Nasional

SAS Institute Nilai Perpres RAN PE Strategis Cegah Ekstremisme dan Terorisme

Rabu, 16 Juni 2021 | 12:00 WIB

SAS Institute Nilai Perpres RAN PE Strategis Cegah Ekstremisme dan Terorisme

Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute M Imdadun Rahmat. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 resmi diluncurkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia KH Ma’ruf Amin pada hari ini, Rabu (16/6).

 

Terkait dengan hal ini, Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute M Imdadun Rahmat menilai bahwa RAN PE ini sangat strategis untuk memandu kerja bersama yang terintegrasi baik antar institusi pemerintah, maupun keterlibatan unsur masyarakat dalam mencegah kekerasan ekstrem dan terorisme.


“Dengan adanya RAN PE, tidak ada lagi alasan ketiadaan payung hukum yang menaungi program pemerintah untuk melakukan kontrol dan pembinaan terhadap paham-paham yang berkembang di masyarakat,” katanya melalui siaran pers yang diterima NU Online pada Rabu (16/6).


Substansi RAN PE ini sangat relevan dengan tantangan bangsa saat ini, yakni membangun ketahanan (resilience) bangsa dari ancaman perpecahan, konflik dan perang saudara. Belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain yang saat ini mengalami nasib sebagai negara gagal (fail state) akibat krisis politik, konflik internal, dan perang saudara, bahwa semua itu disebabkan oleh menyebarnya paham-paham ekstrem dalam kelompok-kelompok masyarakat.


“Paham ekstrem ini dipakai untuk melegitimasi kebencian, kekerasan, persekusi, penyerangan, penghancuran, kekejaman, pembunuhan, perang dan terorisme,” katanya.


Lebih lanjut, Imdad menyebut bahwa paham ekstrem telah menyebabkan mengentalnya identitas kelompok berbungkus agama yang muncul dalam momentum-momentum politik terutama pilkada dan pemilihan presiden. Ekspresi kebencian, narasi adu domba, segregasi sosial berdasarkan paham politik, serta aksi-aksi kekerasan yang mengikutinya menjadi peristiwa sehari-hari. Penyebaran paham ekstrem, terutama ajaran kebencian (theology of hate), telah menumbuhkan budaya kekerasan di tengah masyarakat. Terlebih hal tersebut menyebar di media sosial.


Pemerintah sudah terlalu lama pasif dalam hal ini sehingga persebarannya tidak bisa dibendung. Pemerintah tidak cepat merespon berbagai gejalanya seperti menyebarnya intoleransi, meluasnya penolakan terhadap pilar-pilar kebangsaan, pembiaran kampanye paham-paham yang dimaksudkan sebagai pengganti sistem sosial, politik, dan kenegaraan.


Saat ini, pemerintah seperti baru sadar bahwa sikap pasif terhadap fenomena menyebarnya ekstremisme telah berkembang menjadi badai politik identitas yang mengancam integrasi bangsa. Perpecahan dan segregasi masyarakat bipolar yang terjadi di tahun 2017-2019 seperti menyentak kesadaran elit politik dan pemerintah.


Memang, jelasnya, ada penegakan hukum terhadap tindakan intoleransi kekerasan dan terorisme. Polisi menindak pelaku kekerasan yang melanggar pidana. Tetapi, hal tersebut belum berhasil menyentuh organisasi pengobar kekerasan.


Penangkapan para pelaku terorisme yang dilakukan Densus 88 Antiteror dan Pencegahan oleh BNPT sudah cukup baik. Tetapi tidak kunjung berhasil menggulung sel-sel dan jaringannya. Penegakan hukum semata-mata ternyata tidak efektif karena akar masalahnya tidak tersentuh, yakni ideologi dan paham itu sendiri beserta organisasi yang memproduksi, mereproduksi, dan menyebarkannya.


Oleh karena itu, kehadiran RAN PE ini menjadi wujud ketegasan pemerintah dalam mengatasi problematika tersebut. Sebab, RAN PE ini mengamanatkan kesiapsiagaan nasional untuk menangkal penyebaran paham ekstremisme.


Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat agar imun dari pengaruh ideologi radikal kekerasan perlu dimasifikasi. Akselerasi kontra radikalisasi berupa pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan yang moderat, pendidikan kewirausahaan bagi kelompok rentan harus diintegrasikan dalam program-program pemerintah.


Agenda deradikalisasi, baik assessmen, rehabilitasi, reedukasi, maupun reintegrasi sosial juga harus terus dimasifkan. Agenda peningkatan kemampuan aparatur untuk membendung penyebaran virus ideologi ekstremisme-terorisme, menangkal serangan teror, peningkatan sarana-prasarana bagi lembaga-lembaga yang berwenang perlu segera dilakukan.


“Demikian pula agenda pengembangan kajian terorisme dan pemetaan wilayah yang rentan penyebaran ideologi teror, basis rekrutmen jaringan teror, dan target-target serangan teror,” katanya.


Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu juga menyampaikan bahwa RAN PE ini idealnya menandai tekad nasional untuk memberantas paham-paham ekstremisme yang menghalalkan kekerasan dan teror. Peluncuran ini seyogyanya tidak hanya menjadi seremonial belaka tetapi juga kerja nyata oleh kementerian dan lembaga yang dimandati untuk menjalankannya.


“Tekad ini tidak hanya dimiliki oleh pemerintah tetapi juga oleh rakyat, tidak hanya elit tetapi juga masyarakat lapis bawah,” pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin