Pustaka

Pancasila: Rasi Bintang Penuntun Kemajuan Bangsa

Senin, 7 September 2020 | 06:30 WIB

Pancasila: Rasi Bintang Penuntun Kemajuan Bangsa

Buku Wawasan Pancasila karya Yudi Latif.

Perdebatan mengenai Pancasila seakan tak pernah usai. Padahal, para pendiri bangsa ini sudah bersepakat bahwa lima hal yang termaktub dalam paragraf terakhir Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut sebagai dasar negara. Saat ini, bukan lagi saatnya memperdebatkan hal yang sudah menjadi kesepakatan itu, tetapi sudah saatnya mewujudkan kesepakatan itu dalam berbagai sendi kehidupan.


Sebagai suatu fondasi, bangsa saat ini bertugas membangun rumah bersama bernama Indonesia dengan material yang kuat di atasnya. Namun hari ini bangsa kita seolah lupa dengan fondasi yang telah dibangun kokoh oleh para pendiri negeri ini. Kita semua mendongak ke atas sehingga tidak lagi melihat fondasi yang berada di bawah tersebut. Hal demikian juga membuat saudara-saudara yang tengah terpuruk tidak terekam oleh pandangan kita.Bahkan jika pun terlihat, kita tidak lebih hanya membuat mereka semakin jatuh ke jurang terdalam.


Misalnya saja dengan main hakim sendiri terhadap orang yang melakukan suatu kesalahan tanpa peduli sebab di balik perilaku tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977),bahwasanya salah satu ciri bangsa kita adalah kurang atau tidak peduli terhadap nasib orang lain, kecuali orang-orang terdekatnya.


Hal ini sangat tampak manakala Covid-19 merebak sampai hari ini. Meskipun di awal-awal kemunculan, ramai donasi yang diberikan masyarakat kita untuk mereka yang terdampak, tetapi tidak dibarengi dengan sikap kehati-hatian mereka dalam menjalani kehidupan sosial. Pasalnya, tak sedikit yang terlihat sudah tidak lagi mengenakan masker sesuai anjuran pemerintah dan tenaga kesehatan. Apalagi soal sanitasi tangan dan protokol kesehatan lainnya.


Sikap ketidakpedulian itu juga kerap terjadi di media sosial yang saat ini menjadi wadah bagi mereka untuk mencurahkan hatinya hingga habis. Mungkin untuk soal ini, tesis Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977) yang menyebut ciri bangsa kita sebagai tukang menggerutu di rumah atau kepada kawan-kawannya yang memiliki perasaan yang sama sudah tidak berlaku. Sebab, nampaknya mereka sudah dengan terbuka menggerutu di media sosial. Segala macam yang terpendam di hati muncul di beranda media sosial. Semua orang dapat dengan mudah mengaksesnya.


Baiklah jika kita tetap akan terus mendongak, cobalah sekali-kali melihat gemintang yang bertaburan di langit hitam saban malam. Orang-orang zaman dahulu, khususnya para nelayan, mencari jalan ke suatu tujuan atau kembali ke kediaman ya melalui benda-benda langit itu. Rasi-rasi bintang memberikan petunjuk arah ke mana hendak masyarakat dahulu melangkah.


Karenanya, saya dengan penyebutan lima sila sebagai sebuah rasi bintang yang memberikan petunjuk bagi bangsa kita. Melalui bukunya yang berjudul Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan Edisi Komprehensif ini, Kang Yudi menguraikan makna terdalam dari setiap sila.


Jika kita sudah melihat Pancasila sebagai rasi bintang tentu kita akan mengikuti petunjuknya. Di tengah wabah Pandemi Covid-19 yang belum berakhir seperti ini, kita mestinya tetap perlu menjaga protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah. Demikian ini menjadi bagian dari moralitas Pancasila mengingat hal itu merupakan wujud saling menghormati satu sama lain, sebuah bentuk pancaran nilai intrinsik sila kedua seperti disebut Yudi Latif, demi menjaga kemanusiaan kita yang adil dan beradab.


Penerapan protokol kesehatan juga menjadi bagian dari tolong-menolong sebagai pancaran intrinsik sila kelima guna menjaga keselamatan antarindividu. Sila terakhir itu juga mestinya menjadi pedoman pemerintah untuk tidak pilih kasih dalam menentukan kebijakan.


Sebagaimana kita ketahui bersama, pekan terakhir Agustus lalu para pekerja mendapatkan stimulus bantuan dari pemerintah guna meningkatkan perekonomian yang terperosok ke jurang resesi. Namun, warga lain yang juga penghasilannya belum mencapai Rp5 juta tidak menerima stimulus serupa. Para pedagang kecil, misalnya, atau mereka yang berjualan di pasar tradisional. Dampak Covid-19 terhadap perekonomian juga terasa bagi mereka.


Dengan menerapkan suatu keadilan, pemerintah sebetulnya juga telah berperan untuk membudayakan Pancasila. Sebagaimana disebutkan Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986), pemasyarakatan Pancasila ini terhambat oleh tiga hal, yakni (1) adanya pelanggaran Pancasila, (2) penyelewengan dan korupsi oleh pemerintah, dan (3) imbauan Pancasila sebagai kedok menutupi kepentingan pribadi atau golongannya. Naga-naganya, tiga hambatan itu masih belum tersingkirkan.


Memasyarakatkan Pancasila juga perlu didukung oleh pendidikan dan seni budaya guna menjadikannya sebagai sebuah karakter dan mental bangsa Indonesia guna menunjukkan perwajahan umum negeri kita. Dua sektor ini yang memiliki daya maksimal untuk membuat masyarakat kita paham arah menuju Indonesia Maju.


Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (1979) menyebut sikap mental sebagai suatu reaksi atas kondisi lingkungannya. Hal ini, katanya, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan yang melingkupinya. Karenanya, pendidikan sebagai sarana menanamkan mental karakter Pancasila juga harus disirami dan dipupuk dengan budaya sehingga dapat tumbuh dengan maksimal dalam sanubari generasi bangsa Indonesia. Jika semua itu dapat terwujud, kita semua yakin Indonesia Emas 2045 juga bakal tercipta.


Oleh karena itu, buku ini hadir menjadi pedoman penting untuk membangun jalan menuju cita-cita tersebut.Sebab, Kang Yudi di sini memandu kita menuju pencapaian itu.


Peresensi Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)


Identitas Buku

Judul: Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan

Penulis: Yudi Latif

Tebal: xv+444

Tahun: 2020

Penerbit: Mizan

ISBN: 978-602-441-170-1