Opini

Pertaruhan Muktamar PKB di Tengah Hilangnya Momentum Rekonsiliasi dengan PBNU

Senin, 19 Agustus 2024 | 12:45 WIB

Pertaruhan Muktamar PKB di Tengah Hilangnya Momentum Rekonsiliasi dengan PBNU

Ilustrasi NU dan PKB. (Foto: dok. gusdur.net)

Di tengah ketegangan politik yang berkembang dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memutuskan menggelar muktamar di Bali pada 24-25 Agustus 2024. Perhelatan ini bukan saja tentang nasib Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dipertahankan atau disingkirkan dari kursi ketua umum, namun juga momen pembuktian kemandirian politik PKB di masa mendatang.


Hubungan antara PKB dan PBNU, yang telah lama erat, merenggang tak lama setelah KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU di Bandar Lampung, Desember 2021. Ia menegaskan bahwa NU tidak boleh dikooptasi oleh kepentingan politik mana pun—sebuah pernyataan yang dipersepsikan publik lebih ditujukan kepada PKB ketimbang partai-partai lain.


Ketegangan ini meningkat ketika Cak Imin maju menjadi cawapres sebagai pendamping Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. Langkah ini semakin memperlebar jarak PKB dengan PBNU lantaran PBNU cenderung mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.


Belakangan, konflik mereka berlanjut setelah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 oleh DPR. Dipimpin langsung oleh Cak Imin, pansus ini hendak memeriksa penyelenggaraan haji tahun 2024 yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, adik kandung Gus Yahya.


Setelah itu, manuver-manuver saling bersahutan. PBNU, melalui keputusan Rapat Pleno pada 27-28 Juli 2024, membentuk tim khusus untuk mendalami hubungan dengan PKB. Tim khusus lantas memanggil beberapa pengurus dan mantan pengurus PKB. Eks Sekjen DPP PKB, Muhammad Lukman Edy, adalah orang pertama yang dipanggil. PKB meresponsnya dengan melaporkan Lukman Edy ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik. Kedua pihak kemudian terlibat dalam aksi saling lapor, menambah intensitas konflik yang sudah memanas.


Muktamar dan Pertaruhan Politik yang Berisiko

Keputusan Cak Imin menggelar Muktamar di tengah konflik yang sedang berlangsung dengan PBNU merupakan pertaruhan besar bagi PKB. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keyakinan Cak Imin bahwa ia masih memiliki kendali atas partai dan dukungan yang cukup kuat dari kader PKB di berbagai daerah. Di sisi lain, ini adalah risiko besar karena konflik dengan PBNU yang berlarut-larut dapat memperlemah kohesi partai, terutama jika ada anggota yang merasa lebih loyal kepada PBNU daripada kepada kepemimpinan PKB saat ini.


Cak Imin tampaknya percaya diri menggelar Muktamar di tengah konflik ini karena beberapa alasan.


Pertama, keberhasilan PKB dalam Pemilu Legislatif 2024 memberinya keyakinan bahwa partai masih memiliki daya tarik yang kuat di mata pemilih, bahkan ketika hubungan dengan PBNU memburuk.


Kedua, dukungan dari kalangan internal PKB, terutama dari DPW dan DPC, tampaknya cukup solid, memberinya legitimasi untuk melanjutkan kepemimpinannya.


Ketiga, manuver politiknya dalam merangkul lingkaran kekuasaan Jokowi, seperti dukungan kepada Bobby Nasution dan bangunan komunikasi dengan Kaesang Pangarep terkait pilkada, memperkuat posisinya dan mungkin juga meredakan beberapa tekanan eksternal.


Namun, pertaruhan ini memiliki dua sisi. Jika berhasil, Cak Imin dan PKB bisa bangkit dengan posisi yang lebih kuat, bahkan mungkin lebih mandiri dari pengaruh PBNU. Tetapi jika gagal, ini bisa menjadi bumerang yang menyebabkan perpecahan internal dan menurunkan kredibilitas PKB di mata pemilih nahdliyin yang masih setia kepada PBNU.


Faktor Anies di Balik Peningkatan Suara PKB

Keberhasilan meningkatkan perolehan suara di Pemilu Legislatif 2024 menjadi tameng sekaligus pedang yang berulang-ulang digunakan Cak Imin dalam menghadapi serangan PBNU. Keberhasilan ini, seperti sudah saya tulis di atas, membentuk kepercayaan diri Cak Imin bahwa PKB mampu menarik dukungan dari basis pemilih yang lebih luas dan beragam—sebuah modal politik yang kuat untuk menghadapi Muktamar 2024.


Namun, yang perlu diingat Cak Imin adalah peningkatan suara PKB ini tidak terlepas dari fakta bahwa ia berpasangan dengan Anies Baswedan saat Pilpres 2024. Anies, dengan basis pemilih islamis yang luas dan beragam, membantu PKB memperluas jangkauan suara di luar basis tradisional nahdliyin. Kemitraan politik ini membuka potensi PKB untuk menarik dukungan dari segmen pemilih yang sebelumnya mungkin tidak terjangkau, termasuk mereka yang mencari alternatif dari arus utama politik Islam.


Pertanyaannya sekarang: apakah ke depan Cak Imin dapat mempertahankan dan bahkan memperluas dukungan ini tanpa kehadiran Anies? Jika Cak Imin ingin PKB tetap kuat, dia harus menemukan cara untuk mempertahankan momentum ini, dengan atau tanpa Anies sebagai mitra politik. Muktamar 2024 akan menjadi ujian apakah strategi ini dapat dipertahankan dalam jangka panjang.


Risiko Tak Mengundang Resmi PBNU

Sementara itu, keputusan PKB untuk tidak mengundang resmi PBNU ke Muktamar 2024, tetapi hanya mengundang kiai-kiai NU secara personal, bisa dibaca sebagai langkah yang berisiko tinggi. Meskipun langkah ini mungkin diambil sebagai cara untuk menunjukkan kemandirian politik, PKB harus bersiap menghadapi konsekuensi yang mungkin timbul.


Salah satu dampak langsung dari keputusan ini adalah potensi ketidakpuasan di kalangan kader PKB yang loyal kepada PBNU. Mengabaikan PBNU sebagai institusi formal dan hanya mengundang tokoh-tokoh NU secara individu dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap otoritas PBNU. Hal ini bisa memicu fragmentasi internal, mengurangi kohesi partai, dan memperlemah posisi PKB dalam menghadapi tantangan politik yang lebih besar di level nasional.


Lebih dari itu, keputusan panitia muktamar tidak mengundang PBNU secara resmi membawa PKB pada risiko kehilangan dukungan kultural dan struktural dari PBNU. PBNU bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi juga entitas kultural yang melekat kuat di kalangan nahdliyin.


Di mata pemilih tradisional nahdliyin, PBNU tidak hanya berfungsi sebagai organisasi keagamaan, tapi juga kompas moral dan sosial-politik dalam kehidupan mereka. Dengan tidak melibatkan PBNU secara resmi, PKB berisiko kehilangan dukungan kultural yang selama ini menjadi fondasi kuat partai. Ini bisa berdampak langsung pada elektabilitas PKB di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi basis suara mereka.


Selain itu, ketegangan yang tidak dikelola dengan baik antara PKB dan PBNU dapat dimanfaatkan oleh partai-partai lain. Partai-partai yang memiliki kedekatan dengan NU atau yang berusaha merebut suara dari basis nahdliyin dapat memanfaatkan situasi ini untuk menarik dukungan yang sebelumnya menjadi milik PKB. Jika dibiarkan, ini bisa mengancam posisi PKB dalam politik nasional serta melemahkan daya saing partai di panggung politik yang semakin kompetitif.


Yang lebih penting dari semua itu adalah dengan tidak mengundang PBNU secara resmi, PKB kehilangan kesempatan emas untuk menunjukkan niat baik dalam rekonsiliasi dan memperkuat kembali hubungan kedua pihak. Muktamar seharusnya menjadi momen penting bagi PKB untuk memperkuat dan mengonsolidasikan hubungan dengan PBNU. Kehilangan kesempatan ini bisa berakibat panjang, membuat ketegangan antara PKB dan PBNU semakin sulit diatasi.


Mengapa Menjaga Hubungan dengan PBNU Tetap Penting?

Meskipun PKB berhasil meningkatkan suara dalam Pemilu 2024, menjaga hubungan baik dengan PBNU tetap menjadi hal yang sangat penting bagi keberlangsungan partai. PBNU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan nahdliyin.


PBNU tidak hanya menyediakan dukungan moral dan kultural, tetapi juga menjadi penghubung langsung antara PKB dan komunitas akar rumput yang sangat bergantung pada arahan dari para ulama NU.


Tanpa dukungan PBNU, PKB berisiko kehilangan legitimasi di mata nahdliyin, yang dapat menyebabkan perpecahan di dalam partai dan berkurangnya dukungan pemilih pada pemilu berikutnya. Hubungan yang retak dengan PBNU juga bisa dimanfaatkan oleh partai-partai lain untuk menarik dukungan dari basis nahdliyin, yang dapat melemahkan posisi PKB dalam kancah politik nasional.


Lebih jauh lagi, NU memiliki jaringan sosial dan ekonomi yang luas, yang berperan penting dalam mobilisasi dukungan politik, terutama di daerah-daerah perdesaan dan semi-perkotaan. Kehilangan dukungan dari jaringan ini berarti PKB harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan atau meningkatkan elektabilitasnya, terutama di tengah kompetisi politik yang semakin ketat.


Meskipun mengantongi dukungan kuat dari berbagai DPC dan DPW, Muktamar PKB 2024 tetap merupakan ujian besar bagi Cak Imin. Muktamar ini akan menentukan apakah ia mampu membawa PKB mengatasi tantangan-tantangan yang sudah saya sebutkan dan mencapai sukses yang lebih besar atau menghadapi risiko yang dapat meruntuhkan fondasi partai.


Jay Akbar, jurnalis, meminati isu-isu sosial politik


Editor: Ivan Aulia Ahsan