Opini

Kosmopolitanisme Kepemimpinan Umar bin Khattab

Kamis, 10 Oktober 2019 | 12:00 WIB

Kosmopolitanisme Kepemimpinan Umar bin Khattab

Ilustrasi Umar bin Khattab. (NU Online)

Oleh Fathoni Ahmad
 
Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, umat Islam dihadapkan pada kepemimpinan para sahabat terdekatnya. Melalui musyawarah mufakat yang sangat demokratis, umat Islam melalui sistem yang disebut Ahlul Halli wal Aqdi secara berturut-turut mengangkat dan membaiat Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Era tersebut dinamakan Khulafaur Rasyidin.
 
Era Khulafaur Rasyidin bisa dikatakan sebagai era di mana berakhirnya sistem bermusyawarah mufakat (syura) dalam sebuah pemerintahan Islam. Karena era selanjutnya yang berlaku ialah sistem dinasti. Meskipun demikian, era dinasti tidak melepaskan diri dari teladan-teladan yang diberikan oleh kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dalam memandang kemajemukan bangsa yang tidak hanya diisi oleh umat Islam. Apalagi kala itu ekspansi wilayah Islam semakin luas sehingga memerlukan pengorganisasian wilayah baru.
 
Pengorganisasian wilayah pendudukan baru yang begitu luas dan penerapan ketentuan masyarakat Arab yang primitif yang belum dikodifikasi terhadap masyarakat kosmopolitan yang hidup dalam berbagai kondisi, menjadi tugas berat yang harus dihadapi oleh pemimpin Muslim.

Realitas kosmopolit tersebut disadari oleh Umar bin Khattab. Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2014) mencatat, Umar bin Khattab adalah orang pertama yang menyadari persoalan tersebut. Dalam berbagai riwayat, Umar ditampilkan sebagai penguasa yang berhasil mengatasi persoalan realitas kosmopolit tersebut. Sehingga ia dipandang sebagai pendiri kedua teokrasi Islam—sejenis utopia Islam—yang ditakdirkan tidak berusia lama. 
 
Tentu saja teladan tersebut didapat Umar dari Nabi Muhammad SAW ketika mendirikan negara yang berdasarkan kesepakatan bangsa-bangsa (Darul Mitsaq) ketika hijrah ke Madinah. Negara yang didirikan Rasulullah tersebut mendasarkan diri pada konsensus kebangsaan bernama Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Sebuah Undang-Undang yang mengatur kehidupan warga negara Madinah yang plural dan kosmopolit.

Inklusivitas atau keterbukaan, toleransi, dan kosmopolitanisme Umar bin Khattab diakui oleh Sejarawan Muslim terkemuka Muhammad Husain Haekal dalam Umar bin Khattab (2016). Ia memberikan kesaksian tentang sosok Umar. Husain Haekal berkata: “dialah Umar ibn al-Khaththâb, lelaki agung yang namanya semerbak harum dalam sejarah besar umat Muhammad. Umar  adalah sahabat Rasulullah yang paling cemerlang, sang inspirator umat Islam, hamba yang takwa kepada Rabb-nya. 

Dialah Umar, hawâri Rasul terdekat, orang terpercaya, sekaligus penasihat utamanya. Selepas Rasulullah wafat, Umar adalah pengganti kedudukan beliau yang kedua, setelah Abu Bakar, dan menjadi khalifah Islam terbesar sepanjang sejarah.

Umar adalah sosok besar yang menatah sejarah besar. Di tangan seorang khalifah Umar, Islam telah menjelma ‘imperium’ adiluhung dalam tempo waktu yang tak lebih dari sepuluh tahun, yang mampu menaklukkan negeri-negeri legendaris, meruntuhkan imperium agung Persia, juga mengguncang keberadaan imperium adiluhung Byzantium. Islam pun pada akhirnya memiliki wilayah kekuasaan yang membentang luas mulai dari Cerynecia (Tripoliana), Mesir, Nubia, Levantina atau Mediterania Timur (Syam; sekarang wilayahnya meliputi Syria, Lebanon, Yordania, dan Palestina), Anatolia, hingga Persia. 

Sebab itulah, sosok Umar kerap disebut sebagai seorang ‘Kaisar’ yang setara dengan Alexander Agung—Kaisar Macedonia, dan Cyrus the Great—Kisra Persia, dua emperor besar dunia pada zamannya, yang kebesaran serta kekuasaannya malang melintang di seantero jagat.

Namun demikian, jangan pernah membayangkan jika kehidupan Umar layaknya para Kaisar pada umumnya—sebuah potret kehidupan yang berlimpah ruah sebagaimana yang diceritakan oleh epik-epik. Umar tetap hidup sederhana dan bersahaja: ketika takwa adalah cita-cita utamanya, ketika Allah jauh lebih ia cintai dari segala isi dunia, ketika Rasulullah adalah teladan abadinya, dan ketika kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat banyak adalah impiannya. 

Hati dan akhlak Umar jauh lebih besar dari nama besarnya, jauh lebih luas dari wilayah kekuasaan dan taklukan-taklukannya, jauh lebih mulia dari kemuliaan yang diberikan orang-orang kepadanya. Hal ini bukan karena apa-apa, tetapi karena Umar lebih mengedepankan ketakwaan di atas segalanya.

Sekali-kali jangan heran ketika kita temukan seorang ‘Kaisar’, seorang emperor yang jauh melebihi tahta seorang presiden, yang makanannya adalah roti juwawut beroles minyak zaitun, minumnya hanya air putih, ranjang tidurnya adalah alas tikar, pakaiannya penuh dengan jahitan karena robek dan tercabik di banyak tempat, dan mahkotanya adalah serban yang sudah lusuh. 

Sekali-kali jangan heran ketika kita temukan seorang kaisar agung yang tidak memiliki ajudan seorang pun, tidak memiliki harta yang melimpah ruah sedikit pun, karena Umar men-tasaruf-kan semua gajinya untuk rakyat-rakyatnya. 
 
 
Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.
 
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo