Opini

KH Afifuddin Muhajir: Sanad Ilmu hingga Puisi ‘Bertendens’

Jumat, 12 Februari 2021 | 11:35 WIB

KH Afifuddin Muhajir: Sanad Ilmu hingga Puisi ‘Bertendens’

KH Afifuddin Muhajir. (Foto: dok. istimewa)

Oleh KH Abdul Moqsith Ghazali


KH Afifuddin Muhajir (1955-sekarang) adalah seorang kiai yang mempergunakan 40 tahun dari 65 tahun usianya untuk mengajar. Dalam kurun waktu tersebut, ia sudah membacakan puluhan kitab di depan para santri Pesantren Sukorejo, dari kitab-kitab ringan seperti Kitab Jurumiyah, Kailani, Risalatul Mu’awanah, Nasha’ih al-Diniyah, Matn Zubad, Riyadh al-Shalihin, hingga kitab-kitab kelas berat seperti Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahhab, Ghayatul Ushul, Syarah Jam’ul Jawami’.


Bahkan, khusus Syarah Jam’ul Jawami’ karya Jalauddin al-Mahalli, Kiai Afif telah mengajarkan kitab itu sejak Ma’had Aly berdiri tahun 1990 hingga sekarang (2021). Tentu ini pekerjaan akademik yang tak mudah, butuh stamina intelektual dan komitmen teguh untuk berbagi ilmu kepada yang membutuhkan. Saya tidak tahu, sudah berapa banyak santri menjadi “alim” sebab pengajian Kiai Afif ini.


Menghabiskan waktu dengan mengajar itu adalah kekuatan sekaligus sebagian kelemahan Kiai Afif. Kekuatan, karena tak semua orang bisa melakukannya. Bahkan, bagi sebagian orang, mengajar adalah aktivitas yang membosankan. Namun, karena passion dan hobi Kiai Afif adalah mengajar, maka aktivitas mengajar menjadi peristiwa yang menyenangkan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengajar dari pagi hingga malam hari. Sekiranya pagi hingga sore beliau mengajar di kelas, maka di malam hari, persisnya habis shalat isya’, selama berpuluh tahun Kiai Afif membacakan kitab-kitab secara bandongan di depan para santri.


Namun, itu juga titik lemahnya. Karena waktunya terkuras untuk mengajar, maka kesempatan menulis banyak kitab atau karya ilmiah lainnya menjadi berkurang. Sekiranya Kiai Afif menulis sejumlah buku dan artikel-artikel panjang lainnya, maka itu dilakukan di sela-sela kesibukannya mengajar. Dalam konteks itu, saya mengerti mengapa Kiai Afifuddin Muhajir tak seproduktif ulama Timur Tengah seperti Wahbah al-Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawi, Said Ramadhan al-Buthi atau sejumlah ulama Indonesia seperti Prof. M. Quraish Shihab, Hamka, Prof. Nurcholish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.


Mengajar memang memakan banyak waktu. Itu sebabnya orang sekelas al-Imam Abil Hasan al-Syadzili tak sempat melahirkan karya intelektual. Suatu waktu al-Syadzili ditanya soal ketiadakan karya intelektualnya itu. Al-Syadzili menjawab, “karyaku adalah murid-muridku” (kutubi ashhabi). Para muridnya kelak menyebarkan pikiran dan renungan sufistik al-Syadzili ke berbagai negeri. Sekarang, Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Abi al-Hasan al-Syadzili berkembang pesat di sejumlah negara tak terkecuali Indonesia. Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari dalam kitabnya Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah menjadikan tasawuf al-Ghazali dan al-Syadzili sebagai rujukan.


Sanad Ilmu


Tak seperti para pelajar Islam lain yang untuk memenuhi kualifikasi alim harus studi lama di Timur Tengah, maka Kiai Afif menyelesaikan studinya di Indonesia. Ia tak memiliki kemewahan waktu untuk belajar di Hijaz, satu kemewahan yang pernah dinikmati para kiai seperti Syaikhona Cholil Bangkalan (1820-1925 M.), KHR. Syamsul Arifin Situbondo (1841–1951 M.), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947), KH Wahab Hasbullah (1888-1971), KH Ali Maksum (1915-1989 M.), KH MA Sahal Mahfud (1937-2014 M.), dan KH Abdurrahman Wahid (1940-2009 M.). Kiai Afif tak juga seperti para kiai NU segenerasinya yang kuliah di Timur Tengah seperti KH Said Aqil Siroj (1953-sekarang), Sayyid Agil Husain al-Munawar (1955-sekarang), KH Husein Muhammad (1953-sekarang), KH Yusuf Muhammad (1952-2004 M.), dan lain-lain.


Studi di Indonesia pun Kiai Afif hanya di satu pesantren, yaitu PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo. Kiai Afif tak seperti kiai lain yang berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain lalu berakhir “mengaji” di Haramain. Itulah yang dilakukan misalnya oleh KH Bisri Syansuri (1886-1980 M.), KHR As’ad Syamsul Arifin (1897-1990 M.) KH Zaini Mun’im (1906-1976 M.), KH Bisri Mustofa (1914-1977), dan lain-lain. Kiai Bisri Syansuri misalnya pernah belajar di Kajen, lalu melanjutkan ke Sarang Rembang, Demangan Bangkalan Madura, Tebuireng Jombang, dan berakhir di Mekah.


Apakah Kiai Afif fenomena unik? Tentu tidak. Banyak kiai alim di lingkungan NU yang mondok di satu pesantren dan hanya belajar di Indonesia. Misalnya, KH Ilyas Ruchiat (Rais Am PBNU Periode 1992-1999) mondok di Pesantren Cipasung, KH Ma’ruf Amin (Rais Am PBNU Periode 2015-2020) mondok di Pesantren Tebuireng. Bahkan, beberapa rais ‘am dan pejabat rais ‘am PBNU lain seperti KH. Achmad Siddiq (Rais ‘Am PBNU Periode 1984-1991), KH Ali Yafi (Pejabat Rais Am PBNU 1991-1992) dan KH Miftahul Achyar (Pejabat Rais ‘Am PBNU 2019-sekarang) adalah para ulama yang menghabiskan seluruh jenjang pendidikannya di Indonesia. KH Abdul Karim Lirboyo (1856-1954 M.), KH Mahrus Ali Lirboyo (1906-1985), KH Abdul Hamid Pasuruan (1914-1982 M.), KH Sofyan Miftahul Arifin Situbondo (1912-2012 M.) juga hanya belajar di pesantren di Indonesia.


Namun, melihat kealiman Kiai Afif, maka banyak yang menduga bahwa Kiai Afif adalah lulusan lembaga pendidikan di Timur Tengah. Padahal, tidak. Beliau murni, sekali lagi, didikan PP. Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Di pesantren ini beliau menuntaskan seluruh jenjang studinya dari Madrasah Ibtida’iyah hingga Sarjana Strata Satu. Sempat menyelesaikan studi magisternya di Unisma Malang. Akan tetapi, Pesantren Sukorejo yang paling dominan membentuk intelektualitas Kiai Afif.


Sejauh yang bisa dipantau, ada dua kiai yang membentuk intelektualitas Kiai Afif. Dua kiai itu adalah KH Dhofir Munawwar (1923-1985)--menantu sekaligus sepupu KH. R. As’ad Syamsul Arifin dan KH Thoha (santri kesayangan KH. R. Syamsul Arifin). Kiai Afif mengaji sejumlah kitab kepada dua kiai tersebut. Kepada Kiai Dhofir, Kiai Afif mengaji kitab: Fathul Qarib, Matn al-Zubad, Kifayah al-Akhyar, al-Iqna’, Riyadh al-Shalihin, Tarikh Tasyri’ Hudhari Bik, Mukhtashar al-Syafi fi ‘Ilm al-‘Arudh, Tafsir Jalalain. Dengan ini, Kiai Afif tak pernah mengaji Ushul Fikih pada Kiai Dhofir. Dan kepada Kiai Thoha, Kiai Afif mengaji kitab Ibnu Aqil, Ta’limul Muta’allim, dan Tafsir al-Jalalain.


Melalui KH Dhofir Munawwar (1923-1985 M.), sanad keilmuan Kiai Afif tersambung ke para ulama di luar Pesantren Sukorejo. Karena Kiai Dhofir juga dikenal sebagai santri kelana. Beliau pernah mondok di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep asuhan KH Abdullah Sajjad, Pesantren Sidogiri Pasuruan asuhan KH Mas Abdul Jalil, Pesantren Lasem Rembang asuhan Kiai Ma’shum.


Dan melalui KHR As’ad Syamsul Arifin, sanad keilmuan Kiai Afif terhubung ke banyak jalur. Sebab, Kiai As’ad juga santri kelana. Beliau pernah mondok di Pesantren Banyuanyar Madura asuhan KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid, Pesantren Sidogiri dibawa asuhan KH Nawawi, Pesantren Buduran Panji Sidoarjo asuhan KH Khozin, Pesantren Bangkalan asuhan Syaikhona Muhammad Cholil, Pesantren Tebuireng asuhan KH Hasyim Asy’ari hingga studi di Mekah berguru kepada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki (1868-1934 M./ 1285-1934 H.), Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby (1909-1984 M./ 1327-1404 H.), Sayyid Hasan ibn Sa’id al-Yamani (1894-1971 M./ 1312-1391 H.), Syaikh Hasan ibn Muhammad al-Massyath (1899-1979 M. / 1317-1399 H.).


Bahkan, sanad keilmuan Kiai Afif melalui jalur ayahanda Kiai As’ad, yaitu KHR Syamsul Arifin lebih lebar lagi. Di samping pernah studi di beberapa pesantren-pesantren, Kiai Syamsul Arifin pernah studi lama di Mekah, yaitu 40 tahun. Beliau belajar di Pesantren Sidogiri asuhan Kiai Noer Nawawi ibn Kiai Noer Hatim, Pesantren Langitan Tuban asuhan Kiai Ahmad Sholeh, Pesantren Demangan Bangkalan asuhan Kiai Cholil Bangkalan.


Dan ketika di Makkah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten (1813-1897), Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyathi (1849-1892 M.) pengarang kitab I’anah al-Thalibin, Syaikh Said al-Yamani (ayah dari Syaikh Hasan ibn Sa’id Yamani dan kakek dari Ahmad Zaki Yamani), Habib Husain ibn Muhammad ibn Husain al-Habsyi (Mufti Syafi’iyyah di Mekah saat itu), Syaikh Marzuqi Mataram, Syaikh Muqri Sunda, dan Habib Ali ibn Ali al-Habsyi. Dengan ini, maka sanad keilmuan seluruh santri Pesantren Sukorejo termasuk sanad ilmu KH Afifuddin Muhajir insyaAllah akan tersambung (ittishal) ke Rasulullah SAW.

 

Puisi ‘Bertendens’


Dengan latar itu, sekalipun mondok hanya di Pesantren Sukorejo, Kiai Afif akhirnya tampil sebagai orang alim, yang kealimannya menurut KH Said Aqil Siroj disepakati oleh semua (mujma’ ‘alaih). Menurut KH Miftachul Akhyar, Kiai Afif adalah kiai yang mampu menyeimbangkan antara kecenderungan mengkonservasi pikiran-pikiran lama dan merangkai pikiran-pikiran baru (al-muhafadhah a’a al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah). Dan menurut KH Masdar Farid Mas’udi, Kiai Afif adalah kiai yang mengerti teks (nushush) dan konteks (siyaq). Bagi Prof. Muhammad Machasin, Kiai Afif adalah kiai ahli fikih yang tidak mau hanya berhenti pada ‘ibarah al-kutub, melainkan menukik ke relung maqashid dan mabadi’.


Namun, yang tak banyak diketahui orang luar adalah kemampuan Kiai Afif di bidang bahasa Arab. Kuriositas Kiai Afif pada gramatika bahasa Arab sesungguhnya tak kalah dari minatnya pada ilmu fikih dan ushul fikih. Itu sebabnya, Kiai Afif lebih lancar menulis makalah dalam bahasa Arab ketimbang dalam bahasa Indonesia. Dan struktur kalimat beliau dalam bahasa Arab bukan hanya benar dari sudut gramatika bahasa Arab, melainkan juga indah dan memukau dari sudut susastra. Dalam amatan saya, Kiai Afif lebih ekspresif ketika menulis makalah atau artikel dalam bahasa Arab ketimbang  dalam bahasa Indonesia.


Tak hanya menulis artikel atau makalah berbahasa Arab, Kiai Afif juga suka menulis puisi berbahasa Arab. Di beberapa pemilu terakhir Kiai Afif misalnya kerap menulis puisi politik. Dalam puisi politiknya, Kiai Afif menggunakan diksi yang transparan-tembus pandang. Saya misalnya tak pernah membaca puisi politik Kiai Afif dengan mengaktifkan alegori. Beliau lebih suka membangun makna denotatif dengan risiko menyingkirkan makna konotatif.


Tentu ini bisa dipahami karena dalam politik praktis dukungan harus terang seterang puisi-puisi politik Kiai Afif. Sebab, bagaimanapun puisi politik adalah puisi “bertendes”. Disebut bertendens, karena puisi politik Kiai Afif bukan hanya untuk mengedukasi masyarakat agar tetap bertumpu pada etika dalam berpolitik melainkan juga untuk mengarahkan dukungan pada salah satu kontestan. Sesuatu yang lumrah dalam politik.


Namun, lepas dari silang-sengkarut politik praktis, dalam soal perpuisian ini, saya pernah menyampaikan ke Kiai Afif, “Baik juga kalau Kiai Afif menggubah puisi dengan tema di luar politik. Misalnya puisi yang berisi cinta dan kerinduan pada Allah. Puisi sufistik”.  Menanggapi pernyataan saya, beliau menjawab dengan senyuman.


Sebab, saya yakin, Kiai Afif punya kemampuan untuk itu. Dan kalau itu berhasil dilakukan, maka puisi-puisi sufistik Kiai Afif yang berbahasa Arab tersebut bisa melengkapi puisi-puisi kerinduan Muhyiddin Ibnu Arabi yang terlampaui filosofis dalam karyanya, Tarjumanul Asywaq. Karena itu, sambil mengucapkan selamat dan ikut bangga atas penganugerahan Doktor Honoris Causa dari UIN Walisongo Semarang (20 Januari 2021) buat Almukarram KH Afifuddin Muhajir, saya mengakhiri tulisan saya ini dengan mengutip puisi Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Syaikh al-Akbar, Sang Belerang Merah.


تطوف بقلبى ساعة بعد ساعة     : لوجد وتبريح وتلثم أركانى

كما طاف خير الرسل بالكعبة التى: يقول دليل العقل فيها بنقصان

وقبل أحجارا بها . وهو ناطق      : وأين مقام البيت من قدر إنسان

فكم عهدت أن لا تحول وأقسمت: وليس بمخضوب وفاء بأيمان

ومن عجب الأشياء ظبي مبرقع    : يشير بعناب. ويومى بأجفان

ومرعاه ما بين الترائب والحشا     : وياعجبا من روضة وسط نيران

لقد صار قلبى قابلا كل صورة   : فمرعى لغزلان . ودير لرهبان

وبيت لأوثان. وكعبة طائف      : وألواح توراة . ومصحف قرآن

أدين بدين الحب أنى توجهت   : ركائبه فالحب دينى وإيمانى


Penulis adalah Wakil Ketua LBM PBNU, Alumnus Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo