Opini

Ulama Pesantren dalam Menghadapi Hoaks Penjajah

Kamis, 4 April 2019 | 03:30 WIB

Baru-baru ini, para kiai di Kabupaten Pati, Jawa Tengah menggelar Bahtsul Masail NU Pati yang membahas tentang hoaks. Pembahasan ini berangkat dari keprihatinan para kiai atas maraknya praktik kebohongan yang disebarkan melalui internet dan media sosial. Dampak yang ditimbulkan tidaklah sederhana karena kabar bohong berpotensi menimbulkan keresahan dan perpecahan di antara anak bangsa.

Setelah melalui kajian mendalam dari berbagai rujukan kitab, Bahtsul Masail yang menghadirkan Rais Syuriyah PCNU Pati KH Aniq Muhammadun tersebut dengan tegas mengharamkan praktik hoaks, termasuk menyebarkannya untuk keperluan kampanye dalam konteks pemilihan umum.

Hoaks ini bukan perkara baru. Ia sudah ada sejak zaman Nabi Adam ketika menerima informasi yang diciptakan oleh Iblis untuk memetik dan memakan buah khuldi. Ketika Indonesia berada ada masa-masa penjajahan, para pahlawan juga kerap menerima dan terjebak hoaks oleh penjajah.

Sejumlah Pahlawan Kemerdekaan Indonesia terjebak oleh bujuk rayu dan tipu muslihat penjajah Belanda yang awalnya menawarkan perdamaian, tetapi berujung penangkapan. Hal ini menimpa Pangeran Diponegoro saat Belanda merasa kewalahan dalam Perang Jawa (1825-1830 M), selain itu Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain-lain.

Tipu muslihat dan kebohongan atau yang saat ini familiar disebut hoaks menjadi salah satu senjata ampuh karena Belanda memahami karakter bangsa Indonesia yang cenderung terbuka terhadap jalan keluar terbaik. Senjata hoaks ini juga menimpa perjuangan para kiai ketika berhadapan dengan penjajah Belanda dan Jepang.

Salah satu sorotan menarik penjajah Belanda yaitu ketika umat Islam dari berbagai jalan pemikiran dan madzhab membentuk perkumpulan atau organisasi. Memang, di satu sisi Belanda juga mempunyai rasa khawatir dengan perkumpulan-perkumpulan tersebut. Karena menyebabkan mereka semakin kuat dalam hal doktrin dan konsolidasi.

Kekhawatiran munculnya perlawanan dari kaum pribumi melalui berbagai organisasi seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan organisasi Islam lainnya juga menjadi alasan Belanda mencari celah untuk melawan mereka. Melawan secara frontal tentu tidak akan dilakukan Belanda karena bisa memunculkan perlawanan yang lebih dahsyat dari rakyat pribumi.

Belanda melihat celah di mana setiap organisasi mempunyai pandangan-pandangan tersendiri perihal paham keagamaan dan madzhab. Mereka dilihat Belanda juga sering berbeda pendapat bahkan saling ‘serang’ argumen sehingga tak jarang menimbulkan friksi atau gesekan.

Untuk menjalankan misinya itu, Belanda kerap mencampuri urusan agama, melakukan politik adu domba, dan kebohongan. Namun, strategi adu domba belum juga membuahkan hasil yang diharapkan sehingga langkah akhirnya mereka lakukan ketika menyebarkan tulisan-tulisan atau kabar bohong (hoaks) yang cenderung menghina prinsip ajaran Islam.

Namun, perdebatan dan pertengkaran di antara umat Islam dari berbagai perkumpulan organisasi lewat politik adu domba pun semakin memberikan sinyal bahwa Islam harus bersatu melawan penjajah Belanda.

Nahdlatul Ulama (NU) dalam forum Muktamar tahun 1936 di Banjarmasin menegaskan pentingnya persatuan umat Islam untuk melawan berbagai propaganda Belanda. Rais Akbar NU KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) memanfaatkan forum tertinggi di NU tersebut untuk menggaungkan tali kuat persatuan di kepada para peserta Muktamar dan umat Islam pada umumnya, baik dari golongan ulama maupun masyarakat umum.

Dalam amanatnya, Kiai Hasyim Asy’ari menyerukan terjalinnya persatuan umat Islam dan membunag jauh pertengkaran soal khilafiyah guna menghadapi siapa saja yang sengaja memusuhi Islam, terutama kaum penjajah. Kiai Hasyim (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) mengatakan:

Wahai sekalian ulama yang berta’assub kepada sebagian madzhab atau qaul ulama, tinggalkanlah ta’assub kalian terhadap perkara-perkara furu’ (cabang).

Kiai Hasyim berpandangan, sebesar apapun kepentingan suatu kelompok, jika hanya memunculkan perpecahan di antara umat Islam Indonesia harus segera diakhiri untuk prospek perjuangan yang lebih besar mengingat bangsa Indonesia masih terjajah oleh Belanda kala itu. Apalagi pemicu perpecahan dari intrik-intrik yang dilakukan penjajah.

Untuk memperkuat persatuan tersebut, langkah tindak lanjut dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari ketika NU menyelenggarakan Muktamar ke-12 tahun 1937 di Malang, Jawa Timur. Kiai Hasyim mengajak golongan Islam manapun untuk ikut menghadiri Muktamar NU tersebut. Ajakan itu tertulis dalam sebuah undangan yang berbunyi:

“.....kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita bermusyawaralah tentang apa-apa yang terjadi baiknya agama dan umat, baikpun urusan agamanya dan dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan...”

Seruan dan ajakan Kiai Hasyim Asy’ari selaku pemimpin tertinggi NU itu cukup mengetuk kesadaran seluruh pemimpin perkumpulan Islam. Jika sejak 1927-1936 tidak lagi terdengar kegiatan Kongres Al-Islam (setelah Muktamar Dunia Islam di Mekkah tahun 1926 diubah namanya menjadi MAIHS, Muktamar ‘Alam Islami Far’ul Hidis Syarqiah), yang biasanya diprakarsai Syarikat Islam dan Muhammadiyah, maka sejak ada seruan Kiai Hasyim itulah usaha untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa persatuan dan melepaskan simpul-simpul pertengkaran, mulai tampak dirintis kembali atas kepeloporan Kiai Hasyim.

Upaya Kiai Hasyim tidak hanya berhasil menyatukan seluruh komponen umat Islam, tetapi juga mampu mengikis usaha Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia. Karena walau bagaimana pun, seluruh elemen masyarakat masih menjadikan ulama dan kiai sebagai tokoh panutan dan subjek utama untuk dimintai pandangan dan pemikirannya. Hal ini menjadikan titik utama kenapa Belanda berupaya menggemboskan peran dan posisi ulama dengan menjadikan mereka terus bertengkar lewat kabar-kabar bohong.

Tidak hanya di zaman penjajahan Belanda, saat Pasukan Nippon (Jepang) datang menjajah Indonesia, negeri matahari terbit ini juga menyasar pergerakan KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Aksi kebohongan Jepang ialah melontarkan tuduhan dan fitnah kepada Kiai Hasyim soal pemberontakan rakyat di Desa Cukir, Jombang.

Dengan bekal kabar bohong yang sampai di telinga para petinggi Jepang di Jakarta, pasukan Nippon bergerak ke Jombang untuk menangkap Kiai Hasyim Asy’ari atas tuduhan pemberontakan di Cukir. Atas tindakan semena-mena tersebut, santri Tebuireng tidak tinggal diam. Mereka melawan dan mencegah penangkapan gurunya itu.

Namun, Kiai Hasyim bersedia ditangkap, bukan karena dia salah tetapi untuk keselamatan pesantren dan santri secara luas. Peristiwa ini sekaligus memberikan pelajaran berharga untuk KH Wahid Hasyim dalam berdiplomasi dengan penjajah. Dibantu KH Wahab Chasbullah, Gus Wahid berhasil membebaskan ayahnya dari penjara dan siksa tentara Jepang. (Fathoni Ahmad)