Opini

Prestasi Mendunia Pelajar NU

Jumat, 10 September 2021 | 08:15 WIB

Prestasi Mendunia Pelajar NU

Ilustrasi pelajar NU. (Foto: dok. NU Online)

Oleh Yanto Bashri


LP Ma’arif NU memantik sejarah baru ketika berhasil mengantar pelajar-pelajarnya menjuarai tiga kompetisi ilmu pengetahuan kelas dunia pada tahun 2020 dan 2021. Prestasi ini akan membuat LP Ma’arif NU dicatat dalam sejarah pendidikan Indonesia dan dunia. 


Pertama, World Science Environment and Engineering Competition (WSEEC). Kompetisi pelajar tingkat atas ini dilaksanakan pada 17-20 Juni 2021. WSEEC merupakan penggalian ilmu pengetahuan (science) diikuti sebanyak 288 tim dari 21 negara, seperti USA, Thailand, Korea, Macedonia, Nigeria, Malaysia, Filipina, Puerto Riko, Turki, Hongkong, Makau, India, Rusia, Romania, Iran, Yaman, Afrika Selatan, Vietnam, Meksiko, dan Irak. LP Ma’arif NU mengirim pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Ma’arif NU Yogyakarta. 


Abstrak disusun pelajar LP Ma’arif NU berhasil menarik perhatian penyelenggara dibanding pelajar lainnya. Misalnya, penelitian SMK Ma’arif NU 2 Temon berjudul Waste Management Efforts on the Coast of Congot Beach, Kulon Progo, Yogyakarta dihadiahi medali perak dan penelitian SMK Ma’arif NU 1 Temon, Analysis of the Effect of the Existence of Yogyakarta International Airport (YIA) on the Economic Level Kaliwancan Kidung Hamlet Community Village District Temon Kulon Progo 2021, mendapatkan penghargaan perunggu.


Tiga medali perunggu lainnya masih-masing diperoleh SMK Ma’arif NU 1 Wates berjudul Transformasi Tari Angguk Sripanglara: Dari Tuntunan menjadi Tontonan, SMK Ma’arif NU 2 Sleman, The Values of Character Education from the Traditional Art of Kubro in Selingan Karang Talun Ngluwar Magelang, dan SMK Ma’arif NU Wonosari Processing of Kimpul Flour Xanthosoma Sagittiolium a Raw Material for Making Noodles oleh SMK Ma’arif NU Wonosari. 


Dikutip dari https://wsec.or.id/index.php, penyelenggaraan WSEEC untuk  memfasilitasi mahasiswa untuk bersaing di dunia industri 4.0. Di bawah Indonesian Young Scientist Association bekerja sama dengan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), WESSC juga memfasilitasi pelajar-pelajar Indonesia untuk mengembangkan potensi bersama dengan siswa dalam negeri dan luar negeri. 


Kedua, Asia Students Awards 2020. Prestasi pelajar SMK NU Yogyakarta di ajang internasional dialami juga siswa SMK NU Banat Kudus Jawa Tengah yang menjuarai ajang bergengsi Grand Prix Sakura Collection “Asia Students Awards 2020” di Atrium Jewel Changi Airport, Singapura. Pelajar SMK NU Banat mengharumkan nama Indonesia dipersembahkan Dania Pulungan meraih juara 2, Najla Mufida juara 3, Salsabila Nizatin di peringkat 4, dan Fira Aulia yang menyabet juara 5.


Perolehan medali dijalani beberapa tahap, mulai mendesain hingga mengirim konsep desain. Tujuh terbaik dari 10 finalis dikirim ke penyelenggara mewakili Indonesia untuk memperebutkan hadiah kolaboratif dengan Citizen Eco Bag dan Esmod Japon Tokyo untuk sharing pembelajaran. Seleksi atas bantuan Djarum Foundation, karya pelajar SMK NU Banat mengalahkan ribuan peserta dari berbagai sekolah fashion dari enam negara Asia Tenggara. “Sangat bagus bahkan tak kalah dibanding karya mahasiswa perguruan tinggi”.


Ketiga, World International Mathematical Olympiad. Kompetisi dilaksanakan di Jepang pada tahun 2020 ini LP Ma’arif NU mengirim Cleona Enair Maulidiva, siswi MI Muslimat NU Pucang Sidoarjo Jawa Timur. Maulidiva yang masih duduk dibangku kelas tiga berhasil menyisihkan sebanyak 448 peserta dari 12 negara. Maulidiva dinyatakan terbaik di antara peserta dari Indonesia dan puluhan negara lain dalam ajang kompetisi bergengsi tersebut. 


Boleh dikata, prestasi pelajar SMK Ma’arif NU Yogyakarta, SMK Banat Kudus, dan MI Muslimat NU Pucang Sidoarjo ibarat sehelai kain sutra yang dicoba ditempelkan di tubuh Ibu Pertiwi yang kini berjuang menumbuhkan pengetahuan untuk memahami keragaman pada setiap warga negara. Kebahagiaan dan kebanggaan yang terpancar di wajah para pelajar ini saat ditetapkan “terbaik” kiranya memberi pengertian cukup bagi kita untuk menempatkan pendidikan di garda terdepan menjaga Pancasila dan NKRI. 


Meski tidak semeriah para atlet yang meraih medali pada ajang Olimpiade Tokyo 2020, ketika pelajar LP Ma’arif NU berhasil memperjuangkan nama baik bangsa di pentas dunia internasional, mereka pun telah menyumbangkan untuk tumbuhnya kesadaran nasionalisme. 


Ledakan intelektual


Khoirun Niam dalam Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals In the Beginning of 21st Century Indonesia menggambarkan bahwa sejak awal abad 21 dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) berhasil melahirkan generasi intelektual. Generasi ini memiliki akses pendidikan yang lebih baik daripada pendahulunya ketika NU berhasil mengadopsi sistem sekolah nasional. Sejak pesantren memasukkan sistem pembelajaran dan model pendidikan umum seperti SD, SMP, dan SMA, selain mempertahankan madrasah (sekolah khusus keislaman), tampak makin dinamis.


Keterbukaan pesantren terhadap pendidikan umum tidak terlepas dari peran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terutama sejak 1984 ketika menjabat Ketua Umum PBNU yang seringkali berkunjung ke pesantren bertemu para kiai. Dalam silaturahmi ini, Gus Dur berusaha meyakinkan kiai untuk mengizinkan membuka pendidikan baru sesuai perkembangan zaman.


Selain banyak menemui kiai pesantren, Gus Dur seringkali juga memengaruhi kiai pesantren melalui karya-karyanya. Dengan menghadirkan beberapa ide-ide pemikir Barat dan Timur Tengah, Gus Dur dengan penekanan kemanusiaan dan masyarakat sipil. sejak 1980-an menghadirkan cara pandang tentang keterbelakangan Dunia Ketiga dalam bidang ekonomi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.


Ikhwal gerakan intelektual dalam tubuh NU pun diulas oleh Katharine McGregor dalam laporan penelitiannya berjudul Syarikat and the Move to Make Amends for the Nahdlatul Ulama’s Violent Past (2008). McGregor menyebutkan bahwa perjuangan Gus Dur untuk meningkatkan keadilan ekonomi dan pendidikan telah melahirkan ledakan literatur Islam (boom in Islamic literature) yang menarik perhatian para peneliti dalam dan luar negeri.


Perjuangan dimulai dengan gagasan kembalinya khittah 1926 ini disambut elite-elite muda NU. Mereka melakukan kajian ulang (reorientasi) perjuangan elite yang selama ini lebih menekankan pada perjuangan politik. Perjuangan politik ini menyebabkan pengabaian peran pendidikan dan tanggung jawabnya untuk kesejahteraan para jamaah seperti terlihat beberapa dekade terakhir.


Terkait dengan hal itu, elite muda NU mulai mengenalkan pendidikan modern dan teori-teori sosial baru bersamaan pendidikan di perguruan tinggi dan aktivitas mereka di LSM dan organisasi kemahasiswaan. Perkembangan cukup menggembirakan ini, sebagian mengikuti elite lama memasuki dunia politik dan sebagian lagi bertahan dalam perjuangan budaya dan pendidikan.  


Menjaga kesinambungan


Andrée Feilard (1997) dalam Islam in an Era of Nation-State: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru penurunan pendidikan dialami LP Ma’arif NU cukup signifikan. Puncaknya memasuki 1991, ketika 85 persen madrasah/sekolah NU yang tercatat merosot menjadi 16,8 persen atau tersisa hanya sekitar lima ribu satuan pendidikan.


“Penurunan disebabkan tekanan pemerintah daerah pada 1970-an. Banyak madrasah/sekolah NU melepaskan tanda mengenal mereka untuk menjadi bagian NU, mengubah nama-nama dengan mengidentifikasi secara langsung dengan NU. Pukulan berat ini juga terjadi Universitas NU yang berganti nama menjadi Sunan Giri pada 1972, dan lainnya,” ujar Feilard. 


Pil pahit ini harus ditelan NU karena hubungan buruknya dengan pemerintahan Orde Baru. Dalam konteks ini, Feilard memberikan dua penjelasan.

 

Pertama, ketika pemerintah mengembangkan sistem pendidikan modern sebagai respons terhadap besarnya jumlah anak sekolah dan sumber daya nasional terbatas, pemerintah memberikan porsi besar sekolah swasta, termasuk sekolah Islam. Pada 1988 sebanyak tiga juta anak bersekolah di non-Islam dan 6 persen bersekolah Islam negeri. Pada 1991 pemerintah melonggarkan menjadi 28 persen Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), 46 persen untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan 74,6 persen untuk Perguruan Tinggi Islam Negeri (IAIN). Perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam meningkat, namun di dalamnya tidak termasuk NU. Pendidikan NU tampak menderita.


Kedua, ketika NU tidak lagi mendapat kepemimpinan Kementerian Agama pada 1971, pengaruhnya terhadap ribuan guru agama di madrasah berkurang. Salah satu konsekuensinya, banyak guru memberikan pelajaran agama yang substansinya cenderung kepada ideologi reformis daripada tradisionalis. Kecenderungan sama terlihat pada buku-buku pelajaran agama terbitan Kementerian Agama. Beberapa buku pelajaran ini dikesampingkan begitu saja oleh para guru agama setempat, yang menganggapnya terlalu bersimpati pada doktrin reformis.


Kontrol pemerintah juga terlihat dalam pencalonan direktur madrasah di Kementerian Agama. Pada tahun 1991 ketika pemerintah menunjuk direktur, 30 persen sekolah NU menerimanya. NU meminta madrasah-madrasahnya untuk menolak. Tetapi ketergantungan sekolah NU terhadap subsidi pemerintah memiliki bobot lebih tinggi daripada rekomendasi elite-elite NU. Perkembangan lain yang dianggap mengganggu militansi NU adalah diadakannya banyak ujian oleh pemerintah pada akhir 1980-an.


Demikian tertulis perihal LP Ma’arif NU dari masa ke masa di sejumlah literatur. Sejarah telah, sedang, dan akan terus mencatat bahwa LP Ma’arif NU selalu ada di masyarakat dalam berbagai situasi dialami negeri ini. 


Tak terkecuali di tengah pandemi Covid 19 saat ini, ketika banyak kegiatan belajar sekolah memakai PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), LP Ma’arif NU tetap hadir agar mars Ma’arif tetap dinyanyikan oleh para pelajar. Melintasi generasi negara-negara di dunia, pelajar LP Ma’arif NU telah dicatat dalam sejarah pendidikan Indonesia ketika berhasil mengantarkan pelajar-pelajarnya jadi terbaik.


Penulis adalah Wakil Sekretaris LP Ma’arif PBNU, Dosen Unusia Jakarta