Pustaka

At-Tibyan, Kitab Karya KH Hasyim Asy'ari tentang Larangan Memutus Silaturahim

Kamis, 25 April 2024 | 23:00 WIB

At-Tibyan, Kitab Karya KH Hasyim Asy'ari tentang Larangan Memutus Silaturahim

Kitab at-Tibyan fî Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan. (Foto: NU Online)

Silaturahim adalah ibadah yang paling utama, sedangkan memutus silaturahim adalah perbuatan dosa yang tercela dan keburukan yang keji (kotor). Berlandaskan hal itulah, kiranya yang menjadikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) menulis kitab yang berjudul At-Tibyan fî Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan (Penjelasan tentang larangan memutus hubungan mahram, kerabat, dan persaudaraan).


Sekilas Kitab At-Tibyan fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan

Kitab ini adalah salah satu dari beberapa karya Hadratussyekh yang sangatlah banyak. Dalam karyanya ini, beliau memberikan peringatan kepada kita agar jangan sampai memutus silaturahim dan selalu menjaga silaturahim. Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1360 H. Bertempat di rumah beliau, yakni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.


Bagaimanakah yang dimaksud dengan memutus silaturahim?

Menurut Hadratussyekh, yang dimaksud dengan memutuskan silaturahim yang diharamkan adalah memutuskan tali persaudaraan yang telah dibina sebelumnya. Baik dalam masalah harta, surat atau saling mengunjungi.


Lebih jauh, menurut beliau, memutuskan hal tersebut tanpa adanya udzur syar’i termasuk dosa besar, sebab hal itu akan menyebabkan kegelisahan dan sakit hati. Selain itu, ia juga bisa menyebabkan kebencian dan saling menjauh. Tindakan yang benar adalah ketika seseorang putus tali silaturahim, ia segera menyambungnya.


Siapakah yang wajib ‘disambung’ dalam silaturahim?

Menurut Hadratussyekh, yang paling wajib dilakukan oleh manusia adalah menjaga silaturahim atau tali keluarga dengan orang-orang yang termasuk kategori mahram (orang yang haram dinikahi), antara lain saudara kandung, ayah, ibu, kakek, nenek dan terus ke atas, serta paman dan bibi. Lain halnya dengan anggota keluarga yang bukan mahram semisal sepupu, yang tak sampai pada level wajib.


Argumentasi larangan memutus silaturahim

Dalam menjelaskan larangan memutus silaturahim, beliau berargumentasi dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan riwayat hadits sekaligus memberikan interpretasi terhadapnya. Adapun beberapa ayat Al-Qur’an yang beliau kutip adalah sebagai berikut:


1. Surah an-Nisa ayat 1
 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا


Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. an-Nisa: 1)


Menurut Hadratussyekh, saat memberikan interpretasi terhadap ayat tersebut, jika seseorang mengetahui bahwa Allah swt sungguh mengawasi perbuatan-perbuatannya, mencatat dan memberi balasan setiap perbuatan itu, maka ia pasti akan kembali ke dalam petunjuk-Nya, menaati perintah-Nya dan ia akan benar-benar takut dari pedih siksa-Nya, serta takut terhijab (terhalang dari kasih sayang-Nya). Selain itu, lanjut Hadratussyekh, hal ini akan menjadikan seseorang menjaga silaturahim dan takut untuk memutuskannya.


2. Surah Muhammad ayat 22-24
 

فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْٓا اَرْحَامَكُمْ ۝٢٢ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فَاَصَمَّهُمْ وَاَعْمٰٓى اَبْصَارَهُمْ ۝٢٣ اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا ۝٢٤


Artinya: “Apakah seandainya berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaanmu? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah. Lalu, Dia menulikan (pendengaran) dan membutakan penglihatan mereka. Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad: 22-24)


3. Surah ar-Ra’du ayat 25
 

وَالَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللّٰهِ مِنْ ۢ بَعْدِ مِيْثَاقِهٖ وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِۙ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوْۤءُ الدَّارِ


Artinya: “Orang-orang yang melanggar perjanjian (dengan) Allah setelah diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (seperti silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itulah orang-orang yang mendapat laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (QS. ar-Ra’du: 25)


Mengenai kedua ayat di atas (Surat Muhammad dan ar-Ra’du), Hadratussyekh memberikan sebuah interpretasi bahwa barangsiapa yang memiliki sedikit saja kesadaran, kefahaman dan perhatian pada ayat-ayat ini maka ia pasti akan segera memperbaiki diri dari memutuskan silaturahim.


Bahkan, lanjut beliau, jika saja seseorang mau membuka mata hatinya, dan mensucikannya dari kotoran dan kekurangan, pasti ia akan memahami, hal-hal yang mendorongnya untuk melestarikan silaturahim dengan mencurahkan segenap kemampuan.


4. Surah al-Baqarah ayat 26-27
 

وَمَا يُضِلُّ بِهٖٓ اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ ۝٢٦ الَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مِيْثَاقِهٖۖ وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ۝٢٧


Artinya: “Namun, tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu, selain orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Baqarah: 26-27)


Dalam memberikan interpretasi ayat di atas, Hadratussyekh mengutip sebuah riwayat dari Muhammad Baqir ra. dari ayahnya, yakni Sayidina ‘Ali Zainal Abidin ra. berkata, “Janganlah kau bergaul dengan orang yang memutuskan silaturahim. Karena kutemukan mereka dilaknat di tiga tempat (dalam Al-Qur’an)”.


Ayat-ayat yang dimaksud, adalah:

  • Ayat dalam surat al-Qital (Surat Muhammad). Laknat dalam ayat tersebut sangat jelas.
  • Ayat dalam surat ar-Ra’d. Laknat dalam ayat ini menggunakan dalalah (petunjuk) yang umum. Karena dalam ayat itu ada 3 hal menyebabkan laknat Allah. Pertama, merusak perjanjian dengan Allah. Kedua, memutuskan hal yang harus disambungkan, dan ketiga, membuat kerusakan di bumi. Sedangkan silaturrahim, menurut Hadratus​​​​syekh, adalah termasuk dalam hal yang diperintahkan Allah untuk disambung.
  • Ayat dalam surat Al-Baqarah. Laknat dalam ayat ini menggunakan cara istilzam (ketetapan akibat). Maksudnya, dalam ayat ini Allah menetapkan orang-orang yang memutuskan silaturahim sebagai orang yang benar benar rugi.


Adapun hadits yang dijadikan argumen Hadratussyekh terhadap larangan memutus silaturahim sangatlah banyak, berikut adalah beberapa diantaranya:
 

ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَقَاطِعُ رَحِمٍ وَمُصَدِّقٌ بِالسِّحْرِ


Artinya: “Tiga orang yang tidak bisa masuk syurga, yaitu orang yang melanggengkan meminum khamr/ arak, orang yang memutus silaturahim dan orang yang membenarkan sihir
 

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُولُ: مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ


Artinya: “Sifat rahim itu digantungkan di ‘Arsy. Ia berkata : “Orang yang menyambungkan aku, maka Allah ta’ala menyambungkan (kasih SayangNya) dengan orang itu, dan orang yang memutuskan aku, maka Allah ta’ala pun memutuskan (kasih sayangNya) dengan orang itu”.


Perbedaan pendapat adalah rahmat

Di bagian akhir kitab, beliau memaparkan beberapa kisah perbedaan pendapat antar para sahabat, imam madzhab, dan para ulama yang tidak menjadikan perselisihan, namun malah menjadi rahmat.


Mereka semua berbeda pendapat dalam masalah yang banyak. Tetapi, meski demikian, hal tersebut tidaklah menjadikan mereka saling membenci, memusuhi dan menyalahkan satu sama lain, bahkan mereka saling mencintai, saling bersaudara dan saling mengutamakan.


Identitas Kitab
Judul Kitab: At-Tibyan fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan
Penulis: Hadratussyekh Hasyim Asy’ari
Tebal: 17 Halaman
Penerbit: Maktabah Turats Islami (Ponpes Tebuireng)
Tahun: 1418 H
Peresensi, M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo