Pustaka

KHR As’ad Syamsul Arifin dan Peneguhan Pancasila

Senin, 27 Januari 2020 | 16:30 WIB

KHR As’ad Syamsul Arifin dan Peneguhan Pancasila

Buku biografi KHR As'ad Syamsul Airifn Sukorejo, Situbondo dan pandangannya mengenai Pancasila.

Pancasila merupakan ideologi yang sudah final bagi masyarakat Indonesia. Sedari pendiriannya, lima sila inilah yang menjadi kesepakatan para perumus negeri ini sebagai falsafah bangsa. Ketika muncul adanya ajakan pemerintah untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi pertama yang menerimanya.

Adalah KHR As’ad Syamsul Arifin, salah seorang sosok sentral di balik penerimaan NU atas Pancasila itu. Ia tampil dengan datang menemui Presiden Soeharto guna klarifikasi atas maksud dari Pancasila tersebut, yakni memastikan bahwa ideologi yang terkandung tidak akan menggantikan agama Islam.

Kepastian itu diperolehnya sehingga ia memutuskan untuk menerima Pancasila. Abu Yasid menjelaskanya dalam buku K.H.R. As’ad Syamsul Arifin: Sejarah Hidup dan Pandangannya tentang Pancasila, Kajian Asas Pancasila Perspektif Maqashidus Syariah.

Pancasila merupakan jalan tengah di antara keinginan perwakilan Islam yang menginginkan negara berdasarkan Islam dan nasionalis yang enggan dengan hal itu. Sebab, Pancasila juga mengakomodasi agama, bahkan tidak hanya Islam, tetapi semua agama yang ada. Di sinilah Abu Yasid mengutip satu kaidah fiqih, meninggalkan kerusakan lebih didahulukan ketimbang melahirkan kemaslahatan.

Sebab, jika Pancasila tidak diterima sebagai jalan tengah, justru akan menimbulkan kemafsadatan berupa perpecahan yang tiada berujung, sementara kemerdekaan harus segera dideklarasikan dengan bentuk dan pondasi yang kuat. Hal ini senada dengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw saat perjanjian Hudaibiyah.

Kesepakatan para pendiri negeri ini akan Pancasila juga menjadi tanggung jawab bersama seluruh bangsa. Tak ayal, Abu Yasid juga menyebut bahwa adagium al-wafa bi al-‘ahdi, salah satu dari lima prinsip dasar umat terbaik (mabadi khaira ummah), yakni menepati janji menjadi salah satu dasar penerimaan Kiai As’ad. Sifat ini penting, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama Jilid 3, karena orang yang ingkar janji dan berkhianat disebut dalam Islam sebagai bagian dari tanda-tanda orang munafik.

Pandangan Kiai As’ad yang ini menunjukkan bahwa ia tidak saja mendasari penerimaannya itu dengan perspektif keagamaan saja, tetapi juga sosial historis. Pasalnya, Pancasila digali, meminjam istilah Sukarno, tidak hanya oleh kaum nasionalis, tetapi juga agamawan yang di antaranya adalah KH Abdul Wahid Hasyim, seorang putra gurunya, yakni Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Bahkan, pandangan personal Kiai As’ad itu juga dikukuhkan menjadi pandangan komunal secara organisasi yang diputuskan di pondok pesantren yang ia dirikan, yakni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada agenda Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983. Pandangan itu juga dipertegas saat Muktamar Ke-27 Nahdlatul Ulama Tahun 1984 di tempat yang sama.

KH Abdul Muchit Muzadi dalam NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (2006) menyampaikan tiga alasan NU menerima Pancasila. Pertama, NU saat pendiriannya tidak mencantumkan asas organisasi, melainkan langsung menyebut tujuannya. Hal ini berubah ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952 dengan mencantumkan asas Islam, sebagaimana partai lain mencantumkan ideologinya.

Kedua, Islam bukanlah ideologi, melainkan agama. Ideologi, jelasnya, merupakan hasil pemikiran manusia, sementara Islam langsung dari Allah swt. Tuhan semesta alam. Ketiga, lanjutnya, asas organisasi tidak harus agama, bisa berdasarkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kerakyatan, kekeluargaan, dan sebagainya.

Senada dengan Kiai Muchit, KH Saifuddin Zuhri dalam Mengamalkan Pancasila Tanpa Melepas Islam (1980) menulis bahwa Pancasila lahir dari pemikiran dan hasrat sedalam-dalamnya atau populer disebut falsafah, sedangkan Islam berasal dari Ilahi tanpa campur tangan manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelahiran Pancasila tidak menafikan agama. Hubungan keduanya tidak antagonistik, dalam arti tidak saling bertabrakan.

Pancasila memiliki nilai-nilai yang universal, seperti kemanusiaan, keadilan, dan kerakyatan. Universalitas Pancasila, sebagaimana disebutkan KH Masdar Farid Mas'udi dalam Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, merupakan wujud keimanan kepada Allah swt. Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu, menurutnya, sejalan dengan ikrar kepasrahan total yang biasa dilafalkan dalam shalat, tepatnya pada doa iftitah, bahwa segala ibadah dilakukan hanya kepada Allah swt.

Buku yang ditulis oleh Abu Yasid tersebut hanya menguraikan Pancasila secara umum sebagai satu kesatuan. Perspektif maqashidus syariah yang dijelaskan olehnya tidak merinci pada setiap silanya. Ia tidak berusaha masuk ke setiap sendi-sendi sila tersebut lebih mendalam. Dengan begitu, sebetulnya, penulis dapat lebih meyakinkan pembaca bahwa setiap sila yang ada memiliki nilai atau kandungan berdasarkan agama.

Meskipun demikian, buku yang ditulisnya ini menjadi penting untuk meneguhkan kita yang sudah meyakini Pancasila sebagai ideologi negara yang final. Pun mestinya juga bagi para penentang Pancasila, buku ini menjawab keraguan mereka. Karena secara global, kita diteguhkan bahwa Pancasila merupakan pilihan terbaik.

Terlebih di sini penulis juga mengulas secara mendalam kehidupan Kiai As’ad. Setiap langkah dan tarikan napasnya sangat mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, seperti ketaatannya kepada Tuhan, kemanusiaannya yang sigap membantu masyarakat dari kepungan koloni, dan sebagainya.

Peresensi Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Aktif sebagai Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).

Identitas Buku
Judul: K.H.R. As’ad Syamsul Arifin: Sejarah Hidup dan Pandangannya tentang
Pancasila, Kajian Asas Pancasila Perspektif Maqashidus Syariah
Penulis: Abu Yasid
Tebal: XVI+160 halaman
Penerbit: Emir
ISBN: 978-602-0935-86-7