Opini

Kontroversi Isu Khilafah (2): Penerapan Syariat

Senin, 27 Juni 2022 | 09:00 WIB

Kontroversi Isu Khilafah (2): Penerapan Syariat

Indonesia oleh pengusung khilafah selalu dipersepsikan sebagai negara yang tidak menerapkan syariat.

Penyebab dari ketidakmauan organisasi pengusung khilafah mempercayakan kepentingan umat Islam kepada negara atau pemerintah adalah anggapan bahwa negara tidak menerapkan syariat Islam sesuai fungsi pemimpin negara seperti tertuang dalam karya al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah: hirasat al-din wa siyasat al-dawlah (menjaga agama dan mengelola negara). Menjawab anggapan ini, sedari awal berdiri, negara Indonesia dibangun di atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sila ini, agama adalah fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Berbeda dengan negara sekuler yang jelas menolak keterlibatan agama dalam urusan negara, Indonesia yang berasaskan Pancasila telah menyebutkan posisi fundamental agama. Hal ini, untuk selanjutnya, meski apa yang dihasilkan dalam perundang-undangan tidak mencantumkan dalil Al-Qur’an atau hadits, ia dengan sendirinya diwarnai oleh nilai-nilai Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia. 


Seperti tentang 5 perlindungan (al-dlaruriyyat al-khamsu) yang harus diberikan kepada setiap individu menurut asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat, yaitu perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Sebagai realisasinya, muncul aturan hukum terkait pelarangan penistaan agama, pembunuhan, prostitusi/perzinaan, pencurian/korupsi, dan minuman keras/narkoba. Semua ini merupakan tindak pidana yang dijatuhi hukuman atas pelakunya. Meski hukuman yang diterapkan tidak seperti hudud atau hukuman badan yang ditetapkan oleh Islam, tapi setidaknya ia telah menjadi delik hukum yang bisa menyeret pelaku ke meja hijau. Mengenai kurang maksimalnya negara dalam menjalankan aturan tersebut atau masih banyaknya kebocoran di sana-sini, maka ia menjadi kepedulian bersama untuk mengingatkan pemerintah agar menegakkan hukum setegak-tegaknya dan bukan mendeligitimasi negara. 


Perkara tidak diterapkannya hukuman hudud atau hukuman badan sesuai ketetapan Allah: seperti kisas bagi pembunuh, rajam dan cambuk bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, hal itu tidak menggugurkan praktik penerapan syariat. Terkait hal ini, Gus Baha’ atau KH. Bahauddin Nursalim mengatakan, bahwa dalam usul fiqh terdapat kaidah: ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu (yang tidak bisa didapat semua tidak ditinggal semua). Artinya bahwa penerapan hukum yang tidak sepenuhnya, menuntut penerapan sebagian. Artinya, bahwa penerapan Lima Perlindungan (al-dlaruriyyat al-khamsu) meski tanpa penerapan hudud, ia tetap bernilai penerapan. Razia minuman keras menunjukkan pelaksanaan perlindungan akal. Penggerebekan warung remang-remang dan tempat penginapan yang diduga menjadi tempat mesum menunjukkan perlindungan terhadap keturunan dengan melarang perzinaan. Berbeda dari negara barat yang membiarkan sama sekali atau bahkan melegalkannya. 


Terkait tidak diterapkannya hudud, dalam konteks Mesir, Syekh Ali Jum’ah mantan mufti Mesir (2003-2013) mengatakan bahwa penerapan hudud harus dalam kondisi yang sangat memungkinkan (fi itmi’nan tam). Jika kondisi belum memungkinkan hal itu dihentikan sementara sesuai petunjuk Rasulullah: “hindarilah penerapan hudud karena syubhat (keraguan)/idra’u al-hudud bi al-shubhat”. Syarat penerapan hudud setidaknya adalah adanya saksi yang jujur dan hakim yang mujtahid. Sekarang kejujuran saksi dipertanyakan bahkan banyak saksi bikinan. Sementara hakim yang mujtahid tidak ada yang sekelas Ali b. Abi Talib atau Suraih. Bahkan yang adil pun langka. Karenanya semenjak abad kedua atau ketiga Hijriyah, hukuman hudud sudah dihentikan hingga terpenuhi kualifikasi yang diharapkan. Dihentikan tidak untuk dibatalkan, kata Syekh Ali Jum’ah. 


Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penerapan hudud. Seperti jika pencuri akan dipotong tangan, maka harus diperhitungkan bagaimana dengan nasib anak dan istrinya. Juga jika memiliki penyakit yang membuatnya bisa mati padahal hukuman potong tangan tidak boleh sampai membunuh. Khalifah Umar bin Khattab dalam kepemimpinannya pernah menghentikan potong tangan di saat paceklik. 


Belum lagi faktor pelaku sebenarnya yang kadang ada di balik layar, maka hal itu rawan menzalimi terhukum. Pelaku dihukum potong tangan padahal dia tidak lebih hanyalah suruhan. Sementara pelaku sebenarnya tidak terlacak. Jika ternyata terjadi kekeliruan, bagaimana mengembalikan tangan yang sudah putus. Untuk itu Rasulullah melarang penerapan hudud jika banyak ketidakpastian di sana. (Lihat kanal Youtube CBC Egypt).


Keberadaan Kementerian Agama juga menunjukkan bahwa kepentingan agama menjadi perhatian negara (hifdh al-din). Dalam negara sekuler tidak ada lembaga negara yang mengatur urusan agama. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang menjadi tugas dalam sistem khilafah yaitu hirasat al-din telah pula diperjuangkan oleh negara Indonesia. TGB Zainul Majdi, gubernur Nusa Tenggara Barat, mengatakan dalam stadium generalnya di UIN Sunan Ampel Surabaya pada Oktober 2017, bahwa meski negara kita bukanlah negara Islam tetapi aspirasi Islam sudah banyak diwujudkan. Seperti bank syariah di Indonesia yang meski hanya menghimpun sedikit dana masyarakat jika dibandingkan dengan bank konvensional tetapi nilai obligasi atau sukuknya terbesar di dunia.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya