Opini

Membangun Ekosistem Riset Manuskrip di Indonesia

Selasa, 12 Juli 2022 | 11:00 WIB

Membangun Ekosistem Riset Manuskrip di Indonesia

Ilustrasi: proses reservasi kitab manuskrip. (Foto: AR)

Indonesia memiliki ribuan naskah klasik atau manuskrip yang beredar di masing-masing wilayahnya. Ya, memang terjadi demikian, sebab negeri ini kaya akan warisan budaya dan peradaban yang memiliki nilai historis bagi umat manusia. Banyak dari karya tersebut merefleksikan tentang kehidupan kerohanian, perilaku, ideologi, dan pemikiran yang didasarkan pada ajaran Islam. Latar belakang kelahiran naskah-naskah ini tentu terkait dengan informasi masuk dan berkembangnya Islam di kawasan Nusantara.


Seiring berjalannya waktu, ketika naskah-naskah tersebut dibaca, dipahami, dan diresepsi kandungan isinya oleh masyarakat di berbagai daerah, maka muncul berbagai bentuk apresiasi dari mereka, yang kemudian dituangkan juga dalam karya bahasa setempat seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Batak, dan lain lain sehingga disebut sebagai “naskah-naskah lokal”. Perkembangan tradisi tulis naskah Islam di Indonesia ini sudah cukup lama, tentu dimulai sejak penetrasi Islam semakin kuat abad ke-13 dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya.


Yang jelas, pada abad ke-16 hingga ke-18 produksi naskah-naskah Islam di Nusantara semakin besar-besaran. Pasalnya, Aceh pada saat itu menjadi pusat kegiatan intelektual Islam, dan melahirkan para ulama masyhur seperti Abdurrauf Singkel, Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, mereka saling bahu membahu dalam memproduksi banyak karya. Kepentingan karya tersebut diutamakan sebagai panduan dakwah dan pendidikan.


Ada banyak kandungan yang dimuat dalam aneka naskah klasik keagamaan yang muncul di negeri ini setelah Islam datang, baik yang terkait dengan akidah, akhlak dan tasawuf, filsafat dan ilmu mantiq, tafsir, fikih, sejarah, astronomi, kesehatan, dan sebagainya. Setidaknya, setelah terjadi artikulasi antara Islam dan kebudayaan lokal maka terbentuk suatu transmisi keilmuan yang telah disebut di atas. Transmisi keilmuan itu menurut Prof Oman Fathurahman membentuk dua kelompok bahasa naskah: pertama, naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan kedua, naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah (baca Oman Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, Jakarta: Prenadamedia, 2016).


Melihat proses perkembangan tradisi naskah Islam Indonesia yang melimpah, tercermin akan kekayaan khazanah intelektual dan peradaban yang besar bagi bangsa ini. Penting kiranya bagi generasi sekarang untuk melihat, membaca, dan memahami apa pesan dan warisan yang telah disampaikan mereka ratusan tahun yang lalu agar bangsa ini tidak tersesat dalam menentukan arah pergerakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, suatu studi naskah yang memperdalam metodologi riset pernaskahan amat sangat diperlukan, supaya terbentuk sebuah ekosistem ilmiah yang bermanfaat bagi pemerintah Indonesia.


Dalam hal ini, studi filologi menjadi salah satu bidang penting dalam membangun ekosistem riset pernaskahan. Inti dari filologi adalah meneliti naskah, dalam bahasa Prof Oman disebutkan; philology is about reading manuscripts, sehingga aspek-aspek yang dihasilkan dari penelitian filologi adalah terbagi menjadi tiga hal: aspek sastra, aspek linguistik, dan aspek sejarah. Ketiga aspek tersebut pada akhirnya akan menghadirkan naskah yang substantif dan menyesuaikan konteks penulisan.


Menurut Prof Oman dalam bukunya Filologi Indonesia, masyarakat Muslim Indonesia sejak awal peradabannya dikenal sangat dekat dengan tradisi teks. Tak berlebihan kiranya jika mereka disebut “masyarakat teks”. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sebagian naskah tersebut telah musnah dengan berbagai cara, di antara penyebab kerusakan naskah adalah akibat gigitan serangga, ketajaman tinta, dan kelembaban cuaca.


Sangat miris apabila naskah yang sudah ditulis oleh nenek moyang kita ternyata musnah sebelum dirasakan kembali oleh generasi berikutnya. Pemikiran yang telah mereka tuangkan hanya sekali saja dalam satu karya dan masa itu tidak akan pernah lahir kembali.


Maka, muncul kegelisahan yang mendalam bagi para peneliti untuk menjemput naskah-naskah yang beredar tersebut agar bisa direstorasi dan dilestarikan menjadi warisan kebudayaan bangsa. Sejak abad ke-20, para filolog sudah melakukan upaya aktivitas preservasi naskah, di antara mereka para peneliti lokal bekerjasama dengan peneliti asing melalui lembaganya yang sudah mapan, khususnya dalam mensubsidi kegiatan tersebut.


Upaya preservasi naskah manuskrip memiliki empat tujuan, yakni: menyelamatkan nilai informasi dokumen, menyelamatkan fisik dokumen, mengatasi kendala kekurangan ruang, mempercepat perolehan informasi. (baca: Intan Prastiani, Slamet Subekti, Digitalisasi Manuskrip sebagai Upaya Pelestarian dan Penyelamatan Informasi, Jurnal Ilmu Perpustakaan: 2019)


Dari aktivitas itu, lahir sebuah katalog-katalog manuskrip yang berhasil dihimpun, salah satunya yang dihimpun berupa katalognya katalog oleh Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia (1999). Buku katalog ini berhasil menghimpun data sekitar 58.947 manuskrip yang berasal dari wilayah Indonesia, antara lain Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Sunda, Kalimantan, Ternate, Sumatera Selatan, dan lain sebagainya. Sebagian dari beberapa manuskrip itu dipegang di luar negeri, mungkin karena faktor historis bahwa negara ini pernah terjajah oleh bangsa lain.


Tidak hanya itu, upaya preservasi juga dilaksanakan oleh berbagai pihak, seperti Perpustakaan Nasional, perguruan tinggi, serta komunitas masyarakat. Sebelum adanya perkembangan katalogisasi, sudah ada kegiatan preservasi manuskrip melalui penggunaan mikrofilm sekitar tahun 1980-an, namun hanya diprakarsai oleh Perpustakaan Nasional dan sarjana asing yang memiliki kecukupan dari segi finansial untuk mendanai mesin microfilm reader. Perlahan sarana dan peminat naskah pribumi mulai ikut terlibat secara mandiri.


Kemudian pada awal tahun 2000-an, kegiatan mikro film sudah hampir ditinggalkan karena perkembangan era digitalisasi. Dampak teknologi memang menjadi faktor paling signifikan memengaruhi kegiatan preservasi. Kini, para peneliti lebih memilih aktivitas digitalisasi karena lebih efektif dan efisien. Sarana ini tentu siapa saja bisa melaksanakannya, hampir semua orang memiliki kamera.


Kendati demikian, para peneliti yang menjalani kegiatan penelusuran naskah, ternyata tidak berjalan mulus sebagaimana adanya. Terdapat beberapa kendala yang justru hal ini banyak dirasakan oleh mereka: Pertama, adalah akses naskah yang relatif sulit dicari. Artinya, banyak naskah-naskah yang berpindah tangan kepemilikan sehingga sulit untuk menemukannya. Kedua, masih banyak stigma sebagian masyarakat bahwa manuskrip itu dianggap memiliki kekuatan magis sehingga dikeramatkan lalu disembunyikan. Para peneliti yang menelusurinya perlu melobi pemilik naskah agar rela mengeluarkannya.


Pada konteks ini, ada pula yang membuat pemilik naskah tidak memiliki kepercayaan untuk menyerahkan manuskrip mereka ke peneliti, sebab dalam beberapa kasus yang pernah terjadi adalah manuskrip yang dibawa dengan alasan preservasi ternyata tidak dikembalikan bahkan hilang. Ketiga, adalah faktor finansial. Ternyata, yang dirasakan oleh banyak peneliti manuskrip agar bisa menjalankan kegiatannya adalah dengan kerjasama lembaga peneliti asing. Ada kemungkinan bahwa bantuan yang datang dari pemerintah Indonesia belum banyak dirasakan oleh mereka, sehingga tidak menaruh perhatian penting pada terciptanya ekosistem riset manuskrip.


Meski begitu, aktivitas preservasi naskah tetap terus dijalankan oleh mereka yang memiliki kepedulian terhadap manuskrip, baik secara kelembagaan maupun komunitas. Perpustakaan Nasional dalam data 2019 menyebutkan ada 1.849 manuskrip yang sudah dialihmediakan. Belum lama ini di tahun 2017, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan Naskah Universitas Hamburg, Jerman, menerbitkan Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea), sebuah program yang berupaya melestarikan konten manuskrip di seluruh wilayah Asia Tenggara. Aktivitas ini sudah dipublikasi secara bertahap dan dapat diakses secara online.


Tidak hanya itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang didirikan Pemerintah Indonesia pada 2019 lalu berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2021 memiliki tugas untuk membantu Presiden terkait dengan aktivitas riset penelitian, inovasi, dan pengkajian. Sudah menjadi tanggung jawabnya dalam membangun infrastruktur riset manuskrip. Patut disyukuri bahwa baru-baru ini BRIN mendirikan sebuah lembaga riset manuskrip bernama Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan (PR MLTL).


Pada Forum Diksusi MLTL seri ke-3 pada 25 Mei 2022 lalu dengan tema “Membangun dan Memanfaatkan Infrastruktur Riset Manuskrip secara Inovatif dan Berkelanjutan” terjadi diskusi yang masif terkait upaya membangun lanskap pengembangan kajian manuskrip di Indonesia. Kebetulan narasumber dari forum tersebut adalah Prof Oman dan Dr Mu’jizah dari Peneliti BRIN.


Menurut Prof Oman, jika BRIN bisa membangun ekosistem riset manuskrip dan memiliki lanskap dengan baik, maka yang terjadi berikutnya adalah knowledge production. Infrastruktur yang terbangun tersebut akan menghasilkan budaya riset yang baik, menghasilkan karya riset melalui artikel jurnal, buku, publikasi akademik, sehingga bisa menjadi capaian seseorang untuk menjadi sarjana, magister, dan doktor, bahkan guru besar, yang kemudian bisa dimanfaatkan sebagai salah satu rekomendasi kebijakan negara.


Bagi saya, setidaknya ketiga kendala yang telah disebutkan di atas sebagaimana dialami para peneliti selama ini terkait preservasi naskah akan teratasi dengan kehadiran Pusat Riset Manuskrip yang dibentuk BRIN sebagai lembaga resmi pemerintah. Dengan kekuatan otoritas dari negara, masyarakat yang memiliki manuskrip bisa menyerahkannya kepada negara untuk pelestarian. Terkait finansial, para peneliti lepas bisa mengajukan proposal penelitian ke BRIN agar terakomodasi kegiatan riset mereka.


Tidak hanya itu, BRIN diharapkan dapat mampu mengintegrasikan seluruh ruang publikasi manuskrip Nusantara yang tersebar di berbagai platform media, baik dari perpustakaan, perguruan tinggi, dan lembaga lainnya, agar bisa menjadi satu portal akses utama (one gate to open access), sehingga masyarakat dengan sekali klik bisa mengakses manuskrip yang terpencar. Begitu juga, Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) filolog harus difasilitasi oleh BRIN, agar setiap yang mempunyai minat dalam riset manuskrip mendapat dukungan secara khusus untuk menjalankan kegiatannya.


Dengan begitu, kehadiran pusat manuskrip yang didirikan BRIN dapat menopang kesulitan-kesulitan mereka para pecinta riset manuskrip. Kita berharap akan terciptanya sebuah ekosistem riset manuskrip yang terpadu di Indonesia. Ya, memang seharusnya seperti itu, mengingat negeri ini menjadi aset ribuan manuskrip yang muncul dengan keunikan tersendiri di setiap wilayahnya. Maka, sudah seharusnya hal itu menjadi tanggung jawab kita bersama agar bisa melestarikan manuskrip itu sebagai warisan budaya bangsa. Begitu juga, para generasi berikutnya supaya dapat memaknai kandungan naskah itu untuk wajah jati diri mereka sehingga Indonesia tidak kehilangan arah.


Ahmad Rifaldi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta