Opini

Virus Corona dan Kafir Kuadrat

Sabtu, 25 April 2020 | 12:00 WIB

Virus Corona dan Kafir Kuadrat

Virus Corona tak cuma mengganggu kesehatan tapi juga suasana kebatinan masyarakat terkait rutinitas ibadahnya.

Merebaknya virus Corona di seluruh dunia yang hingga kini di Indonesia saja telah merenggut lebih dari 700 jiwa manusia telah menimbulkan keprihatian mendalam bagi seluruh lapisan masyarakat global karena wabah ini tidak pandang bulu berdasarkan ras, suku, agama, dan kebangsaan. Musibah besar ini tidak saja berdampak langsung terhadap aspek kehidupan masyarakat dalam bidang kesehatan, tetapi juga dalam aspek sosial keagamaan.

 

Salah satu contoh aspek sosial keagamaan yang terdampak adalah terjadinya seorang khatib Jumat di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, dipolisikan oleh masyarakat pada tanggal 3 April karena telah meresahan masyarakat. Sang khatib dalam khutbahnya mengatakan bahwa seseorang bakal menjadi kafir kalau tidak melaksanakan shalat Jumat sebanyak tiga kali secara berturut-turut. Pernyataan itu ia dasarkan pada pemahamannya atas hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi sebagai berikut:

 

مَنْ تَرَكَ الجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِه

 

Artinya, “Siapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi, At-Thabarani, Ad-Daruquthni).

 

Hadits tersebut sudah pasti tidak salah, tetapi pemahaman atasnya oleh khatib tersebut bermasalah sebab ia tidak bisa melihat bahwa wabah virus Corona yang terbukti sangat berbahaya ini sudah cukup menjadi alasan syar’i untuk tidak melaksanakan shalat Jumat di masjid sebagaimana imbauan para umara dan ulama terkemuka dari tingkat nasional hingga internasonal dan sebagai gantinya masyarakat diimbau untuk shalat dzuhur di rumah masing-masing.

 

Dengan pemahaman yang bermasalah itu sang khatib dalam khutbahnya mungkin bermaksud menyindir sekaligus memperingatkan umat Islam di sekitar masjid yang tidak melakukan shalat Jumat hingga tiga kali agar segera kembali melaksanakannya sebagaimana biasa dalam situasi normal. Memang di lapangan imbauan para umara dan ulama di atas tidak disikapi secara tunggal oleh para pengurus masjid. Ada yang tetap menyelenggarakan shalat Jumat, dan ada pula yang meliburkannya. Hal ini tidak jarang menimbulkan sikap saling sindir di antara jamaah masjid masing-masing

 

Tentu saja sindiran itu sangat meresahkan masyarakat yang mendengarnya lantaran mereka tidak mau dikafir-kafirkan begitu saja. Bukankah mereka tidak melaksanakan shalat Jumat itu didorong oleh niatnya untuk mematuhi imbauan para umara dan ulama seperti yang tergabung dalam PBNU, MUI, Muhammadiyah, DMI, dan ulama yang tergabung dalam Haiah Kibaril Ulama al-Azhar (Ikatan Ulama Besar al-Azhar) Kairo Mesir?

 

Untunglah sang khatib kemudian menyadari kesalahannya di dalam kantor polisi dan meminta maaf kepada umat Islam di Lombok Tengah sehingga ia akhirnya dibebaskan. Peristiwa ini hendaklah menjadi pelajaran bersama bahwa hadits Rasulullah di atas tidak boleh disampaikan begitu saja kepada masyarakat secara serampangan tanpa disertai penjelasan yang didasarkan pada pemahaman yang benar dari pihak-pihak yang tidak diragukan lagi kealiman dan kesalihannya, yakni para ulama yang kredibel.

 

Apalagi dalam situasi sekarang mempolitisasi hadits di atas untuk kepentingan tertentu dan bersifat sesaat tentu sangat tidak bijak karena hal ini hanya akan memperkeruh suasana ketenganan dalam masyarakat yang justru sangat dibutuhkan untuk memperkuat ketahanan mereka dalam menghadapi pertarungan melawan pagebluk virus Corona yang ujudnya teramat kecil namun efeknya teramat besar terhadap seluruh aspek kehidupan manusia.

 

6 Kali Tidak Shalat Jumat = Kafir Kuadrat?

Sejauh ini sudah enam kali Jumat saya tidak shalat Jumat di masjid sebab ingin mematuhi imbauan para ulama dan umara yang kredibel agar umat Islam untuk sementara waktu tidak Jumatan terutama bagi daerah-daerah yang sudah dinyatakan zona merah virus Corona oleh pihak yang berwenang seperti Solo dan sekitarnya.

 

Sampai pada hari Jumat kemarin saya masih kuat menahan keinginan kuat dalam hati untuk kembali ke masjid guna melaksanakan shalat Jumat. Lima kali absen dari Jumatan di masjid sudah cukup membuat hati ini merindukan rumah Allah itu. Tetapi sekali lagi saya masih ingin terus mematuhi imbauan para umara dan ulama karena situasi di Solo belum ada bukti-bukti bahwa pandemi virus Corona sudah mereda. Bahkan yang terjadi jumlah pasien positif Corona terus berrtambah dan jumlah yang meninggal dunia pun juga bertambah.

 

Apalagi pada hari Jumat kemarin diberitakan dalam sebuah media daring bahwa dua orang usia di bawah 10 tahun dinyatakan positif virus Corona. Ini artinya virus Corona sudah tidak lagi pandang umur seseorang. Selama ini yang positif terinfeksi virus ini adalah mereka yang berusia dewasa hingga tua. Dengan kejadiam ini masyarakat dituntut untuk lebih berhati-hati dengan mematuhui protokol kesehatan dengan mempraktikkan social distancing dan menerapkan gaya hidup sehat tanpa pandang usia.

 

Sebagaimana saya singgung di atas bahwa sejauh ini sudah enam kali Jumat saya tidak shalat Jumat di masjid. Sebagai gantinya saya shalat Dhuhur berjamaah di rumah bersama anak-anak dan sang bojo. Andaikan sang khatib sebagaimana disebutkan di atas belum ada perubahan dalam memahami hadits Rasululah shallallahu alaihi wasallam di atas dalam hubungannya dengan wabah virus Corona, sudah pasti dalam pandangannya saya dan anak–anak saya yang keduanya laki-laki adalah orang-orang kafir kuadrat. Na’udzubilahi min dzalik.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.