Opini HAUL KH ALI MAKSUM

Menengok Kembali Gagasan Fenomenal KH Ali Maksum

Senin, 21 Desember 2020 | 23:00 WIB

Menengok Kembali Gagasan Fenomenal KH Ali Maksum

KH Ali Maksum (Foto: Dok NU Online)

Oleh MA Na’iim

Masa pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi tatanan masyarakat di Indonesia. Berbagai kegiatan sosial keagamaan yang mestinya diselenggarakan secara semarak dalam satu majelis harus dilakukan secara virtual. Hal ini dirasakan oleh keluarga besar Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Haul ke-23 KH Ali Maksum pada Rabu 23 Desember 2020 diselenggarakan secara virtual sebagai ikhtiar dalam memutus rantai penyebaran virus. Meski secara virtual, haul ini tetap dapat membuka kembali ingatan tentang sosok KH Ali Maksum.

 

Meminjam istilah Athoillah penulis buku KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU mengenai sosok kiai kharismatik KH Ali Maksum, tidak bisa dipisahkan dari ketokohan penting semasa hidupnya yaitu Ulama, Pesantren, dan Nahdlatul Ulama (NU). Kiprah KH. Ali Maksum dalam sejarah organisasi NU sangat menarik untuk dikaji kembali, baik gagasan pemikirannya maupun sikapnya sebagai tokoh penting waktu itu. 

 

Pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pertama kali diselenggarakan di Kaliurang Yogyakarta, pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981. Munas yang diketuai oleh H Syaiful Mujab dan KH Atabik Ali tersebut dibuka langsung oleh Menteri Agama Alamsyah Prawiranegara dengan diikuti oleh 225 orang alim Ulama NU dari seluruh Indonesia. Ada dua pembahasan penting dalam Munas tersebut, yaitu upaya mengembalikan wibawa Ulama NU dan pengisian kekosongan kepemimpinan Rais 'Aam setelah KH Bisri Syansuri wafat.

 

Mekanisme dalam forum itu memunculkan nama KH Ali Maksum (selanjutnya ditulis Kiai Ali) menjadi Rais 'Aam yang langsung diteriama oleh semua kalangan NU seperti KH Ahmad Shiddiq dan H Abdurrahman Wahid. Selain itu dukungan juga mengalir dari kiai-kiai senior seperti KHR As’ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali, Prof KH. Saifuddun Zuhri, KH Mujib Ridwan, KH Masykur, dan tokoh-tokoh lainnya.
 

Rais 'Aam merupakan pimpinan tertinggi organisasi NU. Sebagai pemangku jabatan tersebut, sudah tentu Kiai Ali dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang menuntutnya untuk memberikan gagasan sebagai solusi. Salah satu gagasan yang fenomenal dari Kiai Ali tentang sikap seseorang dalam berorganisasi. Kiai Ali memberikan dasar-dasar berorganisasi dengan judul Bekal Perjuangan dalam bukunya Ajakan Suci: Pokok-Pokok Pikiran Tentang NU, Ulama, dan Pesantren diterbitkan oleh LTN NU Yogyakarta tahun 1993. Lima bekal tersebut tampaknya dapat dijadikan pedoman dalam membina perdamaian umat meskipun dalam konteks zaman yang berbeda.

 

Pertama, `Aṡ-Ṡiqah bi Naḥdah al-‘Ulamā`. Maksudnya, setiap warga NU harus yakin dan percaya penuh terhadap NU sebagai satu-satunya tuntunan hidup yang benar. Sebagai keyakinan yang timbul dari sikap batin, maka sekaligus menuntut adanya realisasi yang bersifat lahiriyah. Dengan kata lain setiap keyakinan harus dibarengi dengan usaha-usaha nyata atau lahiriyah.

 

Kedua, Al-Ma’rifah Wa al-Istiqan bi NU. Setiap warga NU harus mengilmui (mengerti) tentang NU dengan sungguh-sungguh. Faktor kedua dari asas berorganisasi adalah bagaimana seseorang memantapkan diri akan keyakinan terhadap organisasinya. Hal ini sangat penting bagi pembentukan keyakinan, karena keyakinan yang hanya bersifat alami (bukan berdasar ilmu), akan mudah digoyahkan dengan pengaruh-pengaruh dari luar.

 

Ketiga, Al-‘Amalu bi Ta’līmi NU. Warga NU harus mempraktikkan ajaran dan tuntunan NU. Tuntunan NU adalah tuntunan Islam murni yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang dijabarkan dan dipahami dengan bimbingan mazhab. Dalam bermazhab, peranan akal diberi kesempatan seluas-luasnya, dengan diimbangi bimbingan secara tertib dan sempurna. Di sini praktis harus diawali dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tampaknya ringan. Hal ini dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kelanggengan jamiyah secara utuh.

 

Keempat, Al-Jihadu Fi Sabīli NU. Memperjuangkan NU agar tetap lestari dan berkembang pesat. NU hanya mengenal istilah pengabdian dan perjuangan, bukan sukses ataupun gagal. Semangat perjungan harus dimiliki waga NU dengan menelusuri benang-benang NU di bawah restu ulama. NU hanya mengenal buah perjuangan yang Ihdal Husnaya, yakni seandainya sukses dalam perjuangan maka akan mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Dan, apabila gagal dalam perjuangan maka kebaikan akhirat akan diperoleh.

 

Kelima, Aṣ-Ṣabru Fi Sabili NU. Sabar dalam berorganisasi NU, baik sabar dalam melakukan tugas, dalam menghadapi rintangan kegagalan atau sabar ketika berhadapan dengan rayuan-rayuan manusia yang bukan NU, serta pihak-pihak yang memusuhi ajaran Nabi.
Gagasan KH Ali Maksum dalam Konteks Ke-Indonsia-an

 

Kehidupan masyarakat multikultur sangat erat hubungannya dengan  adanya kelompok-kelompok atau paguyuban atas dasar kesamaan latar belakang. Terkadang satu kelompok menganggap bahwa kelompoknya lebih baik dan benar, sehingga mengabaikan kebenaran kelompok lain. Realita seperti itu sejatinya menjadi sebab utama perpecahan dalam masyarakat.

 

Salah satu gagasan fenomenal Kiai Ali adalah tentang bekal berorganisasi yaitu, `Aṡ-Ṡiqah bi Naḥdah al-‘Ulamā`, Al-Ma’rifah Wa al-Istiqan bi NU, Al-‘Amalu bi Ta’līmi NU, Al-Jihadu Fi Sabīli NU dan Aṣ-Ṣabru Fi Sabili NU. Meski dalam konteks yang berbeda yaitu dalam organisasi NU, namun kelima prinsip tersebut sangat relevan dikontektualisasikan dalam persoalan ke-Indonesia-an.

 

Pertama, yaitu Aṡ-Ṡiqah, adalah sikap yakin dan percaya. Dalam konteks ke-Indonesiaan yaitu bagaimana seseorang dapat meyakini bahwa negara Indonesia merupakan kesimpulan dari perjuangan-perjuangan para founding father, yang di dalamnya mengandung keberagaman budaya, etnis, suku, ras dan agama yang dibingkai dalam satu tujuan bernegara yang berasaskan Pancasila. Keyakinan dan kepercayaan terhadap sikap ke-Indonesiaan dan hal-hal yang terkandung di dalamanya secara menyeluruh (kaffah), dapat menciptakan suasana masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Keyakinan tersebut haruslah dimanifestasikan dalam setiap tindakan bermasyarakat, sehingga tidak hanya terkesan dalam perkataan saja namun berimplikasi pada sikap. 

 

Kedua, yaitu Al-Ma’rifah Wa al-Istiqan, adalah harus mengilmui (mengerti) dengan sungguh-sungguh. Faktor kedua dari asas berorganisasi adalah bagaimana seseorang memantapkan diri akan keyakinan terhadap organisasinya. Hal ini sangat penting bagi pembentukan keyakinan, karena keyakinan yang hanya bersifat alami (bukan berdasar ilmu) akan mudah digoyahkan. Dalam konteks ke-Indonesiaan yaitu bagaimana seseorang mengerti dan paham terhadap jati diri negara Indonesia, termasuk mengetahui segala bentuk budaya multikulturnya. Dengan begitu, seseorang akan mengetahui kewajibannya sebagai makhluk yang hidup di tanah Indonesia dan terus menjaga eksistensi dari apa-apa yang terkandung di dalamnya. Pemahaman jati diri dan karakteristik bangsa secara mendalam nantinya berimplikasi pada perdamaian dalam interaksi sesama masyarakat Indonesia.

 

Ketiga, yaitu Al-‘Amalu bi Ta’līm, adalah harus mempraktikkan ajaran dan tuntunan. Ajaran dan tuntunan masyarakat Indonesia, tidak lain adalah asas Pancasila. Lima sila tersebut menjadi keharusan bagi setiap warga negara yang tinggal dan hidup di Indonesia.

 

Keempat, Al-Jihadu Fi Sabīli, adalah memperjuangkan agar tetap lestari dan berkembang. Dalam konteks ke-Indonesiaan yaitu warga Indonesia harus memperjuangkan cita-cita dan tujuan bangsa, termasuk mewujudkan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Kelima yaitu Aṣ-Ṣabru Fi Sabil adalah sabar. Sabar dalam konteks ke-Indonesiaan adalah sabar dalam melakukan tugas dan tanggung jawab bernegara termasuk di dalamnya menjaga perdamaian dan persatuan. Selain itu juga sabar dalam menghadapi rintangan serta pihak-pihak yang memusuhi semangat jiwa ke-Indonesiaan, seperti yang sedang marak belakangan ini adalah terorisme, radikalisme, dan cyber army (perang media) yang selalu mengikis perdamaian Indonesia.

 

MA Na’iim, santri Pesantren Krapyak, Yogyakarta.