Pustaka

Kitab Kanzun Najah was Surur, Himpunan Doa Karya Syekh Abdul Hamid Kudus

Jumat, 23 Februari 2024 | 15:00 WIB

Kitab Kanzun Najah was Surur, Himpunan Doa Karya Syekh Abdul Hamid Kudus

Kitab Kanzun Najah was Surur. (Foto: NU Online)

Doa merupakan simbol butuhnya hamba kepada Tuhannya. Dengan berdoa, tampak kelemahan seorang hamba di hadapan Tuhan, seolah ia tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya.


Bagi umat Islam, doa merupakan senjata dan harapan. Doa juga merupakan bentuk ibadah dan memuji Allah serta mengakui kebaikan-kebaikan dan anugerah yang telah diberikan kepadanya. (Ath-Thabrani, Kitabud Du’a, [Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1987], jilid I, hal. 53).


Selain bentuk dari cerminan lemahnya seorang hamba di hadapan Tuhan, doa juga dapat menjadi wasilah dicintainya seorang hamba oleh Allah. Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan, “Allah murka kepada siapapun yang tidak meminta kepada-Nya.”


Dengan demikian, berdoa dianjurkan bagi umat Islam, baik untuk meminta pertolongan, memohon diberikan sesuatu, meminta perlindungan dan keselamatan atau yang lainnya. Rasulullah saw pernah bersabda:


لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ


Artinya: “Doa seseorang senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturahim dan tidak tergesa-gesa.” Seorang sahabat bertanya; 'Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa? ' Rasulullah saw menjawab: 'Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan; 'Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan'. Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.' (HR Muslim).


Selanjutnya, dapat disebut bahwa doa adakalanya ma’tsur atau bersumber dari ayat-ayat Al-Quran atau hadits-hadits Nabi saw. Namun adakalanya murni dari perkataan seseorang misalnya tokoh yang disepuhkan sehingga lafaz doa tersebut diikuti oleh jamaah dan pengikutnya.


Beberapa ulama mencoba menghimpun doa-doa ma’tsur dalam satu kitab untuk disebarkan kepada umat Islam agar dapat diamalkan dan dibaca. Misalnya di antara kitab-kitab tersebut adalah Al-Adzkar karya an-Nawawi.


Dalam menyusun himpunan doa, para ulama memiliki kategori yang beragam. Ada yang menyusunnya secara tematik berdasarkan topik-topik tertentu, ada juga yang menyusunnya dengan model urutan waktu, seperti doa-doa atau zikir yang dapat diamalkan di pagi atau sore, atau di bulan-bulan tertentu.


Salah satu himpunan zikir dan doa al-ma’tsur yang ditulis dengan model ketentuan waktu di antaranya adalah Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyyah al-Ma’tsurah allati Tasyrahush Shudur karya Abdul Hamid bin Muhammad al-Makki asy-Syafi’i atau dikenal sebagai Syekh Abdul Hamid Kudus.


Syekh Abdul Hamid Kudus merupakan ulama yang mengajar di Masjidil Haram, di mana kala itu seorang alim yang sudah diamanahi mengajar di tempat tersebut sangat dihormati dan memiliki banyak murid yang mengaji kepadanya.


Ia merupakan seorang ahli fiqih, ushul, sastrawan sekaligus penyair. Bermazhab Syafi’i dan memiliki darah Hadramaut serta penisbatannya kepada beberapa tempat. Pertama al-Makki atau Makkah, tempat di mana ia lahir dan tumbuh. Kedua Kudus dan Indonesia, tempat di mana Syekh Abdul Hamid hijrah. (Syekh Abdul Hamid, Kanzun Najah, [Beirut: Darul Hawi, 2009], hal. 13).


Lahir pada tahun 1277, Abdul Hamid kecil banyak belajar dari para pengajar Masjidil Haram, termasuk ayahnya, Syekh Muhammad ‘Ali Kudus (w. 1293). Beberapa ulama yang menjadi gurunya adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Sayyid Bakri Syatha’, Sayyid Sulaiman al-Ahdal, dan lain-lain.


Bertahun-tahun mengembara mencari ilmu di Makkah hingga Mesir, Syekh Abdul Hamid mencapai kematangan dalam keilmuan dan diamanahi untuk mengajar di Masjidil Haram. Abdul Wahab Abu Sulaiman pernah bertutur, “Pengajar Masjidil Haram merupakan julukan akademik dan jabatan yang tinggi. Orang yang diberi amanah tersebut menjalan beberapa profesi seperti memberi fatwa, qadha (keputusan), menjadi imam, menyampaikan khutbah, dll.


Di antara karya-karya Syekh Abdul Hamid adalah adz-Dzakhairul Qudsiyyah fi Ziayarah Khayril Bariyyah, Fathul ‘Alil Karim fi Mawlidin Nabi, Irsyadul Muhtadi ila Syarh Kifayatil Mubtadi, al-Anwarus Saniyyah ‘alad Duraril Bahiyyah, Lathaiful Isyarat, dan masih banyak lagi termasuk kitab Kanzun Najah was Surur. 


Syekh ‘Abdul Hamid Kudus wafat di Makkah tahun 1334 H dengan umur mendekati 58 tahun dan disemayamkan di al-Ma’la, lokasi pemakaman yang berada di Makkah.


Selanjutnya terkait dengan kitab Kanzun Najah was Surur, Syekh ‘Abdul Hamid memulainya dengan hamdalah, kemudian shalawat kepada Nabi saw serta keluarga dan sahabat serta tabi’in. Setelah itu, ia memaparkan bahwa para ulama sudah sepatutnya menuangkan ilmu yang mereka miliki ke dalam bentuk tulisan agar dapat dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang.


Aku semampu dan sebisaku menapaki langkah para ulama [dalam menulis karya], semoga aku pun mendapatkan apa yang mereka dapat, berupa pahala dan kemanfaatan di tengah-tengah manusia. Aku menghimpun sesuatu yang telah aku baca, hingga ideku sampai pada penghimpunan zikir yang berasal dari Nabi....” Ujar Syekh ‘Abdul Hamid dalam mukadimah kitab ini.


Kitab ini diberi nama Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyyatil lati Tasyrahush Shudur atau dalam bahasa Indonesia berarti Himpunan harta karun keberhasilan dan kebahagiaan dalam doa-doa yang melapangkan hati.


Sebagaimana sub-judul kitab ini, “doa-doa pada beberapa hari di sebagian besar bulan-bulan dalam setahun [hijriyah],” Syekh ‘Abdul Hamid memulai amalan-amalan dan doa yang dapat diamalkan pada awal tahun atau bulan Muharram. Beliau menulis:


والدعاء في المحرم مأثور، وخيره موفور، ومما وجدته منه: أنه يقرأ أولاً قبل الدعاءين الآتيين: آية الكرسي ثلاث مئة وستين مرةً مع البسملة في كل مرة، وعند الفراغ من جميع ذلك يقول : الله يَا مُحَوّلَ الْأَحْوَالِ؛ حَوَّلْ حَالِي إِلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ ، بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ يَا عَزِيزُ يَا مُتَعَالٍ، وَصَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .


Artinya, “Doa pada bulan Muharram adalah ma’tsur dan kebaikan doanya berlimpah. Salah satu yang kudapati adalah membaca terlebih dahulu – sebelum dua doa yang akan disebutkan – ayat kursi sebanyak 360x, dengan mengucap bismillah di setiap kali membacanya. Setelah menyelesaikan semua itu, mengucapkan doa: ‘Wahai Yang mengubah keadaan-keadaan, ubahlah keadaanku kepada keadaan yang paling baik, dengan daya dan kekuatan-Mu wahai Yang Maha Mulia lagi Maha Luhur. Dan semoga Allah senantiasa bersalawat dan bersalam atas junjungan kita Nabi Muhammad dan atas keluarga dan sahabat beliau’.” (Syekh ‘Abdul Hamid, Kanzun Najah was Surur, hal. 67).


Melihat kepada kalimat penutup buku ini, terdapat keterangan bahwa Kanzun Najah selesai ditulis pada tahun 1333 hijriah. Kemudian terdapat sanjungan dan rekomendasi para ulama terhadap kitab ini, di antara mereka adalah Syekh Yusuf an-Nabhani, Syekh ‘Umar bin Muhammad Syatha’, Sayyid Husain bin Muhammad al-Habsyi, dan lain-lain.


Aku menemukan bahwa Kanzun Najah merupakan kitab yang bagus, penukilannya dinilai shahih, dalil dan landasannya jelas, semoga Allah membalas jasa penulis buku ini dengan balasan yang baik...” Ujar Syekh ‘Umar bin Muhammad Syatha’. (Syekh ‘Abdul Hamid, Kanzun Najah was Surur, hal. 311).


Dengan sentuhan spiritualnya, Kanzun Najah was Surur mengajarkan bahwa Allah memberikan keutamaan pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita dianjurkan untuk berdoa sebagaimana Rasulullah, para sahabat, para ulama dan orang-orang saleh berdoa kepada Allah. Wallahu a’lam


Identitas buku:


Judul : Kanzun Najah was Surur
Penulis : Syekh ‘Abdul Hamid bin Muhammad ‘Ali bin ‘Abdul Qadir Kudus al-Makki asy-Syafi’i
Tempat terbit :  Beirut
Penerbit : Darul Hawi
Tahun terbit : 2009
Tebal : 350 halaman


Peresensi, Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta