Opini MUKTAMAR KE-34 NU

NU di Pusaran Megatren

Selasa, 21 Desember 2021 | 07:00 WIB

NU di Pusaran Megatren

Ilustrasi: Santri-santri dari Pulau Bawean mengarungi laut. (Foto: dok. NU Online)

Oleh Irham Ali Saifuddin

Nahdlatul Ulama (NU) akan menghelat Muktamar Ke-34 di Lampung pada tanggal 22-23 Desember 2021. Kali ini, muktamar mengusung tema Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia. Tidak berlebihan kiranya tema tersebut dipilih, mengingat menjelang usianya yang seabad beberapa tahun lagi, NU telah banyak memberikan warna bagi republik ini. NU tetap berdiri kokoh sebagai organisasi masyarakat yang paling besar di Indonesia.

 

Merujuk pada survei LSI (2019), basis jamaah warga NU diperkirakan sebesar 108 juta orang atau setara dengan 49,5 persen dari populasi Indonesia. Tidak berlebihan kiranya menghubungkan kemandirian NU secara jamaah dan jamiyah sebagai kepingan penting yang akan turut menentukan peradaban dunia di masa mendatang.

 

Muktamar Ke-34 ini menjadi spesial bukan saja menjelang seabad kiprah NU. Lebih jauh lagi, ia dihelat di tengah dunia yang tengah berubah secara cepat dan massif, dan karenanya diharapkan bisa menghasilkan serangkaian keputusan strategis sebagai jawaban atas tentangan-tantangan yang akan dihadapi ke depan, bukan saja oleh warga NU, melainkan juga umat manusia secara keseluruhan. Formulasi transformatif bangunan strategi tersebut diharapkan bisa berkontribusi terhadap grand design pembangunan nasional di masa transisi dan mungkin juga ketidakpastian dunia di masa mendatang.

 

Megatren: Faktor-faktor besar yang mengubah dunia

Kira-kira tantangan apa saja yang harus dijawab oleh NU untuk mengantisipasi disrupsi global yang akan dihadapi oleh umat manusia di masa mendatang? Setidaknya ada beberapa isu yang akan menjadi megatren di masa-masa yang akan datang.

 

Megatren sendiri disebut-sebut sebagai faktor besar yang menjadi kekuatan ekonomi makro dan geostrategi yang akan sangat berpengaruh dan menentukan masa depan dunia secara multak. Setidaknya ada empat faktor yang akan menjadi megratren global di masa mendatang. Keempatnya adalah globalisasi, perubahan iklim, perubahan demografi, dan perkembangan teknologi.

 

Pertama, globalisasi. Ini seperti kata usang yang sudah seringkali kita dengar. Di masa lampau, globalisasi mungkin kita anggap seperti dongeng hantu yang akan mendatangi kita dalam waktu yang masih sangat lama. Namun sekarang, apa yang kita alami sehari-hari tidak akan pernah dilepaskan dari arus globalisasi. Krisis ekonomi 1998 dan krisis finansial 2008 adalah contoh gamblang bagaimana masalah yang sedang terjadi di sebuah negara nun-jauh di sana dalam waktu cepat akan berimbas ke seluruh dunia. Saat ini, 80 persen perdagangan dunia dipengaruhi oleh rantai pasok global (global supply chain/GSC). GSC ini melibatkan proses yang rumit, antar-bahkan multi-negara, terfragmentasi, serta interaksi produsen-produsen yang berbeda.

 

Sebuah barang yang sedang kita genggam, bisa jadi melibatkan banyak negara di dalam proses produksinya. Apple iPhone, misalnya, didesain di California, diproduksi di China, ceramic capacitors didatangkan dari Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapura, flash memory dari Korea, dan secara keseluruhan melibatkan lebih dari 200 perusahaan di dunia dalam proses produksi hingga pemasaran. Inilah globalisasi! Bahkan, sejak tahun 80-an, perdagangan global telah berhasil meningkatkan PDB global dari 30 persen menjadi 50 persen.

 

Kedua, perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi faktor besar yang bisa mengubah dunia. Perubahan iklim sebagian besar diakibatkan oleh perilaku manusia modern, yang tidak bisa dilepaskan dari arus industrialisasi. Misalnya meningkatnya emisi CO2 sebagai residu bahan bakar berbasis fosil yang menjadi sumber utama industri, deforestrasi dan alih-guna lahan, naiknya permukaan laut dan sebagainya. Emisi CO2 menjadi salah satu faktor utama pemicu perubahan iklim. Dari tahun 1960 hingga 2013, misalnya, emisi CO2 secara global telah meningkat hingga 400 persen.

 

Salah satu dampaknya adalah global warming. Suhu bumi telah meningkat 0,85ºC sejak abad 19 dan akan terus meningkat menjadi 1,5ºC pada tahun 2100 nantinya. Sebagai dampaknya, sektor-sektor mata pencaharian tradisional seperti pertanian, perkebunan, hutan, dan laut akan menjadi  lapangan pekerjaan yang paling terdampak oleh perubahan iklim ini. Padahal sektor-sektor tersebut menjadi sumber pekerjaan mayoritas penduduk dunia. Demikian juga, bencana-bencana ekologis juga akan sering menyapa kehidupan manusia kedepan.

 

Ketiga adalah perubahan demografi. Populasi penduduk dunia akan terus bertambah. Sebagai dampaknya, akan terjadi natural resources scarcity atau kelangkaan sumberdaya alam yang diakibatkan oleh eksploitasi dan ekslporasi untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia. Persoalan ini kemudian diperberat oleh fenomena yang seringkali disebut sebagai world ageing population atau semakin bertambahnya proporsi penduduk dunia yang berusia di atas 65 tahun. Ageing population akan meningkat dari 7 persen di tahun 2015 menjadi 14 persen di tahun 2050. Sebagai dampaknya, beban pekerjaan dan tanggung jawab sosial kaum milenial 20-30 tahun mendatang akan semakin berat.

 

Menurut laporan ADB (2017), secara global saat ini 1 lansia ditanggung oleh 6 penduduk usia produktif. Pada tahun 2030, 1 lansia hanya akan ditanggung 3 penduduk usia produktif, dan tahun 2040 1 lansia ditanggung oleh hanya 2 orang usia produktif saja. Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya 'penduduk yang menua' di muka bumi.

 

Keempat adalah perkembangan teknologi dan digitalisasi. Teknologi telah banyak mengubah wajah dunia. Ia mengubah lanskap sosial, ekonomi, budaya bahkan politik dan keamanan global. Pengembangan teknologi sejatinya ditujukan untuk mempermudah tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dengan teknologi, diharapkan produktivitas dunia kerja akan meningkat.

 

Dalam dunia industri, penggunaan robot-robot industri menjadi fenomena yang semakin lazim. Dalam catatan International Federation on Robotics (IFR) 2016, misalnya, penjualan robot industri di China secara konsisten meningkat hingga 25 persen setiap tahun dalam satu dasawarsa terakhir. Laporan terbaru IFR (2020) mengkonfirmasi bahwa Asia menjadi pasar yang paling potensial untuk penjualan robot industri. Sebagai dampaknya, tentu akan menimbulkan disrupsi bagi dunia industri, terutama tenaga kerja yang ada di dalamnya. Menurut World Economic Forum (WEF, 2020), pada 5 tahun yang akan datang, akan terjadi perubahan (shifting) besar-besaran dalam dunia kerja.

 

Dalam 5 tahun ke depan akan ada 85 juta pekerjaan di dunia yang akan hilang. Ini tentu berita buruk. Berita baiknya adalah dalam kurun waktu yang sama juga akan tumbuh 97 juta pekerjaan baru di dunia. Pada tahun 2030, profesi yang berhubungan dengan teknologi akan tumbuh paling pesat, diikuti oleh sektor profesional lainnya. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang merupakan repetisi, pengulangan yang rutin, administratif dan yang tidak membutuhkan kognisi akan turun drastis hingga 8 persen poin. Ini tentu akan menimbulkan disrupsi bahkan goncangan bila kita tidak mempersiapkan transformasi struktural.

 

NU bisa apa?

Sebagai salah satu organisasi tertua dan terbesar di negeri ini, NU tentu sudah kenyang asam-garam pengalaman dan pengelolaan persoalan. Secara pribadi penulis berharap Muktamar menjelang satu abad NU ini bisa membuat formulasi strategi dan menghasilkan cetak biru agenda transformasi struktural yang ditawarkan NU untuk menjawab megatrend yang diidentifikasi di atas.

 

Bila mayoritas latar pendidikan tenaga kerja kita adalah lulusan SMP ke bawah, yakni 57 persen (BPS 2020), saya menduga sebagian diantaranya adalah warga NU. Ini tentu menjadi PR bagi kita semua untuk turut memajukan dunia pendidikan dengan memperluas akses dan kesempatan bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini menjadi penting mengingat pendidikan berkorelasi positif terhadap produktivitas di dunia kerja.

 

Pesantren, yang menjadi salah satu pilar paling penting di tubuh NU, memang menjadi lembaga pendidikan tertua di negara ini. Bahkan, pesantren telah lahir ratusan tahun sebelum republik ini berdiri. Tidak perlu kita perdebatkan lagi kontribusi pesantren terhadap pengembangan SDM dan kemandirian bangsa. Yang penting untuk kita jawab adalah seberapa siapkah pesantren menjadi main driver bagi transformasi struktural dalam menjawab tantangan dan disrupsi yang akan ditimbulkan oleh megratren di atas?

 

Indonesia saat ini sebenarnya sedang mulai memanen apa yang sering disebut sebagai bonus demografi (demographic dividend) hingga tahun 2040, sementara 64 persen penduduk Indonesia adalah mereka yang berada di rentang usia produktif. Asumsi dasarnya adalah, mereka yang di usia produktif akan menjadi motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi—yang akan diikuti oleh indikator-indikator kemajuan dan kesejahteraan lainnya.

 

Yang menjadi persoalan adalah saat ini pengangguran tenaga kerja muda kita masih sangat tinggi, yakni 20,46 persen (BPS 2020). Angka ini bahkan menjadi salah satu angka pengangguran tenaga kerja muda tertinggi di Asia. Bila pengangguran tenaga kerja muda ini tidak segera kita atas sejak dini, bukan tidak mungkin akan menjadi beban demografi di masa mendatang. Tanpa strategi yang baik, bonus demografi tersebut akan menguap tak berbekas dan menjelma menjadi bencana demografi (demographic disaster).

 

Bila kita membaca lebih lanjut laporan WEF (2020) kita akan mendapati fenomena bahwa pekerjaan-pekerjaan yang akan tumbuh di masa mendatang selain membutuhkan kemampuan kognitif yang baik, ia juga akan terkait dengan STEM, yakni science, technology, engineering and mathematics. Ini juga menjadi persoalan tersendiri di negara kita. Berdasarkan skor PISA 2015, kemampuan matematika, membaca, dan sains pelajar Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga dan negara-negara OECD. Dengan menempati ranking 62 dari 73 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2015, diperkirakan Indonesia baru akan mencapai skor rata-rata PISA OECD pada tahun 2065. Malangnya, dalam PISA 2018, Indonesia malah terjerembab di peringkat 73 dari 79 negara.

 

Dalam konteks NU, kita patut berbangga dengan ribuan pesantren yang dikelola oleh keluarga besar NU. Kita juga wajib berbangga dengan capaian pengurus PBNU yang telah berhasil melahirkan ratusan perguruan tinggi NU di seantero nusantara di bawah LPTNU. Inisiatif ini menjadi tonggak perjuangan dasar yang harus dilanjutkan ke depan.

 

Yang penting untuk direnungkan adalah bukan saja berapa banyak perguruan tinggi yang telah didirikan, melainkan juga seberapa jauh program studi dan kurikulum yang akan dikembangkan oleh NU ke depan bisa menjawab megatren di atas. Kita harus mengakui, program studi berbasis keagamaan masih menjadi yang paling dominan di perguruan tinggi NU—walaupun sebenarnya dalam konteks lain, ilmu keagamaan sebenarnya sudah menjadi identitas NU melalui pesantren.

 

Penerus estafet kepemimpinan NU ke depan sudah seharusnya menempatkan dunia pendidikan sebagai pusat reproduksi kader dan jamaah untuk bisa mengarungi dunia baru, termasuk bisa merespons secara positif atas 97 juta pekerjaan baru yang akan hadir dalam beberapa tahun ke depan. Sayangnya, STEM masih menjadi salah satu titik terlemah dalam dunia pendidikan di lingkungan NU, baik pesantren maupun perguruan tinggi.

 

Selanjutnya, NU harus bisa menyusun strategi transofrmasi struktural terhadap perubahan iklim. Hal ini menjadi penting dalam dua konteks. Pertama, tanpa perubahan iklim pun negeri ini termasuk salah satu negara dengan resiko bencana alam tertinggi di dunia. Dengan perubahan iklim, potensi kerentanan bencana akan semakin bertambah dengan kombinasi antara bencana alam dan bencana ekologis. Bencana tentu akan menarik mundur kemajuan-kemajuan yang telah kita bangun dan raih.

 

Kedua, mayoritas Nahdliyin adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, hutan, perikanan dan nelayan. Ada dimensi ruralisasi dalam tubuh NU. Perubahan iklim akan menghantam pertama kali sektor-sektor tersebut. Tanpa memiliki strategi mitigasi dan pencegahan, jamaah kita hanya akan jatuh ke dalam lubang yang sama dan berulang sebagai dampak perubahan iklim.

 

Terakhir, di tengah gurita globalisasi yang semakin tidak terbendung ini, sangat mendesak bagi NU untuk membangun strategi diplomasi keagamaan yang ditransformasikan dalam diplomasi ekonomi, perdagangan, politik, sosial, budaya dan keamanan di kancah internasional. Selama ini mungkin NU telah memainkan peran yang apik dalam diplomasi keamanan—dengan doktrin moderatisme, tawasuth dan tasamuh—dengan meneguhkan Islam rahmatan lil 'alamin. Demikian juga di ruang sosial dan budaya, NU selalu terdepan.

 

Namun harus kita akui, NU kurang bisa memainkan peran-peran diplomasi ekonomi dan perdagangan. Padahal, mayoritas pekerja informal dan kaum prekariat adalah mereka yang kehidupannya sangat dekat dengan NU. Pekerja migran, petani, nelayan, buruh perkebunan, anak buah kapal, pekerja rumah tangga, adalah sedikit dari sederet panjang distribusi warga NU di dunia kerja. Ini baru PR internal diplomasi ekonomi. Mengingat angka-angka globalisasi yang dikutip di atas, NU memiliki tugas dan tantangan yang berat untuk dimainkan di masa 5-10 tahun mendatang.

 

Bukan saja memilih sosok nakhoda yang tepat untuk menjawab tantangan-tantangan di atas, semoga Muktamar NU Ke-34 juga berhasil meneguhkan eksistensi, pengaruh dan kontribusinya untuk negeri ini, termasuk dalam menjawab tantangan-tantangan megatren yang akan sedang kita hadapi bersama. Wallahu a'lam bisshawab.

 

Penulis adalah warga NU, bekerja di sebuah badan di United Nations. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi