Opini

Virus Corona dan Fenomena Bid’ah Baru

Senin, 4 Mei 2020 | 12:30 WIB

Virus Corona dan Fenomena Bid’ah Baru

Wabah kali ini bukan sekadar berdampak pada kesehatan masyarakat tapi juga rutinitas keseharian, termasuk dalam ibadah.

Virus Corona itu teramat kecil tetapi efeknya teramat besar. Hampir seluruh aspek kehidupan termasuk aspek keagamaan terdampak oleh virus ini yang dikenal dengan Covid-19, akronim dari Coronavirus decease 2019. Angka 2019 menunjukkan tahun munculnya virus ini untuk pertama kali di muka bumi ini, yakni di Wuhan, Hubei, China, pertengahan November lalu. Jadi virus Corona jenis ini memang benar-benar baru yang belum pernah muncul di masa-masa sebelumnya. Sebagai virus baru, Corona memunculkan fenomena baru, yakni cara baru beribadah dalam shalat berjamaah di kalangan umat Islam yang saya menyebutnya bid’ah baru.

 

Mengapa saya menyebutnya bid’ah baru bukankah setiap bid’ah itu pasti baru? Jawabnya karena cara baru beribadah yang saya maksud itu merupakan fenomena bid’ah paling gres yang tidak pernah muncul di zaman-zaman sebelumya. Ia baru muncul secara resmi pada tahun 2020 ini. Tepatnya sejak MUI Jember mengeluarkan taushiyah tentang shalat berjamaah di masjid di tengah wabah virus Corona di mana jarak antarjamaah adalah minimal 1 meter.

 

Beda Pusat dengan Daerah

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember pada 26 Maret 2020 mengeluarkan taushiyah bahwa masjid boleh menyelenggarakan shalat Jumat dengan mengikuti ketentuan protokoler pencegahan Covid-19 (Merdeka.com, 27 Maret 2020), yakni menerapkan shaf atau barisan shalat berjamaah dengan jarak yang sesuai dengan aturan social distancing, yakni minimal 1 meter jarak antarjamaah.

 

Taushiyah tersebut kemudian menjadi rujukan banyak masjid untuk tidak melaksanakan apa yang difatwakan MUI Pusat yang mengimbau umat Islam untuk shalat Dhuhur di rumah sebagai ganti shalat Jumat di masjid terutama untuk daerah-daerah yang sudah dinyatakan zona merah virus Corona. Jadi sebetulnya ada ketidaksamaan meski tidak frontal antara MUI Pusat dengan MUI daerah, terkait pelaksanaan shalat Jumat di tengah ancaman wabah virus Corona.

 

Ketidaksamaan fatwa antara lembaga di tingkat pusat dengan di daerah juga terjadi di kalangan Nahdliyin. PBNU lewat Lembaga Bahtsul Masail (LBM) pada tanggal 19 Maret mengeluarkan imbauan yang sejalan dengan MUI Pusat (NU Online, 27 Mar 2020). Tetapi PCNU Surabaya mengambil sikap yang kurang lebih sama dengan MUI Jember (Republika.co.id, 27 Mar 2020) walaupun tetap mempersilakan bagi yang memilih shalat Dhuhur di rumah sebagai ganti shalat Jum’at di masjid.

 

Ketidaksamaan itu mengakibatkan banyak masjid di wilayah itu dan wilayah-wilayah lainnya mengikuti Fatwa MUI Pusat dan imbauan PBNU, di satu sisi. Di sisi lain, juga banyak masjid mengikuti taushiyah MUI Jember, PCNU Surabaya yang tetap menyelenggarakan shalat Jumat di masjid dengan mengikuti aturan social distancing di mana jarak antarjamaah adalah minimal 1 meter.

 

Cara beribadah seperti itulah yang saya maksudkan dengan bid’ah baru terlepas apa kategorisasinya, apakah bid’ah wajib, bid’ah sunnah, bid’ah mubah, bid’ah makruh, ataukah bid’ah haram. Atau dalam kategorisasi yang lebih simpel, apakah bid’ah sayyi’ah ataukah bid’ah hasanah. Dalam hal ini saya tidak akan melakukan kategorisasi dan biarlah menjadi pembahasan para ahli fiqih yang mumpuni dan kredibel.

 

Dalil yang saya gunakan untuk menyatakan bahwa shalat berjamaah dengan menerapkan aturan social distancing di mana jarak antarjamaah minimal 1 meter sebagai bid’ah baru adalah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai berikut:

 

)وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد

 

Artinya: Dari sahabat Anas radliyallahu ‘anh, Rasulullah bersabda, “Susunlah shaf kalian (sehingga tidak ada celah dan longgar), dekatkanlah antara keduanya (antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya),” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).

 

Jadi shalat berjamaah dengan menerapkan aturan social distancing di mana jarak antarjamaah minimal 1 meter memang sesuatu yang baru dan sangat mungkin baru ada di zaman Corona ini. Cara beribadah seperti ini diakui atau tidak berbeda dengan tuntunan Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas dan karenanya saya menyebutnya sebagai bid’ah baru. Persoalan apakah hal itu merupakan bid’ah sayyi’ah ataukah bid’ah hasanah tentu bisa diperdebatkan.

 

Dalam kaitan itu, Ketua MUI Kalimantan Utara KH. Zainuddin Dalila tidak sependapat dengan fenomena jamaah shalat yang dilaksanakan sesuai dengan aturan social distancing di mana jarak antarjamaah diatur minimal 1 meter. Menurutnya aturan shalat berjamaah harus tetap mengacu pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni rapat antarjamaah. Untuk itu beliau setuju untuk sementara waktu jamaah shalat di masjid ditiadakan dan sebagai gantinya diadakan di rumah masing-masing.

 

KH. Zainuddin Dalila memang tidak menyebut shalat berjamaah dengan aturan social distancing sebagai bid’ah tetapi dengan tegas menolaknya karena tidak sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga beliau turun ke jalan di depan Masjid Baburrahmat, Kelurahan Sebengkok, Kota Tarakan untuk mengingatkan masyarakat agar tidak Jumatan di masjid karena adanya ancaman wabah virus Corona, di samping alasan lain yakni adanya penerapan social distancing dalam cara berjamaah (Detik.com, 26 Apr 2020).

 

Tetapi menurut KH Abdul Aziz Ahmad, SH, Wakil Rais Syuriah PCNU Surakarta shalat berjamaah dengan menerapkan aturan social distancing bukan merupakan bid’ah terlarang tetapi bid’ah hasanah karena demi kemaslahatan. Hal ini ia sampaikan menanggapi pernyataan penulis dalam grup WA bahwa shalat berjamaah dengan menerapkan aturan social distancing adalah bid’ah baru.

 

Jika ada bid’ah baru pastilah ada bid’ah lama. Memang benar demikian, dan yang saya maksud dengan bid’ah lama adalah praktik bid’ah yang sudah ada sebelum munculnya virus Corona. Contoh bid’ah lama adalah shalat tarawih berjamaah di masjid dengan jumlah rakaat sebanyak 20 sebagaimana diprakarsai Khalifah Umr bin Khaththab. Atau bid’ah yang sudah muncul di zaman para Wali Songo, yakni tahlilan. Kedua bid’ah ini masuk dalam kategori bid’ah hasanah sebagaimana istilah yang digunakan Imam Syafi’i.

 

Kita sepakat bahwa sesuatu yang baru dalam kaitan dengan ibadah adalah bid’ah, namun kita tidak sepakat bahwa setiap baru adalah dhalalah karena faktanya ada bid’ah-bid’ah yang bisa dibenarkan seperti pembukuan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf. Contoh lain adalah shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, dan yang terbaru adalah shalat berjamaah dengan jarak yang diatur sesuai dengan protokol kesehatan, yakni 1 meter minimal jarak antarjamaah.

 

Contoh terbaru tersebut tentu akan menjadi fenomena bid’ah baru yang tidak dhalalah tetapi bid’ah hasanah sebab social distancing diterapkan demi kemaslahatan bersama secara medis, yakni mencegah kerusakan jiwa sebagaimana direkomendasikan para ahli di bidang kesehatan dan didukung ulama sebagaimana pernyataan KH Abdul Aziz Ahmad, SH, Wakil Rais Syuriah PCNU Surakarta di atas.

 

Sikap Ulama Arab Saudi

Sejauh ini, ulama dan pemerintah Arab Saudi menangguhkan shalat berjamaah seperti shalat Jumat dan shalat lima waktu di seluruh masjid di wilayah Kerajaan kecuali Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah (NU Online, 18 Maret 2020). Demikian pula shalat tarawih berjamaah juga ditiadakan kecuali Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah (NU Online, 21 April 2020).

 

Kebijakan itu kental dengan alasan kesehatan atau medis yang direkomendasikan para dokter dan ulama demi keselamaan jiwa bersama. Sejauh ini belum ada satu pun berita yang menyebut bahwa kerajaan itu memilih kebijakan menangguhkan shalat berjamaah di seluruh masjid dan bukannya memilih alternatif tetap mengadakannya tetapi dengan menerapkan social distancing di mana jarak antar jamaah minimal adalah 1 meter disebabkan takut melakukan bid’ah.

 

Mungkin bagi para ulama Arab Saudi alternatif tersebut dipandang sebagai bid’ah dhalalah karena dianggapnya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam sehingga dihindari. Maka bisa dimegerti praktik jamaah shalat tarawih di masjidil Haram yang diimami Syekh Abdurrahman As-Sudais sebagaimana tayangannya bisa disaksikan di You Tube tidak menerapkan aturan social distancing di mana jarak antarjamaah minimal 1 meter. Para jamaah tetap rapat antara satu dengn lainnya seperti dalam kondisi normal.

 

Hal semacam itu sebenarnya riskan terhadap penularan virus Corona antarjamaah sebagaimana diyakini para ulama Arab Saudi sendiri sehingga mendasari dikeluarkannya kebijakan menangguhkan jamaah shalat di seluruh masjid di wilayah kerajaan itu untuk sementara waktu. Namun mengapa prinsip yang sama tidak terapkan dalam kaitannya dengan jamaah shalat di Masjidil Haram?

 

Menurut hemat saya, jamaah tarawih di Masjidil Haram yang terpaksa diadakan karena ada alasan-alasan tertentu yang cukup kuat lebih baik dilaksanakan dengan menerapkan aturan social distancing. Bagaimanapun cara ini lebih aman. Dari perspektif pribadi saya, cara ini akan lebih bermafaat karena akan menjadi rujukan baru di kalangan umat Islam bahwa tidak setiap bid’ah adalah dhalalah. Hadits Rasulullah shallahu alaihi wa sallam tentang bid’ah memang harus dipahami seperti itu baik secara tekstual maupun kontekstual.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.