Opini

Akar Masalah yang Menghambat Kedaulatan Pangan Indonesia

Rabu, 8 Mei 2019 | 06:15 WIB

Oleh Muhammad Syamsudin

Dalam dua dasawarsa terakhir ini, pangan menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, sejak mulai dari wilayah dusun-dusun terpencil, sampai dengan wilayah perkotaannya. Topik ini tidak berhenti sebatas dalam perbincangan saja, melainkan juga telah menjadi aksi sosial dan menimbulkan gejolak. Tercatat, ada Mesir, Bolivia, Madagaskar, Haiti, Ethiopia, Pakistan, Kamerun, Burkima Faso, Senegal, Filipina, dan bahkan di negara kita tercinta ini, Indonesia. Latar belakangnya sederhana dan merupakan ranah klasik pembahasan, yakni menipisnya persediaan pangan dunia sehingga melahirkan spekulasi harga di tengah krisis lain naik turunnya harga minyak dunia yang menambah iklim ketidakpastian itu. 

Jumlah penduduk kelaparan dan kurang gizi terus meningkat di seluruh belahan bumi. Anak-anak dan perempuan menempati rating yang paling tinggi menjadi korban. Meskipun kaum laki-laki juga turut menjadi korban, tapi agaknya kaum perempuan justru memiliki pengalaman lain ekses yang berbeda. Dalam kondisi kurang pangan, dalam berbagai kasus penelitian ditemukan bahwa perempuan tetap mendapat kesempatan terakhir untuk makan dalam keluarga. Sebagai imbasnya, kebutuhan kalori perempuan per hari menjadi tidak tercukupi meskipun dalam taraf minimal. Karena peran perempuan adalah juga menempati peran reproduksi, kelaparan dan kurang gizi padanya secara tidak langsung akan memiliki dampak yang simultan terhadap generasi yang akan datang. Kekurangan gizi pada ibu hamil dan menyusui, dapat berpengaruh terhadap kesehatan dirinya, bayi yang dikandung dan konsumsi ASI pada bayi menjadi tidak optimal. Bayi yang lahir dari ibu yang kurang gizi dapat berakibat pada hambatan pertumbuhan si anak dan perkembangan otaknya. 

Melonjaknya harga pangan di pasaran global secara tidak langsung membawa ekses kepada Indonesia. Negara yang dulu dikenal sebagai negara agraris dan pernah mengekspor beras, kini sedang menghadapi krisis pangan. Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai presiden, pernah mendapat penghargaan dari organisasi pangan dunia FAO sebagai Bapak Pembangunan karena mampu mewujudkan swasembada beras. Namun kebanggaan ini tampaknya tidak berlangsung lama, karena dalam waktu kurang lebih hanya selang 3 dekade saja (24 tahun), gelar ini langsung lenyap bak ditelan bumi. Kemana larinya?

Indonesia kini sedang menghadapi krisis pangan seiring dengan naiknya harga BBM. Harga pangan di pasar dunia mulai beranjak naik sejak pertengahan tahun 1990-an. Tahun 2006 harga semakin melonjak secara fluktuatif pada kisaran 16% hingga 140% dibanding dekade sebelum 1990-an, terutama terhadap produk biji-bijian, seperti beras, gandum, jagung, dan lain-lain. Tidak hanya pada produk ini, produk perikanan dan perkebunan kelapa sawit juga turut mengalami lonjakan harga. 

Tahun 2006-2008 tercatat, lonjakan (fluktuasi) harga pangan itu berlangsung paling lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Harga beras di pasaran global tak stabil, berkisar antara 900-1000 dolar/ton yang diakibatkan permintaan beras yang melonjak naik sementara ketersediaan cadangan pangan sebagai wujud ketahanan pangan menurun hingga kurang lebih 3.5% atau sekitar 29.9 juta ton. 

Jika dianalisis lebih lanjut, penurunan yang terjadi kala itu adalah dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:

1. Negara-negara pengekspor beras kala itu, yaitu Vietnam dan Thailand, menghentikan pasokan berasnya ke pasaran dunia diakibatkan kebutuhan mencukupi ketahanan pangan negaranya sendiri. 

2. Naiknya kebutuhan bahan bakar biologi dan ramah lingkungan oleh  beberapa perusahaan dan industri negara maju, sebagai akibat regulasi lingkungan, membawa akibat digusurnya beberapa lahan yang dulu dipergunakan sebagai lahan pertanian menjadi lahan perkebunan industri, ekses dari upaya mencukupi kebutuhan bahan bakar tersebut (agrofuel).

3. Adanya dampak perubahan iklim global yang mengakibatkan beberapa belahan dunia dilanda kekeringan, seperti Australia dan India, bahkan Amerika dan Jepang, membawa ekses pada penurunan kapasitas produksi beras dan jumlah pasokan pangan dunia.

4. Kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai 135 dolar/barel (kala itu) turut menjadi penyumbang semakin mahalnya harga pangan tersebut ketika sampai di tangan konsumen kelas negara. 

Keempat situasi ini, secara tidak langsung telah memicu pada munculnya tindakan spekulatif di pasaran global, khususnya yang dilakukan oleh para investor pedagang besar. Tindakan tidak terpuji dari sejumlah netizen yang aktif dalam perdagangan Forex dan Binary juga menjadi satu bagian faktor penyebab munculnya tindakan spekulan pasar ini. 

Indonesia yang telah menjadi negara pengimpor beras sebelumnya (food net importer), hingga pertengahan tahun 1990-an, tak luput dari krisis ini. Persediaan pangan Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan dan harga beras di pasaran Internasional. Menurut data dari Kementerian Pertanian, dalam satu dasawarsa (10 tahun), yakni kisaran tahun 1996-2006, Indonesia kala itu sudah harus menghabiskan cadangan devisanya sebesar 14.7 Triliun per tahun, hanya untuk keperluan pengadaan beras melalui impor saja. 

Data ini apabila dikroscekkan dengan data dari organisasi perdagangan dunia (WTO) akan menemui kesinkronan. Tahun 2006 saja, Indonesia sudah menjadi pemasok beras "terbesar" di dunia, yaitu mencapai 4.8 juta ton per tahun dengan rata-rata angka impor sebesar 3.2 juta ton per tahun. Padahal kemampuan pasokan beras dunia ke pasar Internasional adalah 320 juta ton rata-rata per tahun. Ini berarti, Indonesia merupakan negara pemasok 10% cadangan beras dunia. Sedemikian besar Indonesia memiliki ketergantungan pada beras di luar negeri sehingga ketidakpastian supply dan harganya di pasaran dunia, dapat berpengaruh secara simultan terhadap masyarakat Indonesia. Apalagi, beras sudah menjadi tren budaya makan Indonesia. Jika belum makan nasi beras, orang Indonesia bisa bilang: "saya belum makan", meskipun sudah habis singkong sepiring. (Data FAO Symposium on Agriculture, Trade and Food Security, Geneva, 23-24 September 2019).

Mahalnya harga beras, secara linier dapat berakibat pada naiknya jumlah penderita kelaparan, busung lapar atau bahkan mati akibat kelaparan. Jumlah ibu hamil yang kurang gizi dan ibu menyusui, serta anak-anak yang menderita busung lapar, akan semakin bertambah. Kematian ibu hamil juga akan menjadi meningkat. Tercatat 307 per 100 ribu orang ibu hamil, meninggal akibat kekurangan gizi itu, 3 kali lebih besar dari Vietnam, per tahun 2008. Tak heran bila FAO, sebagai induk organisasi pangan dunia , sudah memperingatkan jauh-jauh hari (tahun 2001), bahwa setiap hari telah terjadi kematian sebanyak 24 ribu ibu hamil akibat kelaparan dan penyakit uang diakibatkan pangan. Ironis, bukan. Padahal ikrar setia FAO adalah memerangi jumlah kelaparan menjadi separuhnya pada tahun 2015. Namun, seiring dengan krisis pangan ini, angka itu dapat melonjak tajam mencapai prediksi 122 juta per tahun orang akan mati akibat kelaparan, di seluruh dunia. 

Sebenarnya, apa akar masalahnya? Jika ditelusuri, sebenarnya akar masalah utama selain 4 faktor yang sudah disebutkan di muka, ada faktor lain yang berhubungan dengan petani. Petani sebagai produsen pertanian telah mengalami defisit penghasilan. Antara biaya perawatan dengan hasil panen tidak berimbang, bahkan sering jatuh dalam kebangkrutan. Teknologi pengadaan beras, seperti ketersediaan bibit unggul, terlalu mahal bagi petani. Padahal sebagian besar dari petani ini berlahan sempit. Biaya ini masih ditambah dengan biaya lain seperti kebutuhan pestisida, menyewa traktor, menyewa diesel, biaya pemeliharaan dan panen, bahkan biaya pupuk, semuanya dirasa menjadi faktor utama menjadi penyebab, khususnya di tanah air. 

Kebanyakan petani mengeluh bahwa hasil panen hanya cukup untuk menutup kebutuhan utang saprodi dan gali lubang utang baru untuk masa tanam berikutnya. Kondisi ini seringkali terus berulang sehingga berakibat jeratan utang yang mencekik petani menjadi semakin berkepanjangan. Meskipun pemerintah sudah menetapkan Harga Pokok Pertanian (HPP) setiap masa panennya per tahun, namun dirasa hal itu belum mencukupi. Petani masih belum mendapatkan keuntungan karena nilai tukar petani yang sangat rendah karena berbagai hal:

1. Dalam banyak kasus, spekulan swastalah yang banyak membeli produk gabah itu dengan harga sudah ditetapkan di muka

2. Tingginya harga pupuk hingga mencapai 140 ribu per zak Urea pada kisaran tahun ini

3. Serbuan beras impor yang berada di luar kendali pemerintah dan masuk ke pasaran saat petani panen.

4. Harga produk pertanian lebih tinggi dari harga produk pertanian. Akibatnya, peningkatan kebutuhan penyesuaian gaya hidup petani menjadi tidak dapat dilakukan. Apalagi transfer pengetahuan dan teknologi. 

Sebenarnya kasus ini tidak hanya terhenti pada petani, tapi juga nelayan dan lain sebagainya. Sedemikian kompleksnya masalah, maka penting bagi pemerintah untuk membina dan merawat produsen dasar ini mulai dari andil langsung terhadap sumber pokok masalah. Berantas spekulan pasar! Jika perlu cabut izinnya! Wallâhu a'lam bish shawâb.


Penulis adalah Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah LBMNU PWNU Jatim.