah yang diterima pejabat dapat mengandung makna suap (risywah), bisa juga bermakna korupsi (ghulul). Kelima, status uang atau benda hibah/hadiah yang diterima pejabat harus diambil oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. 


Muktamar ke-31 NU di Asrama Haji Donohudan Solo 2004

Pembahasan pada forum ini adalah tentang penyuapan dalam penerimaan pegawai negeri sipil (PNS). Diputuskan, pemberian sesuatu untuk menjadi PNS dan semacamnya adalah suap (risywah) dan hukumnya haram. Kemudian, gaji PNS yang penerimaannya melalui suap hukumya haram. 


Munas Alim Ulama NU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya 2006

Asas pembuktian terbalik, menjadi salah satu isu yang dibahas dalam forum ini. Lalu diputuskan bahwa hukum Islam dapat menerima asas pembuktian terbalik dalam kedudukan sebagai qarinah (indikasi). 


Muktamar ke-32 NU di Asrama Haji Sudiang Makassar 2010

Isu yang dibahas adalah hukum sadap telepon. Dalam hal ini, para kiai menghukumi sadap telepon sebagai wajib (jika tidak ada cara lain) untuk kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan ada dugaan kuat atas terjadinya kemaksiatan. 


Munas NU di Pesantren Kempek Cirebon 2012

Terdapat beberapa isu yang dibahas. Di antaranya hukuman mati bagi koruptor, pengembalian harta hasil korupsi, pemeriksaan kekayaan koruptor yang meninggal dunia, larangan pencalonan jabatan publik bagi koruptor, risywah politik, dan pajak yang dikorupsi. Dari isu-isu ini, terdapat delapan poin keputusan yang dihasilkan. 


Pertama, apabila koruptor tidak jera dengan berbagai hukuman maka boleh diterapkan hukuman mati. Kedua, seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke negara meskipun pelaku telah menjalani hukuman. 


Ketiga, memeriksa kekayaan yang diduga hasil korupsi hukumnya wajib meskipun tersangka pelaku telah meninggal dunia. Apabila terbukti hasil korupsi, maka harta wajib dikembalikan kepada negara dan tidak boleh diwariskan. 


Keempat, orang yang terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik (urusan rakyat).

 

Kelima, pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu maka zakat dan sedekah tidak sah dan termasuk risywah (suap). 


Keenam, pemberian kepada calon pemilih atas nama transport, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan pekerjaan agar penerima memilih calon tertentu, tidak sah, batal, dan termasuk suap. Ketujuh, pemberian yang dimaksudkan untuk suap oleh pemberi, tetapi tidak dinyatakan secara lisan agar penerima memilih calon tertentu, hukumnya haram. 


Kedelapan, terjadinya banyak penyelewengan atau penyalahgunaan pajak seperti dikorupsi dan lain-lainnya, tidak menggugurkan kewajiban bayar pajak. Jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantasnya atau tidak menggunakan pajak untuk kesejahteraan rakyat, maka pemerintah telah kehilangan legitimasi keagamaan untuk memungut pajak dan kewajiban membayar pajak bagi rakyat ditinjau kembali. 


Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015

Isu-isu yang dibahas adalah advokat untuk koruptor, tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan luar (extraordinary crime) biasa terhadap kemanusiaan yang menimbulkan mudharat (keburukan) dalam jangka panjang. Kemudian sanksi tegas bagi koruptor berupa sanksi moral, sosial, pemiskinan, takzir dan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. 


Selain itu, ada pula pembahasan tentang memperberat hukuman bagi aparat penegak hukum yang korup, mendorong negara memperkuat semua pihak dalam melaksanakan jihad melawan korupsi, serta mendorong negara untuk menciptakan adanya kepastian hukum. 


Dari berbagai isu yang dibahas itu, forum ini menghasilkan tujuh poin keputusan. Pertama, hukum honor advokat yang membela klien terduga korupsi, apabila ia yakin dan punya dugaan kuat bahwa upayanya adalah untuk menegakkan keadilan maka hukum honornya halal. Apabila ia yakin atau punya dugaan bahwa upayanya untuk melawan keadilan maka hukum honornya haram. 


Kedua, NU harus memperkuat perjuangan antikorupsi untuk melindungi ulama, jamaah dan organisasinya; melindungi hak rakyat dari kezaliman koruptor, dan mendidik para calon pejabat untuk tidak berdamai dengan korupsi dan pencucian uang. 


Ketiga, pemberlakuan hukuman mati sebagai hukuman maksimal mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, penyelenggara negara, terutama aparat penegak hukum, yang terlibat tindak pidana korupsi harus diperberat hukumannya. 


Kelima, NU tegas menolak kriminalisasi terhadap seluruh pegiat antikorupsi oleh aparat penegak hukum. Aparat harus dapat menegakkan keadilan dan tidak berlaku sewenang-wenang.


Keenam, penegak hukum yang melakukan penanganan terhadap kasus hukum, termasuk kasus korupsi dan pencucian uang harus ditangani secara tepat, cepat berkeadilan dan mempunyai kepastian hukum. Ketujuh, alim ulama serta seluruh pemuka agama dan tokoh masyarakat wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui pendekatan nilai-nilai dan perilaku antikorupsi. 


Muktamar Ke-34 NU di Lampung 2021

Di forum ini, NU menyatakan bahwa masyarakat perlu menguatkan dan mendesak lembaga-lembaga penegak hukum untuk lebih aktif dan tegas terhadap pemberantasan korupsi dan gerakan antikorupsi, serta mendesak kepemimpinan nasional agar mengambil tanggung jawab dan kendali kepemimpinan dengan sungguh-sungguh dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad