Momentum Hijrah: Jejak Spiritualitas, Solidaritas Umat, dan Warisan Lintas Mazhab
NU Online · Sabtu, 28 Juni 2025 | 20:22 WIB
R.H.M. Imam Abdillah
Kolomnis
Saat malam merunduk di bawah langit Hijaz, sejarah mencatat detak baru peradaban Islam, 1 Muharram. Bukan tanggal biasa, melainkan titik mula dari sebuah kalender agung yang diteguhkan pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab ra. Ia memilih bukan kelahiran Nabi atau wahyu pertama sebagai patokan, tetapi detik ketika kaki Rasulullah ﷺ menjejak tanah Madinah, membawa serta luka, harapan, dan cita yang membentang sepanjang jalan hijrah. Sebuah keputusan yang melampaui hitungan waktu; ia adalah simbol peralihan dari gelap menuju terang, dari keterhimpitan menuju hamparan kebebasan. Maka 1 Muharram bukan sekadar angka di permulaan tahun, tetapi gema awal sebuah visi: Islam sebagai bangunan peradaban yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan.
Hijrah yang ditempuh Rasul bukan langkah terburu dari tekanan musuh, melainkan gerak sadar seorang Nabi yang membawa umat menuju pangkuan masyarakat baru. Di kota yang dulu bernama Yatsrib, Nabi ﷺ menanamkan akar sistem sosial yang ditumbuhkan bukan dengan pedang, melainkan dengan tauhid, musyawarah, dan kebersamaan. Hijrah adalah denyut ideologi yang mengalir dari hati sang Rasul kepada masyarakat yang majemuk—ia bukan perpindahan rumah, tetapi penataan rumah tangga umat manusia. Sebuah sistem lahir, bukan dari paksaan, tetapi dari hikmah dan visi kenabian.
Dalam naungan kota Madinah, Nabi ﷺ memancang bangunan pertama: masjid, ruang sakral yang menyatukan langit dan bumi. Tapi lebih dari itu, ia menorehkan lembaran sejarah dengan merancang Shahīfah al-Madīnah atau Piagam Madinah. Di dalamnya, ditulis dengan tinta keadilan, bahwa Yahudi, Muslim, dan suku-suku Arab adalah bagian dari satu entitas sosial. Bukan dominasi, tetapi kolaborasi; bukan segregasi, melainkan partisipasi. Di sinilah Islam memperkenalkan wajahnya yang paling asli: inklusif, berkeadaban, dan berpihak kepada perdamaian.
Hijrah pun mengajari kita bahwa kekuatan tak selalu tampak dalam gemuruh senjata, melainkan dalam keberanian mengubah arah hidup. Rasulullah ﷺ tidak datang sebagai penakluk kota, tetapi sebagai perancang masa depan. Ia menyusun ulang cara pandang umat—dari dikotomi 'kami dan mereka', menjadi komunitas yang memayungi semua. Maka hijrah bukanlah perjalanan badan, melainkan perjalanan gagasan. Syaikh Nawawi al-Bantani menafsirkan hijrah sebagai cahaya yang menerobos gulita batin; ia bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan perpindahan jiwa menuju kesempurnaan iman.
Dalam derap khidmah umat terhadap laju syariat yang dibungkus dengan jubah berhijrah, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari telah lama membaca makna hijrah dalam bahasa keilmuan. Dalam Adabul ‘Ālim wal Muta‘allim, beliau melukis bahwa pendidikan adalah bentuk hijrah yang luhur: membebaskan diri dari gelapnya kebodohan, meretas jalan menuju kemerdekaan berpikir. Dalam pandangan beliau, setiap awal Muharram adalah ajakan lembut dari langit untuk berbenah dengan ilmu, adab, dan amal saleh. Di tangan para santri, hijrah bukan tinggal kenangan, tetapi proyek besar untuk membangun masa depan yang tercerahkan.
Dan begitupun Gus Dur, dengan mata batin yang jernih, memaknai hijrah sebagai loncatan ke ruang sosial baru. Dalam pidato-pidatonya, beliau mengguratkan bahwa hijrah adalah keberanian melampaui tembok-tembok warisan primordial: suku, agama, dan kelas. Ia memandang Madinah sebagai cermin dari pluralisme sejati, di mana Nabi ﷺ mengayomi umat beragama berbeda tanpa mencabut akar keyakinannya sendiri. Merayakan 1 Muharram, menurut Gus Dur, adalah menyapa kembali keberanian spiritual Rasul dalam membangun masyarakat madani yang bersifat kosmopolit, toleran, dan menjunjung hak setiap manusia untuk hidup damai. Momentum hijrah bukan ajakan untuk memisahkan diri, tapi justru menjadi titik mula untuk membuka ruang kebersamaan dalam kehidupan sosial penuh cinta dan keadilan.
Muharram sebagai Ruang Solidaritas Umat Islam se-Dunia
Di pelupuk sejarah umat, 1 Muharram tak sekadar menjadi angka di awal tahun, tetapi menjadi simpul yang merajut kembali benang-benang ukhuwah yang mungkin terurai oleh waktu, mazhab, dan geopolitik. Ia datang seperti mata air tua yang tak pernah kering, mengalirkan semangat baru, menghidupkan ulang kenangan lama, dan menyatukan denyut hati umat Islam di berbagai penjuru dunia. Dari Mesir ke Iran, dari Indonesia hingga Maroko, gema Muharram menggugah kesadaran kolektif umat bahwa mereka terhubung dalam sejarah yang sama sejarah hijrah, pengorbanan, dan kebangkitan ruhani.
Baca Juga
Menelisik Histori Muharam dan Hijriyah
Di Mesir, 1 Muharram disambut dengan khidmat. Masjid-masjid di Kairo mengumandangkan doa awal tahun, dan para ulama al-Azhar menyerukan pesan-pesan hijrah sebagai perubahan menuju masyarakat berakhlak dan beradab. Syair-syair al-Busiri dilantunkan, diiringi pembacaan maulid yang menggugah rasa cinta pada Nabi. Perayaan ini sederhana namun penuh makna: hijrah sebagai panggilan untuk terus bergerak dari kebodohan menuju pencerahan.
Berbeda lagi suasananya di Iran, negeri yang mayoritas Syiah, di mana 1 Muharram menjadi awal dari rangkaian duka yang berpuncak pada 10 Asyura. Di jalan-jalan kota seperti Qom dan Karbala, ribuan orang mengenakan pakaian hitam, menyanyikan lagu-lagu ratapan (latmiyyah), dan menghidupkan kembali tragedi Karbala yang menimpa cucu Nabi, Sayyidina Husain. Walau peringatan itu kental dengan warna emosional dan mazhab, namun substansinya adalah solidaritas—pembelaan terhadap kebenaran, keberanian melawan kezaliman, dan keteguhan dalam mempertahankan nilai.
Di Irak, terutama di kota Najaf dan Karbala, 1 Muharram hingga 10 Asyura menjadi momentum ziarah besar-besaran. Jutaan peziarah datang dari berbagai negara untuk menghormati perjuangan keluarga Nabi. Jalanan dipenuhi aroma kurma dan air mawar, sementara mimbar-mimbar dipenuhi khutbah tentang cinta dan pengorbanan. Meski latar politik dan sekte kadang menajam, peristiwa ini memperlihatkan bahwa umat Islam masih terikat oleh kesamaan kasih pada Ahlul Bayt dan semangat keadilan.
Di belahan barat Afrika Utara seperti Maroko dan Aljazair, Muharram dirayakan dengan puasa, sedekah, dan silaturahim. Anak-anak diberikan permen dan hadiah kecil, simbol dari harapan baru. Di beberapa tempat, masyarakat juga menyalakan api unggun—menandai cahaya harapan yang mengusir gelapnya tahun-tahun yang telah lewat. Nuansa mistik dan sufistik kuat terasa di balik perayaan ini, seakan mengajak umat merenung, bahwa setiap awal adalah waktu terbaik untuk menyucikan niat dan memperbarui cinta kepada Allah.
Melalui beragam tradisi yang dijalankan di berbagai negeri, 1 Muharram membuktikan dirinya sebagai ruang simbolik solidaritas umat. Ia menampung tangisan Karbala, zikir langgar di Jawa, khutbah ulama Mesir, dan semangat anak-anak Maroko. Dalam perbedaan cara, umat Islam tetap berkumpul dalam satu semangat: hijrah menuju yang lebih baik, membangun kembali jembatan ukhuwah, dan menyatukan langkah dalam sejarah yang tak pernah kehilangan arah.
Sementara itu di Indonesia, perayaan 1 Muharram terasa lebih luwes, membaur dengan tradisi dan kearifan lokal. Di Jawa, dikenal pawai obor dan doa awal tahun, kadang diselingi bubur syura, makanan simbolik yang mengingatkan pada kisah Nabi Nuh. Di Minangkabau, ada tabuik, semacam miniatur kuda perang yang diarak ke laut, merefleksikan cerita kepahlawanan Sayyidina Husain dalam balutan adat. Di Sulawesi Selatan, Muharram menjadi momentum zikir akbar dan haul para wali. Semua ini menegaskan bahwa umat Islam Indonesia merayakan Muharram sebagai ruang ekspresi spiritual dan kebudayaan yang harmonis.
Langit spiritualitas menyentuh tanah budaya. Tradisi-tradisi lokal seperti tabuik di Pariaman, bubur syura di Jawa dan Bugis, hingga lantunan doa awal tahun di langgar-langgar kecil, menandai betapa ajaran Islam tidak berhenti di mimbar, tapi menjelma dalam simbol-simbol budaya yang hidup di tengah masyarakat. Muharram di Nusantara bukan hanya peringatan kalender, tetapi ruang bersama tempat iman dan tradisi saling merangkul.
Di tanah Minangkabau, tabuik diarak dengan iringan ratapan dan semangat kepahlawanan. Miniatur kuda perang dengan ornamen megah menggambarkan peristiwa Karbala dan keberanian Sayyidina Husain. Tabuik bukan sekadar tontonan, melainkan sarana kolektif masyarakat untuk menanamkan nilai keberanian, kejujuran, dan pembelaan terhadap kebenaran. Di sana, semangat Ahlul Bayt berdialog dengan semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Sementara itu, di tanah Jawa dan Bugis, bubur syura hadir sebagai simbol keberkahan dan kebersamaan. Bahan-bahannya yang beragam melambangkan kebinekaan, tetapi ketika dimasak bersama, ia menjadi satu rasa. Dalam semangkuk bubur syura, terkandung pesan bahwa umat Islam adalah satu tubuh yang terdiri dari banyak bagian: berbeda-beda namun saling melengkapi. Tradisi ini tak hanya menghidupkan malam Muharram, tapi juga menyatukan generasi tua dan muda dalam satu meja, satu cerita, satu semangat.
Doa awal tahun yang dilantunkan setelah maghrib 1 Muharram menjadi penanda awal yang penuh harap. Di surau-surau kampung, suara imam menggema lembut, membawa umat pada ruang perenungan. Doa ini mengajarkan bahwa setiap permulaan adalah kesempatan untuk memperbarui janji kepada Tuhan. Dalam setiap lafaznya, tersimpan kesadaran bahwa perjalanan spiritual tidak pernah selesai, selalu bisa diperbarui—seperti hijrah yang tak berhenti di Madinah, tetapi terus hidup dalam gerak umat.
Tradisi Muharram di Nusantara menjelma menjadi pengkristalan nilai-nilai Islam yang meresap dalam jiwa masyarakat. Ia bukan adopsi yang kaku, tetapi adaptasi yang cerdas. Islam di bumi ini tumbuh bersama pohon kehidupan masyarakat: ia menyerap akar budaya, menyatu dengan tanah adat, lalu mekar dengan aroma tauhid. Melalui tradisi-tradisi lokal itu, ajaran Islam tidak hanya dipahami, tetapi dihayati dan diwariskan secara alami dari generasi ke generasi.
Dalam kerangka itu, umat Islam di Nusantara turut menjaga distingsi identitas mereka, termasuk dalam ibadah seperti puasa Asyura. Nabi Muhammad ﷺ memberikan tuntunan untuk berpuasa pada 10 Muharram sebagai bentuk penghormatan terhadap diselamatkannya Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil dari kezaliman Fir’aun. Untuk menjaga identitas yang khas, Rasulullah menganjurkan tambahan puasa pada 9 Muharram. Dengan cara ini, Islam menegaskan posisinya sebagai agama yang menghargai sejarah kenabian sebelumnya, sekaligus membentuk garis spiritual yang berdiri sendiri.
Penegasan itu tidak muncul dalam bentuk pertentangan, tetapi peneguhan jalan. Umat Islam, melalui amaliah 9 dan 10 Muharram, menapaki jejak Musa dalam kerendahan hati, lalu membedakan diri dalam kesadaran tauhid yang bersih dan lembut. Inilah cara Islam menjaga jati diri dengan bijak, bukan menjauhkan diri dari tradisi lain, tapi meneguhkan niat dan bentuk ibadah yang bercorak khas. Di tengah realitas majemuk, pembeda ini menjadi penanda spiritual yang tidak kaku, namun jelas.
Muharram Etos Persatuan: Sunni-Syiah dalam Isu Kemanusiaan Global
Muharram bukan sekadar awal kalender hijriah. Ia adalah detik sejarah yang menggugah kesadaran kolektif umat Islam akan tanggung jawabnya di hadapan penderitaan, kehancuran moral, dan percikan darah kemanusiaan yang tak kunjung kering. Dalam tiap kedatangannya, 1 Muharram tidak hanya mengajarkan kita tentang hijrah Rasul dari Makkah ke Madinah, tetapi juga menuntut kita untuk berhijrah dari perpecahan menuju persatuan, dari sektarianisme menuju solidaritas, dari kebisuan menuju pembelaan atas sesama yang dizalimi.
Ketika dunia Islam hari ini dihadapkan pada deru konflik dan retakan geopolitik, perang antara Iran dan Israel menjadi ujian paling nyata atas integritas etos umat. Di medan konflik ini, kita menyaksikan bagaimana solidaritas dunia Islam tidak terbatasi oleh garis mazhab. Iran, yang berhaluan Syiah, justru menjadi poros ketahanan terhadap ekspansi zionisme modern yang telah lama mengoyak Palestina dan dunia Arab.
Dalam momen-momen krusial seperti ini, umat Islam dari mazhab Sunni di seluruh dunia berdiri, berbicara, dan bergerak, menegaskan bahwa dalam perkara kezaliman, tidak ada tempat untuk diam dan membisu.
Tanggal 1 Muharram menghadirkan etos hijrah sebagai spirit pembebasan umat dari kejumudan sektarian. Hijrah bukan hanya perpindahan geografis Nabi, tetapi lompatan ideologis menuju sistem nilai yang adil, terbuka, dan visioner.
Dalam konteks perang Iran–Israel, 1 Muharram membangkitkan kembali urgensi al-jama’ah, kesadaran bahwa umat Islam, siapa pun mereka, adalah satu tubuh. Ketika satu bagian terluka entah di Karbala, Gaza, Quds, atau Rafah, maka seluruh tubuh pun menggigil. Inilah makna hakiki ukhuwah Islamiyah yang lahir dari akar spiritual, bukan dari kesamaan fikih semata.
Etos 1 Muharram mengajarkan bahwa persatuan bukan mitos, tetapi mandat. Bahwa sejarah Islam tidak pernah ditulis dengan tinta mazhab, tetapi dengan darah para syuhada yang melintasi garis ideologis. Saat Sayyidina Husain gugur di Karbala, umat tidak mempertanyakan afiliasi teologinya, tetapi menunduk dalam duka yang tak terucap, karena yang gugur adalah kehormatan Islam itu sendiri. Maka ketika Iran berdiri di garis depan melawan agresi zionis, dunia Islam yang sadar sejarahnya akan tahu bahwa ini bukan soal mazhab, tetapi soal pembelaan terhadap harkat umat dan marwah Islam.
Dunia Islam tidak boleh terjebak dalam narasi musuh yang terus memprovokasi konflik internal. Selama ini, api Sunni-Syiah dipelihara oleh mereka yang takut terhadap kekuatan umat ketika bersatu. Padahal, sejarah membuktikan, kekuatan Islam mencapai puncaknya ketika perbedaan menjadi sumber kekayaan, bukan penyebab keterpecahan. Inilah pesan utama dari 1 Muharram yang tak boleh diabaikan: hijrah adalah langkah strategis dan spiritual untuk menyusun barisan baru, menjebol sekat lama, dan menghadirkan wajah Islam yang satu—kokoh dalam iman, tangguh dalam perjuangan, dan mulia dalam kemanusiaan.
Baca Juga
Tiga Makna Hijrah
Solidaritas Sunni terhadap Iran dalam konteks perlawanan terhadap Israel bukanlah dukungan politik buta, tetapi kesadaran teologis dan etis bahwa keadilan adalah pilar utama agama ini. Ketika Iran membela Palestina, dunia Sunni tidak melihat identitas madzhab, tetapi membaca makna keberpihakan yang selaras dengan perintah al-Qur’an: “Janganlah kalian berdiam diri terhadap kezaliman, karena kalian akan dibakar bersama para zalim.” Dalam momen seperti ini, 1 Muharram menghidupkan kembali ruh al-ummatu al-wahida satu umat yang terikat oleh iman dan amanah sejarah.
Kini, umat Islam di berbagai negeri, dari kampung-kampung kecil Indonesia hingga kota-kota besar di Eropa dan Timur Tengah, menyalakan lentera-lentera solidaritas. Mereka tidak menyalakan api sektarian, tetapi cahaya persatuan. Doa-doa dilantunkan dari masjid-masjid NU, mimbar-mimbar al-Azhar, hingga mimbar-mimbar Syiah di Qom dan Karbala. Semua berkumpul dalam satu gema: kita satu tubuh, satu luka, satu perjuangan. Dan di sinilah, etos 1 Muharram menjelma bukan sebagai romantisme sejarah, melainkan instruksi moral untuk membela kehidupan dan menjaga kesatuan.
R.H.M. Imam Abdillah, Ketua Lakpesdam PCNU Kota Serang, Banten
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
5
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua