Opini

Pawestren Masjid: Ruang Publik Beribadah bagi Perempuan

Rabu, 17 November 2021 | 11:00 WIB

Pawestren Masjid: Ruang Publik Beribadah bagi Perempuan

Masjid kuno seperti di Demak masih melestarikan pawestren atau palastren. (Foto: Kemdikbud RI)

Oleh Subhan Abidin
 

“Di mana tempat shalat untuk perempuan?” Pertanyaan itulah yang pertama kali terlintas di benak saya ketika pertama kali shalat di masjid Al-Muttaqin Kaliwungu. Sejauh mata saya memandang, saya hanya dapat menjumpai jamaah laki-laki di bangunan masjid yang sangat luas itu. Usut punya usut Masjid Al-Muttaqin ternyata menyediakan tempat khusus bagi jamaah wanita untuk melaksanakan ibadah shalat lengkap dengan tempat wudhu. Kebanyakan masjid yang ada di Indonesia menempatkan laki-laki dan wanita dalam satu ruangan dan hanya diberi sekat satir. Di kemudian hari, barulah saya tahu bahwa bangunan yang peruntukkannya khusus untuk wanita itu disebut dengan nama palastren/pawestren.

 

Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya menyebutkan bahwa palastren/pawestren berasal dari bahasa Jawa ‘estri’ yang artinya istri atau perempuan. Kata ‘estri’ tersebut lalu mendapat imbuhan ‘pa-an’ yang menunjukkan tempat sehingga menjadi ‘paistrian’. Kemudian karena pengaruh struktur bahasa Jawa, kata paistrian tersebut berubah menjadi palastren/pawestren (untuk bahasa kromo) atau pangwadonan (untuk bahasa ngoko). Sementara di Cirebon istilah palastren/pawestren lebih dikenal dengan paestren dan pewadonan (Suwendi, dkk. (ed.), 2018: 351).

 

Palastren/pawestren dapat ditemukan di masjid-masjid di Jawa, terutama pada masjid-masjid kuna dan masjid yang dulunya menjadi bagian dari kerajaan Islam Jawa. Bentuk palastren/pawestren dapat berupa ruangan atau bangunan sendiri yang terletak di sebelah ruang utama masjid. Apabila berupa ruangan, biasanya palastren/pawestren diberi pembatas untuk memisahkan dengan ruang utama masjid. Palastren/pawestren biasanya terletak di samping kiri/selatan dari ruang utama masjid. Ada pula palastren/pawestren yang terletak di sebelah kanan/utara ruang utama seperti yang terdapat di Masjid Al-Aqsa di Kudus.

 

Peruntukan palastren/pawestren khusus ditujukan untuk jamaah wanita sebagai tempat untuk melaksanakan berbagai aktivitas peribadahan seperti shalat, pengajian, dan lain sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan palastren/pawestren tetap dipertahankan eksistensinya. Untuk masjid yang mempunyai dua lantai, posisi palastren/pawestren biasanya ada di lantai dua, bahkan di Masjid Daarut Tauhid Bandung dilengkapi dengan perangkat elektronik audio visual yang canggih untuk menunjang aktivitas sosial-keagamaan.

 

Tolong kepada aktivis gender atau feminisme yang membaca tulisan ini, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa pada zaman dahulu wanita Jawa mendapatkan diskriminasi dalam melaksanakan ibadah dengan adanya palastren/pawestren karena letaknya yang terpisah dari ruang utama. Yang terjadi justru sebaliknya, pembangunan ruang ibadah khusus wanita ini justru menyiratkan bahwa wanita Jawa Islam pada zaman dahulu diperbolehkan melakukan ibadah di luar rumah.

 

Bagaimanapun, ada hadits Nabi yang menyatakan bahwa shalatnya wanita itu lebih baik dilaksanakan di tempat tertutup, bukan masjid. Kisah Ummu Humaid yang sangat ingin shalat dengan Nabi, tapi justru disuruh untuk shalat di rumah secara eksplisit menunjukan hal ini. Hadits tersebut dapat ditemukan pada riwayat Imam Ahmad sebagia berikut:

 

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ

 

“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khususmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR Ahmad).

 

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalatnya wanita lebih baik dilakukan di tempat yang privat daripada di ruang publik. Perdebatan mengenai kandungan hadits ini sangat panjang dan sudah banyak dibahas oleh ulama, karena itu tidak saya tampilkan di tulisan pendek ini.

 

Poin penting di sini adalah dengan adanya palastren/pawestren ini perempuan Jawa pada masa itu juga mempunyai hak untuk beribadah di ruang publik. Wanita seringkali dianggap sebagai makhluk domestik yang wilayah kerjanya hanya di dalam rumah saja. Keberadaan palastren/pawastren dalam kebudayaan Jawa menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Islam pada waktu itu menyadari bahwa wanita adalah mahluk yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam hal beribadah maupun hubungan sosial (Felisiani, 2009: 75). Eksistensi palastren/pawastren merupakan wujud dari akulturasi anatara Islam dengan budaya Jawa melalui pendekatan kultural, sehingga wanita juga mempunyai andil yang cukup besar dalam membangun kesalehan ritual dan kesalehan sosial untuk kemaslahatan umat.

 

 

Subhan Abidin, mahasiswa Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang dan pengajar di pondok pesantren Al-Munawwir Gringsing-Batang.