Nasional

Terkait RUU Penyiaran, Dewan Pers Sebut Ancam Demokrasi dan Profesionalisme Jurnalis

Selasa, 21 Mei 2024 | 23:35 WIB

Terkait RUU Penyiaran, Dewan Pers Sebut Ancam Demokrasi dan Profesionalisme Jurnalis

Logo Dewan Pers (Foto: Antaranews.com)

Jakarta, NU Online
Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro menanggapi wacana pelarangan penyajian eksklusif laporan jurnalisme investigasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pasal 50 B ayat 2 huruf (c). Menurutnya, RUU itu tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga mengancam esensi dan fungsi dasar dari jurnalisme itu sendiri. Selain itu, investigasi merupakan inti dari praktik jurnalistik yang berkualitas.


"Dalam pelajaran tentang jurnalistik, investigasi adalah sebuah core atau menempati posisi tertinggi. Meski tidak mudah menjalankannya, di situ ada agenda setting, ada insight, ada cover both side, ada analisa, dan sebagainya," katanya kepada NU Online, Selasa (21/5/2024).


Ia menjelaskan, banyak temuan hasil jurnalisme investigasi yang telah berhasil mengubah kebijakan pemerintah atau lembaga seperti yang ditunjukkan dalam film All the President's Men dan liputan Boston Globe yang mengguncang Vatikan.


Pelarangan jurnalisme investigasi, menurutnya, berarti menghilangkan fungsi kontrol media yang diatur dalam UU Pers Pasal 3 Ayat 1. Tindakan tersebut bertentangan dengan esensi demokrasi dan justru mematikan demokrasi itu sendiri karena pers adalah pilar keempat demokrasi.


"Kalau sebuah mahkota jurnalistik dihapuskan, itu adalah tindakan yang jahat karena itu pelanggaran terhadap undang-undang terutama UU40/1999 juga UU 45 tentang hak menyampaikan pendapat," jelas Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers periode 2022 – 2025 tersebut.


Selain itu, Sapto juga mengkhawatirkan dampak negatif dari pelarangan tersebut terhadap profesionalisme insan pers. Tanpa fungsi-fungsi jurnalisme investigasi, media akan kehilangan daya kritis dan tidak mampu memberikan informasi yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.


"Coba bayangkan kalau jurnalistik yang merupakan proses merencanakan, mencari, menulis, menganalisa, mewawancarai, sampai dengan menyiarkan itu hilang. Mematikan daya kritis. Tidak profesional. Tidak memberikan informasi yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan untuk publik. Ini sangat bahaya. Masyarakat sebagai penerima manfaat, dirugikan," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) periode 2012 - 2015.


Dengan tegas, Sapto menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana pelarangan tersebut dan mengajak seluruh insan pers serta masyarakat untuk mempertahankan fungsi jurnalistik investigatif demi menjaga demokrasi dan kepentingan publik.