Nasional

Soal Tawadhu dalam Berdakwah di Media Sosial

Jumat, 7 Agustus 2020 | 11:00 WIB

Soal Tawadhu dalam Berdakwah di Media Sosial

Jika malu dan tawadhu menampilkan wajah di depan publik bisa disiasati dengan membuat podcast.

Jakarta, NU Online

Dakwah di media sosial harus mengedepankan percaya diri, tidak ada kamus merendah atau bermaksud tawadhu di dalamnya. Hal tersebut disampaikan oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar saat menjadi narasumber pada Pelatihan Dai Milenial yang digelar oleh NU Online dan INFID pada Kamis (6/8).


Jika malu dan tawadhu menampilkan wajah di depan publik, katanya, bisa disiasati dengan membuat podcast. Menurutnya, podcast akan menjadi media yang paling digandrungi oleh masyarakat dalam dua tahun ke depan. Karenanya, hal ini perlu disiapkan sedari dini mula.


Kepercayaan terhadap diri juga bisa ditunjukkan dengan pengakuan. Ia mencontohkan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nursalim.

 

Dalam beberapa penampilannya, kiai yang akrab disapa Gus Baha itu kerap mengimplementasikan tawadhu dengan memberikan pengakuan sebagai santrinya KH Maimoen Zubair, hafal Al-Qur’an, berkali-kali khatam membaca kitab-kitab yang disebutkannya.


“Itu bukan kesombongan. Itu sangat penting untuk mempengaruhi masyarakat,” katanya.


Hal demikian ini, jelasnya, diterapkan betul oleh para komedian tunggal. Setiap kali naik ke atas panggung, mereka pasti akan mengawalinya dengan menyebut nama dan identitasnya. Menurutnya, itu tawadhu dalam bentuk lain yang merupakan bagian dari sebuah cara membangun kepercayaan diri.


Sebaliknya, Komedian Tunggal Sakdiyah Ma’ruf mengatakan bahwa kerendahan hati atau tawadhu yang dimiliki dan sudah mentradisi di kalangan para santri bisa saja digali sebagai sebuah potensi. “Tawadhu harus bisa digali sebagai kekuatan. Itu potensi kita,” katanya.


Sakdiyah mempersilakan kepada para dai yang sudah memiliki branding yang kuat untuk mengeluarkan kepercayaan dirinya secara penuh. “Bagi yang merasa memiliki branding yang kuat, please do! Kita juga butuh konten demikian,” katanya.


Namun, bagi dai yang masih memiliki keraguan, baginya, tidak masalah. Bahkan, ia meminta agar tradisi rendah hati atau tawadhu bisa dimunculkan sebagai sebuah tawaran. Menurutnya, jarang kiai mengatakan pendapatnya pribadi, biasanya mengutip guru-gurunya. Hal demikian ini paling selamat.


“Tampilkan apa yang menjadi tradisi sebagai tawaran juga di media sosial. Apa yang baru dan gak pernah ditampilkan itu bisa viral. Ngutip kiai itu paling selamet,” ujar komedian yang menamatkan studi masternya di Amerika Serikat itu.


Dai yang tidak ingin seperti menampilkan dirinya sendiri karena merasa mengkhianati kebiasaan diri itu silakan. Hal tersebut bisa menjadi khazanah dakwah Islam Nusantara, sebuah tawaran metode dakwahnya. “Itu sangat bisa dieksplor,” katanya.


Adapun soal khawatir salah, menurut Habib Husein dan Sakdiyah, sudah tidak ada obatnya. Mau tidak mau, hal tersebut harus dilawan.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad