Opini

Manusia dan Substansi Beragama

Sabtu, 27 November 2021 | 16:45 WIB

Manusia dan Substansi Beragama

Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Paradigma agama untuk kebaikan manusia seringkali disalahartikan manusia dari suatu kelompok sehingga membuat diri dan kelompoknya merasa berhak mewakili Tuhan. Akhirnya mereka memahami agama secara simbolik. Bahkan untuk melegitimasi setiap gerakannya yang tak jarang merugikan manusia secara materi maupun imateri melalui perilaku-perilaku anarkis.


Mereka terjebak dengan pemahaman simbolik yang berdampak pada pengerdilan ajaran agama yang mulia dan adiluhung. Pemahaman agama secara sempit dan eksklusif (tertutup) ini memunculkan pemikiran fundamental. Akibatnya, radikalisme merebak, puncaknya tindakan terorisme yang membabi buta. 


Namun, terkait kaum fundamentalis dan teroris ini, Bernard Lewis pernah mengatakan, "most Muslims are not fundamentalist, and most fundamentalist are not terrorist, but most present-day terrorist are muslims and proudly identify themselves as such." (Fariz Alniezar, Jangan Membonsai Ajaran Islam, 2015) 


Dari Berbard Lewis tersebut menunjukkan bahwa sebagian orang di dunia menilai bahwa Islam adalah teroris. Hal ini merujuk pada setiap kasus terorisme dilakukan oleh Muslim. Namun, Lewis sendiri berusaha objektif, tidak semua orang Islam adalah fundamentalis dan teroris. Bahkan sangat tidak manusiawi membawa panji-panji Islam sebagai legitimasi menyakiti dan membunuh orang lain.


Dari Bernard Lewis itu juga sesungguhnya menjadi pukulan telak bagi umat Muslim karena kenyataannya tindakan teroris banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya beragama Islam, namun tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam berislam yang merupakan satu kesatuan dalam beragama.


Narasi besar yang tersirat dalam kutipan tersebut adalah fundamentalisme sebagai akar dari tindakan terorisme, tetapi fundamentalis sendiri belum tentu teroris. Artinya, akar dari segala akar terorisme adalah paham fundamentalisme yang menumbuhkan radikalisme sehingga kristalisasinya adalah terorisme.


Tetapi betapa sangat memilukannya karena agama Islam sendiri terstigma teroris sehingga gerakan kultural yang dilakukan oleh sebagian besar warga Nahdlatul Ulama (NU) patut didukung oleh seluruh masyarakat dalam menangkal akar-akar tindakan terorisme.


Para teroris dan sebagian kaum fundamentalis juga kerap melegitimasi gerakan mereka atas nama jihad. Istilah jihad secara filosofis yang selama ini memang banyak disalahpahami oleh sebagian kelompok agama. Masyarakat perlu merumuskan kembali makna jihad yang lebih tajam dan aktual untuk konteks masa dan juga konteks masyarakat plural di Indonesia.


Jika ditelaah lebih jauh, kata jihad merupakan satu rumpun (derivasi) dari kata jahada yang berarti berusaha (fisik). Dekat juga artinya dengan kata ijtihad, segala upaya yang lebih mengandalkan kerja otak dan intelegensia serta mujahadah, yakni usaha yang lebih menekankan pada dimansi intuitif (bathiniyah). Artinya, di titik ini bisa ditarik benang merah bahwa ideal seorang muslim (bahkan mansuai secara umum) yaitu orang yang mendayagunakan keseluruhan dimensi-dimensi spiritual tersebut.


Pendayagunaan dimensi-dimensi tersebut secara anakronis (separuh-separuh, setengah-setengah, sepenggal-sepenggal) berdampak pada pemahaman Islam yang juga setengah-setengah. Perilaku ini tentu akan berdampak pada tereduksinya kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan keyakinan sehingga seorang tersebut menjelma menjadi manusia yang anti-budaya, anti-tradisi bahkan sampai pada titik anti-perbedaan.


Memang, salah satu kata sakral dan banyak digunakan dalam Al-Qur’an adalah kata jihad. Namun, anehnya kata jihad sering disalahartikan dan identik dengan perang atau kekerasan. Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.


Jihad dalam arti perjuangan fisik, perang, pertempuran di Indonesia tidak berlaku lagi. Karena penjajah sudah tidak ada. Sedangkan menjajah itu dilarang oleh Islam dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Akan tetapi kita wajib waspada atas serangan asing dan juga pemberontakan-pemberontakan.


Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam magnum opus-nya Tafsir Al-Misbah menjelaskan, pada hakikatnya perintah untuk berperang sebagai salah satu makna jihad di dalam ayat Al-Qur’an, tidaklah dibutuhkan oleh Allah dan tidak juga oleh Rasul-Nya Muhammad SAW, karena sesungguhnya Allah telah membela dan mendukung umat Islam ketika ia sendiri ataupun berdua.


Arena jihad sendiri dalam Al-Qur’an sangat luas. Pertama, bil-maal dengan harta kekayaan yakni zakat, infak, sedekah, wakaf, maupun berbagai pengeluaran di jalan Allah. Jihad harta termasuk dengan memberikan nafkah bagi keluarga, menolong saat bencana, jihad menuntut ilmu, dan lain-lain.


Kedua, bi anfasikum yakni dengan kekuatan pada diri seperti jihad lisan (memberikan nasihat atau petunjuk), mengajar, membuat tulisan bermanfaat, dan memberikan contoh yang baik. Paling sulit berjihad dengan memberikan contoh baik kepada lingkungan, karena kebesaran Islam kerap ditutupi kaum Muslim sendiri. Ada perkataan terkenal dari ulama Muhammad Abduh yang menyatakan, "Al-Islaam mahjuubun bil-muslimiin." (kebesaran Islam tertutup perilaku kaum Muslimin).


Di titik inilah berpikir substantif dalam beragama akan memberi dampak positif terhadap pemahaman agama itu sendiri. Artinya, dengan senantiasa berpikir substansial, seseorang akan berpikir terbuka. Dalam hal ini, muncul diktum Birds born in a cage think flying is an illness, “burung yang lahir di sangkar akan berpikir bahwa terbang adalah sebuah kejahatan”. Untuk itulah keterbukaan akses pemikiran dalam beragama tidak hanya teks, tetapi juga konteks yang melingkupi sehingga beragama tidak melulu simbol namun bagaimana melihat substansi nilai.


Selain itu, beragama juga tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Sehingga tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat perlu diambil substansinya, yaitu nilai. Paradigma nilai ini sesuai dengan yang dikandung oleh agama yakni nilai-nilai kebaikan teologis. Sehingga tidak perlu memberangus tradisi untuk mendakwahkan Islam. Itulah yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Nusantara, Wali Songo.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online