Nasional

Tiga Kiat Sikapi Media Online Ekstrem Menurut Peneliti Kemenag

Jumat, 26 November 2021 | 20:30 WIB

Tiga Kiat Sikapi Media Online Ekstrem Menurut Peneliti Kemenag

Ilustrasi media daring. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Berdasarkan hasil jajak pendapat Balitbang Diklat Kementerian Agama RI melalui penelitian bertajuk Respons Tokoh Agama atas Konten Kontra Narasi Ektremisme di Media Online sepanjang 2021, menyebutkan bahwa ada tiga kiat dalam menyikapi media daring ekstrem.


Pertama, memblokir media tersebut. Kedua, menggalakkan literasi media. Ketiga, mendorong media online memperbanyak konten kontra narasi ektremisme. Namun, salah seorang peneliti Kemenag Abdul Jamil Wahab menyebutkan, pemblokiran media online ekstrem tidak akan memberi dampak yang sepenuhnya efektif.


“Sebab, terkadang ada beberapa situs yang sudah diblokir, namun masih bisa diakses. Dengan kata lain, hari ini ditutup, besok bisa muncul kembali,” kata Jamil, sapaan akrabnya.
 

 

Sementara literasi media, menurut dia, membutuhkan upaya panjang. Sebab, tidak mudah mengedukasi masyarakat. Hal itu tampak dari salah satu kebiasaan buruk masyarakat pengguna media sosial yang biasanya hanya membaca judul headline berita tanpa membaca isinya.


“Harapan terakhir ada pada media yang mengembangkan kontra narasi,” kata Jamil saat memaparkan hasil risetnya pada diskusi Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bimas Agama yang digelar di Jakarta, Jumat (26/11/2021).


Mengenai pengembangan kontra narasi ektremisme, Reslawati yang juga peneliti Balitbang menyebutkan, selain stakeholders kementerian masyarakat juga perlu ikut membanjiri konten-konten kontra narasi terorisme dan radikalisme di medsos.


Ia berpendapat, upaya men-take down akun-akun penyebar propaganda terorisme tidak akan maksimal jika medsos tidak dibanjiri narasi toleransi dari tokoh-tokoh agama yang memiliki ilmu dan pengaruh kuat di masyarakat.

 

“Kami memilih kota karena biasanya kantor-kantor pusat media online terletak di ibu kota dan penggunanya juga kebanyakan masyarakat perkotaan,” terang Resla, sapaan akrabnya.


Ia juga melaporkan bahwa dorongan tersebut telah dilakukan dengan mewawancarai setidaknya empat informan sebagai objek penelitian dengan kriteria sebagai berikut: ahli agama, memiliki konsern ke konten media daring, memiliki kemampuan membaca konten keagamaan pada platform digital.


Sependapat dengan para peneliti sebelumnya, Farhan Muntafa (LP3P Universitas Indonesia) menyebut modus baru propaganda dan perekrutan jaringan radikalisme serta terorisme melalui medsos dapat diatasi dengan pembuatan konten narasi.


Menurut dia, negara dan masyarakat harus menandingi propaganda dan perekrutan yang dilakukan oleh kelompok ini dengan menciptakan narasi kontra sehingga narasi yang disaksikan tidak bersifat tunggal.


Farhan menyarankan agar mudah diterima masyarakat narasi kontra dapat diolah ke dalam berbagai konten di medsos. Pasalnya, para pelaku propaganda itu juga memainkan narasi, elemen musik, bahkan nilai ideologi ke dalam video yang diunggah ke medsos.


“Dengan begitu tampilannya pun mudah untuk dianggap menarik bagi generasi muda yang aktif di medsos dan menggemari hal-hal modern, terlebih mereka yang masih menuju transisi masa dewasa,” ungkap pakar statistik UI itu.


Penelitian dilakukan di beberapa kota yang ada di Jawa dan Sumatera, dengan asumsi, masyarakat di kota-kota tersebut, banyak yang mengakses media daring. Adapun kota-kota tersebut adalah: Serang, Tangerang, Tangerang Selatan, Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang, Solo, Jogjakarta. Surabaya, Malang, Medan, Palembang, Padang, dan Lampung.


Kontribusi: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori