Pustaka

Melukis Wajah Kita di Media Sosial

Jumat, 22 Mei 2020 | 07:45 WIB

Melukis Wajah Kita di Media Sosial

Buku Panduan Bermuamalah melalui Media Sosial karya Asrorun Niam Sholeh. (Foto: dok. Penerbit Emir)

Kemunculan media sosial beberapa tahun lalu telah menjadi ruang baru untuk menjalin komunikasi antarindividu dan kelompok. Keberadaannya terus mengalami perkembangan yang signifikan setiap tahunnya. Terlebih di tengah mewabahnya pandemi saat ini yang diharuskan meminimalisasi pertemuan fisik, media sosial semakin kebanjiran penduduk. Bahkan, setiap orang tidak lagi cukup menjadi penghuni pada satu medsos saja, melainkan di beragam media.

Safko dan Brake, sebagaimana dikutip Amy Van Looy dalam Social Media Management, membagi media sosial ke dalam beberapa jenis, yakni (1) komunitas sosial seperti Facebook, (2) publikasi teks seperti blog, (3) mikroblog seperti Twitter dan Tumblr, (4) publikasi foto seperti Instagram dan Flickr, (5) publikasi audio seperti Podcast dan Spotify, (6) publikasi video seperti Youtube dan Vimeo, (7) gim seperti World of Warcraft, (8) RSS seperti RSS 2.0 dan Google FeedBurner, (9) live casting seperti Live365 dan Justin.tv, (10) kata virtual seperti Second Life dan Kaneva, (11) mobile seperti Foursquare dan Swarm, (12) produktivitas seperti Survey Monkey dan Dokumen Google, dan (13) aggregator seperti My Yahoo dan iGoogle (Cuma bertahan hingga 2013).

Saat ini, pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 150 juta berdasarkan penelitian We Are Social yang diriilis pada awal tahun 2019, dengan 130 juta pengguna media sosial aktif melalui ponsel. Artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia sudah berjejaring di media sosial. Belum ditambah dengan warga dunia lainnya.

Media sosial sebetulnya adalah wajah kita di dunia maya. Tidak satu dua orang di lingkungan kita saja yang dapat melihat aktivitas di sana, tetapi seluruh warga dunia yang terhubung dengan media yang sama. Karenanya, sudah sepatutnya kita dapat melukis wajah sendiri dengan sebaik mungkin. Bukan malah mencoreng-morengnya dengan hal-hal yang negatif.

Artinya, kita harus mengunggah konten-konten yang dapat melahirkan kemanfaatan bagi sesiapa saja yang melihatnya. Hal inilah yang ditekankan oleh Asrorun Niam Sholeh dalam bukunya Panduan Bermuamalah melalui Media Sosial. Setidaknya ada tiga poin penting yang ia tegaskan, bahwa bermedsos harus (1) meningkatkan keimanan dan ketakwaan, (2) memepererat persaudaraan sesama Muslim, anak bangsa, dan manusia, dan (3) memperkokoh kerukunan internal umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.

Ketiga hal tersebut tidak kita lihat pada konten-konten yang tidak mendidik seperti prank atau jebakan. Pada asalnya, konten demikian dibuat sebagai penghibur untuk penontonnya. Namun, hal itu kerap kali melukai orang yang ter(di)jebaknya, sebagaimana yang beberapa hari lalu viral mengenai pemberian kardus makanan yang ternyata hanya berisi sampah. Hal tersebut bahkan berujung ke jeruji besi bagi pelakunya.

Tak arif memang jika media sosial yang sebetulnya menjadi ajang silaturahim dan berbagi kebaikan, tetapi justru menjadikan sebaliknya, hal yang bernilai negatif. Karenanya, kehadiran buku yang ditulis oleh Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini muncul di waktu yang tepat.

Buku ini tidak saja menyajikan soal konten dan berinteraksi di dunia maya, tetapi juga dilengkapi dengan proses pembuatan kontennya, baik berupa tulisan maupun meme. Keduanya harus berisi padat dan inspiratif. Niam juga menunjukkan delapan konten dapat bernilai tinggi, yakni (1) ketepatan waktu, (2) kedekatan tempat kejadian, (3) pertentangan, (4) hal yang luar biasa, (5) kegelisahan, (6) kemanusiaan, (7) perhelatan akbar, dan (8) pendapat kontroversial. Namun, perlu diingat di sini bahwa konten juga harus memenuhi tiga kriteria di atas agar tidak sekadar viral, tetapi juga bermanfaat bagi kemaslahatan penonton dan warganet sekalian.

Hal lain yang kerap terjadi di media sosial adalah persebaran hoaks yang begitu merajalela.  Terlebih soal politik dan kesehatan yang menempati angka tertinggi. Karenanya, pembaca buku yang ditulis oleh Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat ini juga diingatkan akan hal itu.

Dengan bahasa sederhana dan mudah diterima oleh kaula muda, buku ini sangat penting sebagai sarana membendung aliran konten negatif, serta menderaskan aliran konten positif di media sosial sehingga tercipat kenyamanan dalam berselancar di dunia maya. Pun wajahkita di media sosial pun cerah.

Dalam hal ini, kita tentu mengenal satu pepatah berbahasa Inggris, think twice before you do that, berpikirlah dua kali sebelum kamu melakukan hal itu. Salah seorang ulama dari Buntet Pesantren Cirebon, KH Akyas Abdul Jamil, juga pernah membuat syair campuran bahasa Arab dan bahasa daerahnya, tushawwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa // tubali bi jiranin faqauluka dlai’un, kamu bersuara tang ting tung dan tot tet tot itu tidak berguna bagi tetangga, maka ucapanmu itu sia-sia belaka.

Tentu, kita tidak menginginkan setiap unggahan di media sosial hanya berujung sia-sia, atau malah justru berefek negatif. Mestinya, kita berlaku positif agar tercipta cita dan citra baik kita di mata dunia.
 

Peresensi Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)

Data Buku
Judul: Panduan Bermuamalah melalui Media Sosial
Penulis: Dr Asrorun Ni’am Sholeh
Tebal: xii +188
Penerbit: Emir
Tahun: 2020
ISBN: 978-602-0935-92-8