Opini

Usep Romli HM, Dongeng Pesantren, dan Ensiklopedia NU

Kamis, 9 Juli 2020 | 11:00 WIB

Usep Romli HM, Dongeng Pesantren, dan Ensiklopedia NU

Usep Romli HM tercatat dalam "Ensiklopedia Nahdlatul Ulama" yang diterbitkan PBNU. Pada 2014, PBNU menetapkan Usep sebagai penerima Hadiah Asrul Sani kategori Kesetian Berkarya

Oleh Abdullah Alawi 


Sebelum bisa membaca, saya sering dibacakan dongeng-dongeng berbahasa Sunda oleh bibi, ibu, dan sepupu-sepupu yang sudah sekolah. Buku-buku itu sepertinya dipinjam dari sekolah, dikembalikan, kemudian dipinjam lagi oleh sepupu yang lain. Mungkin tak banyak buku di sekolah itu sehingga bukunya itu-itu juga. 


Kemudian, entah bagaimana ceritanya ketika saya bisa membaca buku itu ada tempat saya mengaji. Saya masih ingat buku yang dibacakan itu adalah Wawacan Lutung Kasarung, Di Pipir Tajug, Dongeng-dongeng Araheng, dan Nyi Kalimar Bulan. Waktu itu saya tak memperhatikan pengarang. Belakangan, dua buku terakhir itu pengarangnya adalah Usep Romli HM, yang tutup usia kemarin, Rabu (8/7). Waktu itu, saya tak pernah sedikit pun berpikir bisa bertemu dengan penulisnya. Seorang penulis buku, bagi saya, adalah sesuatu yang tak terjangkau, berada nun jauh di sana. Dan saya, tak menyisakan harapan sama sekali untuk menemuinya. 


Novel Bentang Pasantren 
Namun, setelah dewasa, tepatnya 2011, saya bertemu dengan katalog sebuah toko buku. Di situ ada novel Bentang Pasantren. Sebagai seorang pernah menjadi santri, saya tertarik membelinya. Apalagi pengarangnya adalah nama yang terkait ingatan masa kecil saya. Ya, Usep Romli HM. Dari karya itulah saya bisa memastikan bahwa Usep Romli HM berlatar belakang pesantren. Orang yang begitu paham tentang seluk-beluk kehidupan pesantren, ya seorang santri.  


Di dalam novel itu, Usep Romli HM menggambarkan ekspresi cinta khas santri. Namun, tentu saja ekspresi yang lain dari luar pesantren. Sebagai lembaga pendidikan agama yang ketat, seorang santri, terutama di pesantren salafiyah, punya cara sendiri mengekspresikannya.


Novel ini mengisahkan seorang santri bernama Aep. Ia jatuh cinta kepada putri ajengan bernama Imas. Selain cantik jelita, Imas juga ahli qira’ah bersuara merdu. Suaranya mirip Rofiqoh Darto Wahab (penyanyi irama kasidah yang berlatar belakang pesantren yang populer tahun 60 hingga 80-an).


Namun, tata tertib pesantren sangat ketat. Jangankan bercengkrama, pergi jalan-jalan, main TikTok atau ngevlog atau pergi ke bioskop, untuk sekadar melihat wajah, susahnya bukan main. Tapi cinta ya cinta. Muskil obatnya. Harap pengap selalu menggelayuti dada Aep. Cemas, hasrat, campur-baur setiap malam. Dalam bahasa santri ia masuk ke dalam kategori, ti beurang ngaji tabarok, peuting ngaji saepi. Ti beurang asa paamprok, ti peuting kaimpi-impi (siang hari selalu ingin bertemu, di malam hari terbawa mimpi).  


Aep makin gelisah ketika tahu santri-santri senior dan bahkan lurah santri juga menaruh hati kepada Imas. Aep tahu hal itu dari kasak-kusuk temannya, diam-diam mereka sudah lebih dulu mengirim surat cinta kepada Imas. Ya, namanya juga bentang pasantren, apalagi anak ajengan. 


Suatu ketika, tanpa disengaja, Aep bertemu Imas yang ditemani santri putri. Saat itulah Aep bertatapan dengan Imas. Ternyata Imas membalas tatapannya. Aep seketika tersihir dan terpana, tapi sejurus kemudian ia kabur. Tak dinyana, pertemuan itu dilaporkan santri lain kepada lurah santri. Meski hanya bertatapan, Aep di-ta’jir (dihukum), rambutnya dibotak sebelah.  


Aep panas hati. Tapi melampiaskannya dengan cara benar. Ta’jir memicunya semangat mengaji. Ia melalap kitab-kitab yang diajarkan. Karena ketekunannya, dalam waktu cepat, ia punya kesempatan untuk sorogan secara khusus kepada Mama Ajengan. 


Nah, pada setiap sorogan ke Mama Ajengan itulah Aep merasa selalu ada suara berjinjit di pelupuh, kemudian ia merasa ada mengintip di balik gorden.   


Jeung nu kacida nguntungkeun, eta saban-saban kuring rek asup ka kamar panglinggihan Mama nu husus diangge tempat anjeuna ngawuruk, jeung nyimpen kitab, reregan kamar sagigireuna sok katenjo oyag-oyagan. Lebah dinya sok katenjo aya teuteup ngajorelat, nyerangkeun saliwat, samemeh ngelok ka jero. (halaman 56-57) 


(Yang menguntungkan, setiap aku masuk ke kamar ajengan, khusus tempat sorogan, dan menyimpan kitab, gorden kamar sebelah tampak bergoyang-goyang. Di situlah Aep mendapati tatap selintas, kemudian hilang).  


Meski tak jelas benar, Aep yakin suara pelupuh, gorden bergoyang dan pengintip itu adalah Imas. Bentang pasantren pujaan hatinya, putri ajengan yang bersuara merdu. Dan ia yakin itu pertanda cintanya gayung bersambut, kata berjawab. Berdasar keyakinan ini, ia makin semangat mengaji.


Tercatat di Ensiklopedia NU 
Pada 2011, Hamzah Sahal, bercerita bahwa di PBNU akan menerbitkan Ensiklopedia NU. Ia meminta usulan entri dari Sunda. Selain ajengan-ajengan sohor, saya mengusulkan Usep Romli HM. Pasalnya dalam sebuah buku, ia mencantumkan pernah aktif di IPNU dan GP Ansor. Hamzah Sahal menerimanya. Namun, ia membebankan saya untuk menulisnya. Beruntung saya punya satu sumber, Apa Siapa Orang Sunda. Saya mengakses pula Ensiklopedia Sunda di perpustakaan UIN Jakarta. Usep Romli HM tercatat di keduanya.  


Entri Usep Romli HM ada dalam Ensiklopedia NU. Ia tercantum di antara para ulama kesohor NU dan tokoh Ahlussunah wal Jamaah, mulai Syaikhona Cholil, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Syekh Yasin Padani, hingga KH Said Aqil Siroj. 


Namanya ensiklopedia, tentu yang ditulis bukan hanya orang, tapi tradisi, karya, tempat, dan peristiwa. Saya diminta juga mengusulkan tradisi dari Sunda. Saya kemudian ingat salah satu kebiasaan di pesantren terkait makanan. Di antara entri-entri lain, saya mengusulkan adrahi. Usul saya kembali disetujui. Lagi-lagi saya dibebani untuk menulisnya.  


Untuk entri ini, saya menyampaikan penjelasan demikian, istilah khas pesantren Sunda, terutama di wilayah Priangan. Mengacu pada oleh-oleh (biasanya makanan) yang dibawa seorang santri ketika datang ke pesantren. Berbagai pesantren memiliki istilah sendiri, di Sukabumi, tepatnya di Pesantren Siqoyaturahmah, Selajambu, misalnya disebut halawa. Sedangkan di Pesantren As-Salafiyyah Nurul Hikmah Parungkuda disebut japuk. Di pesantren lainnya disebut gonimah. Bahkan, ada yang menyebutnya kemek, berkat atau barokatuh. Mungkin ada istilah-istilah lain. Tapi adrahi istilah lebih umum dan luas. Rata-rata santri mengetahuinya. Namun, saya tak menemukan kata ini secara etimologis sehingga tak mencantumkannya.  


Penjelasan selanjutnya tentang adrahi itu adalah demikian, hidup bersama dalam mencari ilmu tak luput dari keprihatinan. Kebersamaan di pesantren tradisional dengan bimbingan ajengan benar-benar terjalin kuat. Persaudaraan tetap terjalin karena mereka mengutamakan prinsip kerja sama dan tolong-menolong. Hal itu merupakan perintah Allah Swt. (Q.S. al-Ma'idah: 2) dalam kebajikan dan takwa. Salah satu rasa kebersamaan itu terlihat dalam cara makan yang dilakukan para santri. Empat atau lima santri menggabungkan beras untuk ditanak pada satu kastrol, yang dinamakan nasi liwet. Setelah masak, nasi dihamparkan di atas nampan atau daun pisang, lalu dimakan bersama; yang tidak ikut iuran pun boleh menikmati. Mereka makan dengan lahap kendati lauknya seadanya, misal ikan teri dan sambal goang (sambal cabe rawit dan bumbu garam).


Dalam jangka waktu tak ditentukan, santri pulang untuk mengambil perbekalan. Menjadi kesepakatan tak resmi bahwa ia ”wajib” membawa adrahi. Jika tidak,ia akan mendapat gelar qorun alias kikir, pelit, dan tidak mau berbagi. Apalagi jika ia membawa adrahi tanpa mau berbagi. 


Adrahi biasanya berupa nasi timbel dengan lauk-pauk yang tersedia di rumah santri. Ada juga yang berupa kue-kue tradisional seperti opak, ulen, rengginang, sale pisang, goreng jarangking, tape singkong, bugis, rebus ubi jalar, atau serundeng, dan lain-lain.


Deskripsi itu saya olah dari pengalaman pribadi dan bacaan. Dalam hal ini, lagi-lagi saya berutang budi kepada Usep Romli HM. Sebagai berlatar belakang pesantren, ia pernah menulis sebuah artikel tentang adrahi, kalau tidak salah di Pikiran Rakyat, dengan judul Pesantren, dari "Adrahi" hingga Kartu ATM. 


Penulis adalah Nahdliyin kelahiran Sukabumi tinggal di Kabupaten Bandung, pernah nyantri di Pondok Pesantren Asy-Syarifiyah dan Assalafiyah Nurul Hikmah