Nasional

Suluk Maleman: Mencari Lailatul Qadar yang Mungkin Setiap Saat

Rabu, 24 April 2024 | 13:00 WIB

Suluk Maleman: Mencari Lailatul Qadar yang Mungkin Setiap Saat

Anis Sholeh Ba’asyin dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Mencari Lailatul Qadar Indonesia’ yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (20/4) lalu. (Foto: Dok. Suluk Maleman)

Pati, NU Online
Meski bulan suci Ramadhan telah berlalu, namun banyak hal masih bisa diambil sebagai pelajaran darinya. Salah satunya adalah momentum lailatul qadar.


Dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke 148 yang mengangkat tema Mencari Lailatul Qadar Indonesia, Anis Sholeh Ba'asyin mengingatkan bahwa lailatul qadar harusnya menjadi awal untuk menemukan dan mengaktualisasikan potensi sejati, baik bagi diri sendiri mau pun bangsa Indonesia. 


Penggagas Suluk Maleman tersebut mengawali pemaparannya dengan mengutip ungkapan yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali, bahwa pada dasarnya lailatul qadar bisa ditemukan setiap saat.


Anis kemudian menjelaskan bahwa sebagaimana terlihat dalam banyak hadits, momentum lailatul qadar muncul sebagai hasil dari dua situasi secara sekaligus. 


Pertama, situasi puncak pengelolaan diri secara sungguh-sungguh, atau kalau dalam bulan Ramadhan adalah di sepertiga akhirnya.


Kedua, munculnya kesadaran tauhid secara utuh, di mana dualitas yang merupakan wajah eksternal dunia menghilang. Dalam momentum Ramadhan, ini disimbolkan dengan tanggal-tanggal ganjil.


Bila dua situasi ini bisa terus diraih dan dipertahankan, maka kemungkinan hadirnya lailatul qadar juga terbuka setiap saat.


Untuk menjelaskan hal tersebut, Anis lantas mengutip surat Al-Qashash ayat 71 dan 72. Menurut Anis, kedua ayat ini secara berurutan menjelaskan posisi pengetahuan terkait situasi malam dan siang.


“Di ayat 71 yang berbicara tentang malam, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak mendengar’? Sementara di ayat 72 yang berbicara tentang siang, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak melihat?”


Di saat malam, yang selalu identik dengan kegelapan mutlak, satu-satunya sumber informasi adalah lewat pendengaran. Artinya manusia hanya mampu menangkap informasi dari luar untuk mengenali diri dan lingkungannya.


Sementara di saat siang, Al-Qur’an memakai diksi bashirah, bukan nadhirah. Nadhirah adalah mata fisik, sementara bashirah adalah mata hati. Yang menarik, demikian lanjut Anis, bashirah ini secara etimologis punya kesamaan arti dengan makna asli kosakata intellectus dalam bahasa Latin.


Artinya, bahkan saat berada dalam situasi terang, manusia tak bisa begitu saja mengandalkan pandangan lahirnya atas apa yang terlihat untuk memahaminya; karena untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat dibutuhkan bashirah, atau mata hati.


Situasi malam adalah situasi mutlak manusia atas diri dan semesta lingkungannya. Maka posisi yang bisa diambil hanya mendengar informasi yang ada untuk mengenali diri dan semesta lingkungannya. Dan dalam hierarki informasi yang ada, informasi wahyu adalah yang paling tinggi dan presisi nilainya.


Berkait dengan informasi dalam kegelapan, Anis mengutip surat Al-Baqarah ayat 17 sampai 20. Menurutnya ayat ini berbicara tentang informasi atau pengetahuan yang identik sebagai cahaya penuntun perjalanan hidup manusia.


Di ayat 17 dan 18, manusia digambarkan mengembangkan dan mengandalkan pengetahuannya secara fragmentatif dan parsial. Pengetahuan semacam ini pada batas tertentu pasti mengalami kebuntuan, sehingga tak mampu dipakai untuk memahami diri dan semesta lingkungannya. Atau dalam ungkapan Al-Qur’an, ‘Allah memadamkan cahayanya”.


Sementara dalam ayat 19 dan 20, Al-Qur’an tampaknya berbicara tentang pengetahuan batin, semacam kesadaran dari bashirah yang muncul selintas-selintas dalam situasi batas tertentu. Dalam Al-Qur’an digambarkan muncul dari ketakutan yang amat sangat. Tapi kesadaran ini tidak permanen. Mereka hanya berjalan saat ada cahaya dari halilintar di langit, setelah itu berhenti kembali.


“Sementara itu, dari sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa salah satu posisi manusia adalah sebagai pengamat untuk memahami diri dan semesta. Menurut Al-Qur’an, tiga elemen penting dalam posisi tersebut adalah pendengaran, penglihatan (bashirah) dan qulb atau hati untuk memahami,” demikian lanjutnya.


Tanpa secara jernih memaksimalkan ketiga elemen tersebut, maka posisi manusia sama dengan ternak, bahkan lebih buruk lagi. Puasa pada dasarnya adalah upaya untuk memaksimalkan ketiga elemen tersebut.


Puasa memosisikan kita dari untuk tak dikendalikan oleh perut dan syahwat. Seperti kita tahu, demikian jelas Anis, catatan sejarah menunjukkan bahwa pembangunan sebuah peradaban acap didikte dan dikendalikan oleh kepentingan perut dan syahwat.  


"Lebih-lebih di masa kini, di mana modernitas memanfaatkan sedemikian rupa kedua unsur tersebut sebagai dasarnya. Sepanjang hidup kita dikondisikan hanya untuk memenuhi kombinasi urusan perut dan syahwat. Urusan makan dan bersenang-senang menjadi topik yang tak ada habisnya," tambahnya.


Dia mencontohkan, saat ini tak sedikit yang menjadi tak percaya diri hanya karena rumahnya tak bagus atau tak punya mobil maupun sebaliknya. Padahal hal itu tak serta merta membuat bahagia.


"Zaman dulu ketika tidak punya mobil apakah mereka tidak bahagia?" sentilnya.


Hal itu secara kasat mata menunjukkan bahwa manusia dikendalikan sesuatu di luar dirinya sendiri. Maka hanya kekuatan pengendalian dirilah yang bisa menuntun manusia untuk memilah mana yang benar-benar dibutuhkan ataupun tidak.


Kemampuan mengendalikan perut dan syahwat, pada tahap lanjut akan menjernihkan hati, dan kejernihan hati akan berimbas pada kejernihan pendengaran dan penglihatannya. Hati yang jernih inilah yang akan mampu menangkap dan memantulkan cahaya ilahiah di tengah kegelapan malam keberadaan manusia. Cahaya yang akan menuntunnya untuk merealisasikan kebenaran. Sangat mungkin itulah salah satu makna lailatul qadar.


"Di mana lewat cahaya dari Allah kita melihat posisi diri di tengah semesta, sekaligus mengaktivasi potensi-potensi yang sudah dititipkan kepada kita,” tambahnya.


Begitu pula bila hal ini diterapkan dalam konteks kebangsaan. Cahaya Allah akan menuntun kita untuk melihat posisi bangsa sekaligus kemampuan untuk mengaktivasi segenap potensi bangsa Indonesia.


"Kita punya banyak potensi, salah satunya yang bersifat fisik seperti kekayaan maritim dan pertanian misalnya. Hal itu tentu sangat potensial dikembangkan menjadi jauh lebih maksimal bila kita berhasil mengendalikan perut dan syahwat dan mengelolanya dengan kejernihan hati," imbuhnya.


Topik dalam Suluk Maleman yang digelar di rumah Adab Indonesia Mulia itu pun menjadi bahan renungan bagi ratusan peserta yang melihat secara langsung maupun lewat berbagai kanal media sosial. Musik koleksi Sampak GusUran juga tetap setiap meramaikan jalannya acara.